Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

“Kapak” Sutardji Calzoum Bachri: Upaya Memecahkan Kemampatan Hidup

Oleh; Dasril Ahmad

MENIKMATI sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri kita diajak untuk ikut serta menelaah imaji-imaji yang dikemukakannya. Di samping dalam sajak-sajaknya Sutardji selalu berupaya untuk menemukan bahasa yang baru. Bahasa sajaknya sendiri.


Sajak “Kapak” merupakan  salah sebuah sajak Sutardji yang menguatkan kesan ke arah penemuan imaji-imaji serta bahasa yang baru tersebut. Betapa seorang Sutardji –Presiden penyair Indonesia kelahiran Rengat (Riau), 24 Juni 1941, dan pelopor sastra angkatan 70 di Indonesia ini—selalu menitikberatkan pikirannya ke arah itu. Membaca judul sajak ini, asosiasi kita melayang  ke suatu alam yang jauh, yang  justru berada  di luar realitas sama sekali. Ada apa dengan judul “kapak?”

Terhadap judul, Sutardji mengemukakan, “Imaji kapak memecahkan kemampatan. Sekali orang jatuh dalam kerutinan, itu waktu dia termasuk dalam kemampatan. Batin jadi mampat. Untuk itu dibutuhkan kapak guna memecahkannya sehingga hari-hari akan mengalir dengan deras menantang kita untuk kreatif.” (O,Amuk, Kapak, 1981: 101). Kita nikmati sajak “Kapak” tersebut selengkapnya.

KAPAK
semua orang membawa kapak
semua orang bergerak pergi
menuju langit
semua orang bersiapsiap nekad
kalau tak sampai langit
mengapa tak ditebang saja
mereka bilang
langkahlangkah mereka menggeram
dan bersamasama bergegar pula
kapakkapak mereka
pukimak aku tak bisa tidur
mimpi tertakik
dan ranjang belah
                                         1977

Dari sajak di atas, banyak hal yang menarik untuk disimak, menarik untuk diteliti, dan untuk dipertanyakan. Pertama, kenapa dan atas keperluan apa semua orang bergerak membawa kapak menuju langit? Kenapa kok kapak yang dibawa ke langit? Tidak adakah benda lain yang lebih bermanfaat untuk keperluan itu? Kedua, apa yang akan mereka lakukan setelah tiba di langit dengan kapak yang mereka bawa itu? Dan mungkin pertanyaan-pertanyaan lain bakal muncul bergiliran sehubungan dengan interpretasi dari kapak ini.

Dari rentetan pertanyaan-pertanyaan di atas, Sutardji ingin mengemukakan suatu imaji baru dalam sajaknya. Sutardji telah memikirkan adanya kaitan antara kata kapak dengan maut. Sesuai dengan fungsi sebuah kapak, untuk menebang atau memotong, jelas pengertiannya mengarah ke sesuatu keadaan yang identik dengan akhir hidup. Maut! Terhadap hal itu, Sutardji menegaskan, “Tidak seperti sajak-sajak saya yang terdahulu yang banyak dengan pencarian ketuhanan, dalam sajak-sajak selanjutnya maut lebih mempesona saya. Pertemuan dengan maut bukanlah seperti orang menemukan dompet di tengah jalan. Maut telah hadir dalam diri kita, sejak kita hidup. Sejak kita mulai bernafas di dunia, sejak itu pula maut membenih dalam diri kita.” Bagaimana pandangan Sutardji sendiri tentang hidup dan maut? Sajak “Kapak” ini setidaknya mengungkapkan hal itu,
                                                                            
***
 Pada empat larik pertama sajak ini, Sutardji memaparkan kepada kita suatu kenyataan hidup manusia yang benar-benar dapat dilihat secara visual. “semua orang membawa kapak/ semua orang bergerak pergi/ menuju langit/ semua orang bersiapsiap nekad”.Empat larik ini memancarkan suasana yang berbahaya dan mengerikan, betapa telah semua orang bersiap-siap untuk bertindak  nekad sambil membawa kapak menuju langit;  sebuah tindakan nekad yang disandarkan kepada fungsi kapak. Betapapun, benda sejenis “kapak” jelas melambangkan suatu keadaan yang membahayakan dalam hidup dan kehidupan kita, apalagi benda itu dibawa oleh semua orang untuk bertindak nekad menuju ke langit.

