Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

Penyair Rusli Marzuki Saria: Seorang Calon Penyair Harus Banyak Membaca

PENYAIR Rusli Marzuki Saria (79 tahun) menyatakan, seorang calon penyair haruslah banyak membaca, karena dengan banyak membaca perbendaharaan kata-kata semakin banyak. Hal ini penting karena bahan baku sebuah puisi adalah kata-kata yang kemudian jadi kalimat. Kalau perbendaharaan kata-kata sudah banyak, maka kita bisa menyaringnya untuk digunakan, mana yang sesuai dengan masalah yang ingin diungkapkan di dalam puisi itu.

Di samping itu juga ada teknik menjinakkan kata-kata. “Menulis puisi atau sajak itu termasuk dalam menulis kreatif, di samping cerita pendek, naskah drama dan catatan harian. Seseorang yang kreatif adalah yang mempunyai daya atau kemampuan mencipta dalam mewujudkan kreasi baru. Jadi seorang penulis karya kreatif seperti puisi dan cerita pendek (cerpen) haruslah orang-orang yang suka membaca,” katanya.


Hal itu diungkapkan Rusli Marzuki Saria dalam “Bengkel Sastra : Pelatihan Penulisan Puisi” bagi siswa SLTA se-kota Padang, digelar atas kerjasama Balai Bahasa Provinsi Sumbar dan Dinas Pendidikan kota Padang, di aula sekolah Madrasah Aliyah Negeri 2 (MAN 2) Padang, Senin (11/5). Dalam pelatihan yang diikuti 50 siswa ini, Rusli tampil elegan dengan makalah kecil (3 halaman) berjudul “Menulis Puisi”, yang antara lain memaparkan proses kreatifnya menulis puisi selama ini. Menariknya, penyair yang akrab dipanggil “Papa” ini juga mencantumkan contoh sebuah puisi karyanya sendiri berjudul “Padang Kotaku” (1975), dan kemudian memberikan apresiasi kecil tentang proses lahirnya puisi itu.
PADANG KOTAKU
Padang kotaku. Suatu waktu nanti takkan lagi dengar
ketipak terompa kuda
Padang kotaku. Suatu hari nanti takkan lagi dengar
ringkik kuda.
Padang kotaku. Takkan lagi bermimpi derak-derik,
Leguh-legak pedati dan genta
Padang kotaku. Nanti takkan lagi terisak
dari perjalanan jauh yang lama
Gedebur ombak Purus menghiba, kuning air muara
dan kapal-kapal kecil di senja
Dan aku tak melupakanmu, gunung Padangku, Taman Siti Nurbaya
meriam Jepang serta kuburan Tionghoa
Panasmu lusuhkan kemeja, deru badaimu, angin lengkisaumu
dan masa lampaumu
Aku tak bersedih karena semuanya itu
Sebab: telah menggelitik bawah sadarku sampai aku jatuh cinta
Bila aku tiada lagi nanti Padang kotaku, jangan bersedih
bagai mentari tenggelam di balik lautmu.
Padang, 1975 (dari kumpulan “Sembilu Darah”)

Dalam sajak lirik yang saya tulis tahun 1975 ini, jelas Rusli, kota Padang waktu itu sedang sibuk membangun. Mobil truk dan kopan waktu itu hilir-mudik membawa alat bangunan. Kota sudah dipenuhi mobil-mobil buatan Jepang, bendi dan kudanya yang tua dan letih. “Puisi ini merupakan hasil imajinasi dari kenyataan yang sedang berlangsung pada waktu itu. Bendi adalah lambang tradisi kehidupan kita, dan ringkik kuda sebagai metafor kekuatan masyarakat kita pada waktu itu. Puisi lirik merupakan salah satu bentuk sajak yang bersifat melukiskan perasaan dengan mengutamakan keharuan rasa di samping paparan,” jelas penyair yang selama 30 tahun (1969 – 1999) juga wartawan dan redaktur budaya di harian Haluan, Padang ini.

Menyangkut tema dalam sajak, menurut penyair yang lahir di Kamang, Bukittinggi, 26 Pebruari 1936 ini, tak ada yang menghambat seseorang untuk menulis puisi dengan tema kecil atau besar. Dalam sajak selalu ada tema kecil dan tema besar. Tak terbatas tema-tema dalam sajak itu. Malah sekarang ada orang menulis sajak dengan tema kecil dan sederhana saja, seperti tentang buah-buahan; tomat, bawang, dan lain-lain. Tulislah apa saja, walaupun temanya kecil atau besar, tak ada yang menghambat kita. Namun, yang perlu diingat, tegasnya, menulis puisi tidak hanya berpijak dari perasaan dan imajinasi, tetapi juga perlu pikiran. Seorang penyair juga harus disiplin, terutama dalam memilih kata-kata.

“Seorang penyair juga sering bertempur dengan dirinya sendiri. Dia harus disiplin, mana kata-kata yang jorok tak pantas ditulis untuk umum, dia sendiri yang menyeleksinya. Justru itulah, sebuah sajak di samping ada unsur perasaan, juga menuntut pemikiran. Malah penyair besar Chairil Anwar juga pernah mengatakan bahwa dalam menulis puisi kita memerlukan pikiran, di samping emosi yang menggebu-gebu,” papar Rusli disambut antusias para siswa. Sesuai nama kegiatannya, “Bengkel Sastra: Pelatihan Penulisan Puisi”, maka seusai ceramah, penyair Rusli Marzuki Saria juga mengajak siswa menulis puisi, membacakan dan menceritakan apa makna puisi yang mereka tulis itu, kemudian memberikan apresiasi terhadap setiap puisi karya para siswa tersebut. Bengkel Sastra ini berlangsung 3 hari (11 s.d 13 Mei 2015) dengan instruktur yang berbeda. *** (Dasril Ahmad).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.