Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2016

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

Tanpa Kehormatan*

Oleh: Denni Meilizon Di tepi jalan, Usuf menghitung langkah kaki orang-orang. Kota yang acuh. Langit bebas merdeka. Semerdeka matahari mengguyur jelaga mengusir hujan jauh ke kota-kota lain. Dan Usuf nanar menatap kendaraan-kendaraan yang lewat dengan bermacam roda. Ia merasa begitu kecil di tengah rimba kota ini. Berbilang tahun dahulu, dengan Mad Sani ia menurut datang ke sini. Ia merantau. Habis pikir sudah. Sehabis-habis Ibu yang melarang Usuf pergi. Siapa yang hendak bertanam di sawah keluarga kelak? Siapa pula yang bakal menakik getah pohon-pohon Para di kebun belakang? Ibu habis kata. Usuf habis alasan. Ia ingin pergi. Menjauhi kampung halaman. “Aku ingin kelak, jika mati maka di nisanku akan tertulis sejuta kata akan perjuanganku. Dengan tinta emas, Ibu,” ucapnya memelas.

AGAMA KETUJUH; Sesuatu yang Besar dalam Sebuah Buku Kecil

Dimuat di Halaman Budaya, Harian Rakyat Sumbar, Sabtu 9 April 2016 Oleh: Denni Meilizon* “Agama Ketujuh” merupakan re-interpretasi , berangkat dari ide yang telah dituliskan dalam beberapa prosa lalu secara sengaja digunakan oleh Romi Zarman, sipengarang untuk membangun ceritanya. Benarkan demikian? Hal ini mesti hati-hati kita jawab. Sebab, setelah saya baca berulang-ulang, buku yang ia sebut sebuah prosa ini, dengan ketebalan 50 halaman, ukuran kertas 11 x 18 cm ini terasa seperti menawarkan jebakan-jebakan intelektual, memberi kemungkinan penafsiran multiperspektif. Semakin dalam saya renungkan, semakin terasa kalau buku kecil ini tidak sekecil yang saya duga. Awalnya saya mengira, Agama Ketujuh merupakan buku yang tebal, memuat ungkapan-ungkapan filosofis, menawarkan konflik yang besar, mengguncang keimanan dan bla..bla..bla. Perkiraan saya itu ternyata salah, begitu buku ini saya peroleh, yang pertama saya dapatkan kenyataan bahwa buku “Agama Ketujuh” ini berpen