Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

ZIARAH KEMERDEKAAN DI NEGERI WARNA WARNI




Judul               : Ziarah Kemerdekaan
Genre              : Buku Puisi
Pengarang       : Muhammad Ibrahim Ilyas
Penerbit           : ARIFHA
Cetakan           : Pertama, Februari 2015
Tebal               : 116 halaman
ISBN               : 978-602-14947-3-8

           

Melalui sebuah pertunjukan Musikalisasi Puisi bertajuk “Lagu Kehilangan”, Muhammad Ibrahim Ilyas meluncurkan buku terbarunya “Ziarah Kemerdekaan; sejumlah puisi muhammad ibrahim ilyas”. Pertunjukan diselenggarakan di  Gedung Teater Utama Taman Budaya Padang pada medio Februari 2015 dengan jumlah penonton yang melimpah ruah.
            “Ziarah Kemerdekaan” merupakan kumpulan puisi karya Muhammad Ibrahim Ilyas yang dikumpulkan dari tahun-tahun yang menyertai proses kreatifnya. Beberapa puisi bertitimangsa tahun 1980-an, 1990-an dan bagian kecil tahun 2000-an. Buku ini dengan sendirinya dapat dianggap sebagai catatan penting perjalanan dari Penyair ketikamana kita membaca puisi-puisi yang termaktub di dalamnya.

            Buku puisi yang memuat pembicaraan Indra Nara Persada di bawah judul “Memahami Puisi-puisi Muhammad Ibrahim Ilyas: Tradisi Tak Dapat Diraih, Modernisasi Tak Dapat Ditolak” ini terdiri dari 52 (limapuluh dua) puisi dengan beragam tema. Tema yang sering muncul setidaknya ada 3 (tiga) yakni kesaksian, kemerdekaan dan kesunyian. Ketiganya saling berkelindan dan memacu simpul-simpul keingintahuan kita untuk lebih intens mengarungi dunia kata-kata yang terbangunkan melalui larik-larik dan bait puisi karya Muhammad Ibrahim Ilyas, sosok yang tak asing dalam dunia teater dan sastra tanah air.
            Keutamaan buku ini diantaranya dapat ditilik dari sosok Penyairnya sendiri. Muhammad Ibrahim Ilyas kelahiran Padang 28 Januari 1963. Telah malang melintang di dunia sastra dan teater tanah air. Pernah bermukim di Jepang. Setelah 14 tahun tinggal di Yogyakarta, ia memutuskan untuk menetap di kota Padang. Selama kurun waktu antara 1985 hingga 2012 pernah bekerja sebagai redaktur beberapa penerbitan di Padang, Yogyakarta dan Jakarta.
            Sayangnya, ditemukan sedikit “cacat” pada buku ini yakni kita betul-betul kehilangan sebuah puisi yang berjudul “Lagu Kehilangan”. Puisi itu menjadi penting sebab merupakan salah sebuah puisi yang dibicarakan oleh Indra Nara Persada yang kita baca pada halaman awal. Seandainya bukan karena mempertimbangkan isi yang terkandung dalam buku ini, mungkin kita akan sedikit terganggu dengan pemilihan kertas HVS 70gsm putih sebagai “rumah” bagi puisi-puisi yang sangat bagus ini. Selain itu plastik tipis yang melapisi kulit buku juga mudah terkelupas. Semoga saja pada cetakan kedua nantinya semua kekurangan dapat disempurnakan. Memakai kertas Bookpaper lebih disarankan ketimbang HVS 70gsm. Selain warnanya lebih kuat juga tentu saja lebih ringan.
            Muhammad Ibrahim Ilyas dengan kumpulan puisi “Ziarah Kemerdekaan telah membawa kita menyiarahi kemerdekaan yang dipasung di negeri warna warni.

Peresensi: Denni Meilizon    
           

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.