Kemudian tiga larik berikutnya kita rasakan suasana yang lain. Suasana yang lebih tepat dikatakan sebuah opini/pendapat dari orang-orang yang membawa kapak tersebut. Suatu tekad, atau mungkin saja suatu keputusan yang tegas kelak dari perjalanan yang mereka tempuh itu.  “kalau tak sampai langit/ mengapa tak ditebang saja/ mereka bilang”. Apa yang akan ditebang?  Ataukah mereka semua bertekad untuk menebang cita-cita atau keinginan mereka masing-masing di dalam perjalanan jika tak sampai  ke langit? Terlihat suasana di sini lebih menyiratkan suatu keadaan yang menyedihkan di tengah perjalanan mereka itu kelak. Mereka mau menebang apa?

Kita simak lagi, tiga larik berikutnya, terlihat lagi suatu bangunan suasana yang lain. Suasana pada larik-larik ini lebih nyata relevansinya sebagai penggambaran dari suasana yang dinyatakan pada empat larik pertama di atas. “langkahlangkah mereka menggeram/ dan bersamasama bergegar pula/ kapakkapak mereka”. Kendati telah ada sebuah opini tentang perjalanan yang mereka tempuh itu  (jika  tak sampai menuju langit), namun mereka tak peduli akan opini  itu. Mereka terus juga berangkat menuju ke langit. Langkah-langkah mereka menggeram dan kapak-kapak mereka bersamaan dengan itu juga bergegar. Bergegar, sebuah kata yang lebih menukik kepada pengertian dari akibat fungsional  kapak itu sendiri. Apakah dalam perjalanan mereka telah mempergunakan kapak itu untuk menebang apa saja yang mereka lihat dan mereka temui? Apakah mereka telah sama-sama memperbenturkan kapak-kapak mereka untuk suatu tujuan mewujukan sebuah kenekadan yang mereka inginkan? Kita belum menemui jawabannya, selain merasakan  suasana yang ditimbulkan dari larik-larik tersebut.

Tiga larik terakhir dari sajak ini memberikan  kesan lain terhadap suasana-suasana di atas. “pukimak aku tak bisa tidur/ mimpi tertakik/ dan ranjang belah.” Suasana yang ditimbulkan oleh tiga larik terakhir ini jelas tak terlihat relevansinya dengan suasana-suasana dari larik-larik sebelumnya. Tegasnya, suasana dari tiga larik terakhir ini berada di luar suasana dari larik-larik sebelumnya, karena suasana tiga larik terakhir ini  lebih tepat disebut sebagai sebuah suara hati (ilusi) yang muncul dalam diri si penyair sendiri.

Lewat sajak  “Kapak”, tampak upaya Sutardji Calzoum Bachri ingin memanfaatkan penggunaan “kapak” untuk memecahkan segala kemampatan dalam hidup dan kehidupan manusia.  Kemampatan (kebekuan) mana setiap kali mengintai seseorang dalam kerutinan kerja sehari-hari.  Justru itulah, imaji tentang “kapak” lebih memberikan banyak kemungkinan untuk melepaskan diri dari kemampatan itu. Lebih memberikan kemungkinan untuk seseorang agar lebih kreatif dalam hidupnya.

Sutardji Calzoum Bachri
Sutardji Calzoum Bachri
Kapak (jika disalahgunakan)  memang dekat sekali kaitannya dengan pengertian maut. Mungkin maut itu sendirilah yang dapat dikatakan sebagai usaha untuk memecahkan segala kemampatan/kebekuan dalam hidup ini? Sutardji sendiri pun mengakui bahwa banyak sajak-sajaknya yang lain menampilkan imaji kapak.  Kalau memang demikian adanya, maka hidup dan kehidupan kita ini boleh jadi bisa diidentikkan dengan hakekat sebuah kapak sebagai alat untuk menebang/memotong dan juga untuk memutuskan segala pertautan secara lahiriah. Namun yang tersirat, dengan kapak kita diajak untuk selalu mengingat maut, bersiap-siap menghadapi datangnya maut, sekaligus mengajak kita untuk memecahkan segala kemampatan/kebekuan hidup sebelum datangnya maut , agar hidup kita diisi dengan hal-hal yang  bermanfat secara kreatif. (Padang, 10 Januari 1984) ***



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.