Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

TIPOGRAFI

  • Tipografi disebut juga sebagai ukiran bentuk; ialah susunan baris-baris atau bait-bait suatu puisi. Termasuk ke dalam tipografi ialah penggunaan huruf-huruf untuk menuliskan kata-kata suatu puisi.


Seperti kita ketahui,dalam menuliskan kata-katanya, setiap penyair memiliki kegemaran sendiri-sendiri. Ada yang selalu menuliskan semua katanya dengan huruf kecil semua, ada pula yang selalu menggunakan huruf besar pada setiap permulaan kalimat atau baris baru puisinya. Juga dalam menggunakan tanda-tanda baca. Ada yang dalam seluruh puisinya tanpa menggunakan sebuah tanda bacapun. Tetapi ada pula yang dengan setia menggunakan tanda baca.

Berikut ini beberapa contoh berbagai tipografi tersebut :

1. Menggunakan huruf kecil semua dan tanpa tanda baca,

paman-paman tani utun
ingatlah
musim labuh sawah tiba
duilah

musim labuh kurang tidur ya paman
kerja berjemur dalam lumpur tak makan
sawah-sawah menggempur hancur  
merpatinya wokwok ketekur

(PAMAN-PAMAN TANI UTUN, Piek Ardijanto Suprijadi, Angkatan 66, hal. 462)

2. Menggunakan huruf besar pada setiap awal kalimat, tanpa tanda baca,

Di depan gerbangmu tua pada hari ini
Kami menyilangkan tangan ke dada kiri
Tegak dan tengadah menetap bangunanmu
Genteng hitam dinding kusam berlumut waktu

(ALMAMATER, Taufiq Ismail, Angktan 66, hal. 151)

3. Menggunakan huruf besar-kecil dan tanda baca lengkap,

Kukitari rumahMu.
Kukitari rumahMu bersama jutaan umat
Ketika Kauturunkan rahmat
meresap ke dalam hati, memercik di sudut mata :
Tuhanku, Tuhanku, ampuni segala dosa kami
Ulurkan tanganMu, bimbing kami
ke jalan lurus yang Kauridoi.
Di bumi ini
dan di akhirat nanti.

(SEMENTARA THAWAF, Ajip Rosidi)

4. Sebagian baitnya menjorok ke dalam,

Laksana bintang berkilat cahaya,
Di atas langit hitam kelam,
Sinar berkilau cahya matamu,
Menembus aku kejiwa dalam.
  
    Ah, tersadar aku, 
    Dahulu ....................................
    Telah terpasang lentera harapan
    Tetiup angin gelap keliling.

Laksana bintang di langit atas,
Bintangku Kejora
Segera lenyap peredar pula,
Bersama zaman terus berputar

(SEBAGAI DAHULU, Aoh Kartahadimaja, Gema tanah Air, hal. 51

Mengenai tipografi yang berhubungan dengan susunan baris atau kalimat dalam tiap bait ini pun masih banyak lagi ragamnya.Adapaun maksud penyusunan tipografi yang beraneka macam itu,secara garis besar dapat dibedakan atas 2 (dua) macam :

1). Sekedar untuk keindahan indrawi; maksudnya sekedar agar susunan puisi tersebut nampak indah dipandang.

2). Untuk membantu lebih mengintensifkan makna dan rasa atau suasana puisi yang bersangkutan.

Marilah kita perhatikan dua buah contoh puisi berikut ini,


Bukan tidak saya letakkan,
Buah delima di atas gudang
        Untuk berbuka bulan puasa.

Bukan tidak saya katakan,
Saya hina dari orang,
       Tuan katakan,tidak mengapa.

Pohon cempedak saya tanamkan,
Pohon nanas kutanam juga,
       Batang mengkudu pemagarnya.

Bukan tidak saya katakan,
Tuan emas, saya tembaga,
       Tidak sejodo keduanya.

(M.I. Nasution, PUJANGGA BARU,hal. 240)

DOA PERAHU

tuhanku
        beritahu
                kini

ke manakah
            harus
                 kupergi

ke muara
           menyongsong
                   laut
                            biru

ataukah
         melawan
                 arus
                     menuju
                              hulu

(Ismed Natsir, Horison, Oktober, 1974)

Dan masih banyak gaya yang lain, yang bisa saudara ciptakan sendiri.

Kutipan dari :
Buku Pengantar apresiasi pusi, s.suharyanto
penerbit :
widya duta - surakarta
maret 1981

didiek soepardi ms - 260313
Semoga bermanfaat dan Salam Sastra !
Dikutip dari Catatan laman Facebook Driya Widiana M.S

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.