Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

AGAMA KETUJUH; Sesuatu yang Besar dalam Sebuah Buku Kecil


Dimuat di Halaman Budaya, Harian Rakyat Sumbar, Sabtu 9 April 2016



Oleh: Denni Meilizon*

“Agama Ketujuh”
merupakan re-interpretasi, berangkat dari ide yang telah dituliskan dalam beberapa prosa lalu secara sengaja digunakan oleh Romi Zarman, sipengarang untuk membangun ceritanya. Benarkan demikian?
Hal ini mesti hati-hati kita jawab. Sebab, setelah saya baca berulang-ulang, buku yang ia sebut sebuah prosa ini, dengan ketebalan 50 halaman, ukuran kertas 11 x 18 cm ini terasa seperti menawarkan jebakan-jebakan intelektual, memberi kemungkinan penafsiran multiperspektif. Semakin dalam saya renungkan, semakin terasa kalau buku kecil ini tidak sekecil yang saya duga. Awalnya saya mengira, Agama Ketujuh merupakan buku yang tebal, memuat ungkapan-ungkapan filosofis, menawarkan konflik yang besar, mengguncang keimanan dan bla..bla..bla. Perkiraan saya itu ternyata salah, begitu buku ini saya peroleh, yang pertama saya dapatkan kenyataan bahwa buku “Agama Ketujuh” ini berpenampilan cukup tipis. Sederhana, walau judulnya “sangar”: Agama Ketujuh.
Lalu, apa yang menarik dari buku tipis ini? Itulah pertanyaan saya berikutnya ketika mulai membaca buku itu.
Mari kita buka dan baca.
Pembukaannya saja sudah memberikan kejutan lain. Romi Zarman, memberikan semacam prolog bahwa cerita yang akan ia tuturkan berikutnya merupakan sebuah cerita yang awalnya dituturkan secara oral, kepada sahabat-sahabatnya di Padang. Cerita itu beranjak dari pembacaan Romi akan prosa-prosa Indonesia era kolonial. Sebutkanlah seperti Sengsara Membawa Nikmat (Toelis Sutan Sati), Didjemput Mamaknja (Hamka), Sitti Noerbaja (Marah Roesli), dll. 
Sebagai batang tubuh, Romi membagi plot cerita menjadi tujuh bagian; Agama Ketujuh, Dendam, Di Hari Pembalasan,  Di Neraka, Utusan Surga, Rasa Sakit itu Tetap Ada dan Penutup. Melalui bagian Dendam, kita diperkenalkan dengan tokoh Rahma, yang kemudian pada bagian Penutup kita ketahui bahwa tokoh ini merupakan tokoh yang sama dengan tokoh Rahma dalam Novel Didjemput Mamaknja (Hamka). Akan tetapi, bagi yang sudah pernah membaca Didjemput Mamaknja, Romi kembali mengajak untuk meninjau tokoh-tokoh lain selain Rahma melalui alur cerita seperti kemunculan kembali tokoh Mamak, Musa, Ayah dan Ibu Rahma lalu Fauzi, anak kandung Rahma buah perkawinannya dengan Musa. Begitu pula, pada bagian lain mulai dari Di Hari Pembalasan sampai seterusnya, kita diajak meninjau tokoh-tokoh novel lain misalnya kemunculan Ayah Sitti Nurbaya yang digambarkan memprotes keputusan Hakim Hari pembalasan. Keadaan Sutan Mahmud, Mamak dari Sitti Nurbaya yang juga Ayah kandung dari Samsung Bahri (yang dapat kita baca pada bagian Di Neraka, mendapat julukan sebagai Pengkhianat sebab bergabung dengan Belanda). Lalu Midun (Sengsara Membawa Nikmat) yang memprotes Malaikat akan perlakuan Tuanku Laras. Menariknya, Romi menggambarkan sebuah ironi bahwa di akhirat pun, Tuanku Laras tetap benar sebab menurut malaikat Tuanku Laras tidak bersalah sebab ianya hanya menjalankan kewajiban untuk menjaga harga diri keluarga Matrilinialnya. “Ya, asalkan harga diri tidak jatuh, apapun boleh dilakukan” (Hal. 22). Selain tokoh-tokoh tersebut, lalu ada Poniem (Merantau ke Deli, Hamka) kemudian ada Hanafi, Dahniar, Rahman dan lainnya.
Inilah yang menarik kita untuk terus membaca dan menganalisa lebih intens teks prosa Agama Ketujuh ini: semua prosa-prosa itu, yang telah dibaca Romi Zarman itu lalu dijadikan bahan membangun plot cerita bermuara kepada sebuah permasalahan yang sama. Betapa, (setidaknya zaman kolonial dulu) peran adat yang dijalankan oleh sosok Mamak dalam keluarga Matrilinial sangat besar mempengaruhi kehidupan anak kemenakannya.  Bacalah frasa ini, “Adakah kau patuhi perintah mamakmu?” (Hal.10). Sebuah pertanyaan yang cukup membuat Rahma kemudian dilemparkan ke Neraka, sebab ternyata ia tidak pernah ikhlas menerima perintah mamaknya, sampai ia mati. Sampai ke alam akhirat.
Namun, walau pola penulisan prosa pengarang dari Minangkabau pada era kolonial sangat kental dengan konflik mamak versus kemenakan ini, tentu amatlah berbeda nilainya apabila kemudian Romi Zarman justru masih mengangkat persoalan yang sama pada hari ini. Karya sastra mesti ditilik pada zaman bagaimana ia dituliskan. Apakah Agama Ketujuh ini hanya ingin menuntaskan apa yang belum tuntas diceritakan oleh para pengarang Minangkabau terdahulu, atau ada maksud lainnya? Romi Zarman harus menjawab itu. Dan tidak perlu berlama-lama, sebab pada bagian Penutup pembaca langsung diberikan jawaban telak oleh Romi bahwa “… perlu dimaknai ulang dan dihadirkan kembali ke hadapan Anda. Karena akhir-akhir ini, setelah saya amati, sisa-sisa penganut Agama Ketujuh sedang mencoba membangkitkan kembali apa yang saya sebut sebagai ‘agama’. “Cerita ini saya tulis untuk mereka…” (Hal.48).
Dalam konteks kekinian, dinamika masyarakat kita sudah berubah. Adakah masih sama fungsi Mamak saat ini di dalam keluarga Matrilinialnya dengan masa lalu? Nyatanya kearifan masa lalu sudah semakin tergerus. Arus modernisasi semakin kuat menghantam Minangkabau. Masihkah bisa, seorang Mamak menjaga kemurnian ranji keluarga Matrilinialnya?
Merenungkan hal ini, saya sependapat dengan apa yang disampaikan Pinto Anugrah dalam makalahnya yang berjudul “Agama Ketujuh; Minangkabau Fundamental” yang disampaikan dalam sebuah acara beberapa waktu yang lalu bahwa “Tidak ada yang salah dengan Minangkabau pada prosa Agama Ketujuh ini!”
Ya. Tidak ada yang salah. Sebagai sebuah budaya, Minangkabau tidak salah. Tinggal lagi bagaimana kita bisa mencerna dan melakoninya. Mengunyahnya walau, itu luka. Walau sakit. Begitu ungkap Romi, “Luka itu, luka di dunia. Meskipun sudah di surga, tapi rasa sakitnya tetap terasa” (Hal. 47)[]

Padang, 6 April 2016

*Lahir di Silaping, 6 Mei 1983. Pegiat FAM Indonesia. Menulis Puisi, Cerpen dan essai. Domisili di Padang, Sumatera Barat


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.