Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2014

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

TEMBANG NGARAI

pada ngarai yang menyungai, di lembah matamu matahari menyingsing bersembunyi melebur mengipasi angin ketika menelisik dedaun pinus kemudian membisiki rerumputan merayu para-para dalam kepalaku untuk menyelam sedalam-dalamnya aku merindukan kesyahduan ngarai itu merambati tebing-tebingnya lalu menyapa unggas yang asyik membina kediaman di ceruknya menyoal kebisingan hari di atas sana mencari damai di mana kusandarkan mimpi ketika segala takdir lalu memupuh membunuh hati yang menyemak adakah, adakah ? dalam matamu pula merambat cerita kita hanyut mengilir bermandi matahari remang remang, rembang rembang menembang kembang kembang hiasi ngarai yang syahdu menyentak mimpi yang tersandar mungkin saja kita telah butuh sebuah perahu adakah mungkin telah tiba saatnya membawa takdir untuk berlayar Ya, terhadap ritual matahari yang kerap menyingsing setelah meminum air ngarai di matamu merebut seluruh takdir yang terhunus sejak pandang pertama. Lubuk Minturun, Se

Malam Kepulangan

Diam bukan kita teguk maka bicaralah sereguk tentang para beruk di kebun sebelah yang menghabisi panen jambu air setelah semusim lebih dijaga Mak. Lampu bernyala di ruang tengah telong menggantung di nganga beranda decit sungai meniti bebatu teramat dalam singgah pada malam padi telah menjadi sawit dan anak muda acapkali berangkulan birahi di tengah rimba pokok ranum sulur buah sawit coklat kehitaman hujan entah ke mana, dalam bunyi banzi kata matamu, bagaimana aku akan melenggangkan ronggeng, kuda kepang dan silat sigantang itu sedangkan sungai airku tak sampai-sampai ke muara hilang dihisap jelaga mentari menjadi minyak mentah CPO yang harganya entah memakai hitungan apa. batang pasaman kuning mengais warna batahan menghisap humus, menyisir butir pasir hitam seperti hitam rambutmu yang mulai meranggas menyisakan sepetak huma di ujung kening Huma itu mengiris birahi yang dikibarkan sepanjang bebatu lubuk manggis, di situ bebatu menangis, di situ dosa-dosa m

BATAHAN

desah batahan apa kabar? resah bertahan membawa pulang di kampungku rindu terbayang mata bersua sehari sampailah sudah pucuk bukit melaing ke tepian kubawa rantau bersanding lekat ke muara mais tanah pemandian hanyutkanlah aku puput batang padi sawah ladang hinggap di silayang menyeberangkan tanah ketumpahan lubuk gobing sabar menanti batahan, ribuan not lagu di kecipak bebatu ada banzi, gondang, suling dan tambur cengkerama musim di sela jemari kaki silaping bersolek bermanis muka Oh! aku rindu pada siboru lubis, boru matondang dan boru nasution pada derai tawa boru batubara, boru siregar dan boru pulungan Hei! boru harahap kaubawa cintaku ke langit sedang darah tumpahku bermain di silaping bebatu pecahku menyungai berlari, menghempas, menerangi, pintu padang menumbuk gunung tua tambang padang di tepi tubir diseberang tanah menguning sawah mudik tempat mukim para raja membujur kuburan panjang menuju puncak celah sigantang simpang tolang kurindu pula i

Spora

di bebatu, kita makan aneka lumut, di dengus sungai, kita sebar aneka spora, di manis rembulan, kita ngaga aneka mulut, di kerasnya kesunyian, kita belajar aneka suara, bebatu mendengus, lumut memakan aneka spora semanis rembulan di tengah sungai melaung dalam mulut yang menganga membunyikan suara decap aneka spora, lalu meletus di bibir bebatu, dikunyah rakus aneka lumut dalam kesunyian berdekut keras meminta sungai mengalir deras pada ngaga mulut, dengus yang bersahutan, mengecap manis, belajar memakan suara di kerasnya bebatu yang memakan rembulan, di bebatu, spora menjadi lumut di dengus sungai, spora menjadi lumut di manis rembulan, suara menjadi mulut di kerasnya kesunyian, suara menjadi mulut lumut dalam mulut bersuara spora. Lubuk Minturun, Agustus 2014 Dimuat Koran Padang Ekspres edisi Minggu (21 September 2014)