Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian



 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016)

Oleh Denni Meilizon

AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.  Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik-larik ini, Hei/Aku pekakkan telinga dari segala yang menamparnya dari jauh/ Aku matikan rasa pada kulit/ Lalu Sebab rindu takkan pernah benar-benar mengantarku pulang padamu. Terkadang rindu dan kenangan memang bukan untuk dituntaskan tetapi dengan mengingatnya seseorang masih tersadarkan bagaimana cara melecut hidup untuk bertahan di tanah rantau yang asing.

Pada puisi berikutnya Penyair ingin mengajak kita memandang sebuah frame yang dipenuhi hujan di sebuah tempat bernama jalan Proklamasi dengan tiga karakter sebagai pelaku utamanya, seorang perempuan di seberang jalan, perempuan di depan ruko dan tiga orang bocah yang sedang bermain di jalanan. Jalinkelindan puisi ini merupakan penyelaman Penyair ke dalam suasana batin ketiga karakter tadi. Seorang Penyair memang semestinya peka terhadap apa yang tersaji di sekitarnya, termasuk dalam hal ini melakukan analisis puitik atas psikologis yang terbangun dalam ruang imajinasinya. Menarik kesimpulan I.A. Richard dalam bukunya, Principles of Literary Criticism (1924) yang mengatakan bahwa: kualitas indrawi dari citra terlalu dianggap penting. Yang membuat suatu citra efektif adalah kejelasannya sebagai citra, bukan sifatnya sebagai suatu peristiwa mental yang secara khusus berkaitan dengan pengindraan. (Rene Wellek and Austin Warren: 217). Melalui puisi ini, Penyair menunjukkan sebuah kekhasan dirinya dalam mencipta puisi dengan gaya imajinatif atau fiksi. Beberapa puisi yang ia kirim ke meja redaksi juga memiliki gaya ungkap yang sama dengan puisi ini.
Dalam puisi “Perihal Kepergian dan Penantian yang Terbiar” juga kita temukan pola narasi yang sama. Puisi ini bolehlah kita sebut saja sebagai sebuah monolog berupa jawaban terhadap puisi “Yang Ditahan Angin Rantau”. Perlu kita berikan pujian kepada Penyair bagaimana ia cukup berhasil membangun sebuah pertalian kisah dalam tiap puisi-puisinya itu. Ibarat sebuah cerita, jangan diharap pembaca bakal disuguhi akhir yang bahagia karena pada bait terakhir kita menemukan sebuah pintu yang berderit terbuka oleh angin, membuat tanah rantau itu semakin jauh. Duh!
Sebuah catatan mungkin perlu digaris bawahi oleh Penyair, untuk menciptakan puisi bagus perlu upaya lebih keras untuk menyaring dan mengempang kata-kata yang datang mengalir dengan deras itu. Salam bahagia dan tetaplah menyair, Hai Penyair!***



PUISI-PUISI DAFRIKA DONI


YANG DITAHAN ANGIN RANTAU

Jika orang-orang menyebut rindu sebagai kapal,
maka nasib adalah jangkar yang dibenamkan jauh ke dasar lautan

Di tanah yang tak kukenali ini, aku semakin asing. waktu telah menertawaiku terlalu dalam
Ada sesuatu yang belum dapat aku jangkau. sesuatu yang dulu bersemayam di bawah bantal, bertengger pada ranting-ranting igau yang parau
Sebelum punggung menciptakan sebentuk rumah, bakal si tua berulang mengawinkan retak tumit dengan cangkang umang-umang yang meresai digigilkan sepi.

Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang
ada gigil yang ditumpangi banyak bisikan-bisikan keramat dari jauh
Mantera-mantera yang kukenali:

" pulanglah, bujang, pulanglah!
 Di tepian mandi, angin masih dengan desau yang sama.
Batu-batu tempat mengeringkan baju masih tertahan di situ.
Hanya saja lumut-lumut telah menghijaukan rindu padamu
Pulanglah, bujang, pulanglah!
Ayam yang dulu sering kau kejar di sekeliling rumah telah bertelur dan beranak-pinak
Hanya saja aku lupa yang mana anak, yang mana induk
Sebab ingatanku telah kau curi dari jauh hari
Pulanglah, bujang, pulanglah!
Gulai lokan masih sering terhidang di meja makan
Bumbu-bumbunya masih seperti dulu
Tak ada yang benar-benar berubah
Hanya saja akhir-akhir ini gulai kesukaanmu itu terhidang dengan garam yang dilebih-lebihkan takarannya."

Mantera-mantera itu berdengung pada jarum jam yang bertiktak-tiktak di dinding
Sepanjang malam membikin pekak telinga hingga kantuk yang paling dalam

Hei,
aku pekakkan telinga dari segala yang menamparnya dari jauh
Aku matikan rasa pada kulit
Agar angin dan gigil tidak pernah bisa merayu
Sebab rindu takkan pernah benar-benar mengantarku pulang padamu
Sebelum jangkar benar-benar dilepaskan pagutannya pada tanah

Jika orang-orang menyebut rindu sebagai kapal,
Maka nasib adalah jangkar yang dibenamkan jauh ke dasar lautan.

Padang, 2016


SUATU SORE DI JALAN PROKLAMASI DAN
HUJAN YANG MENJATUHKAN SEGALA DARI LANGIT

Sore itu hujan turun dengan tubuhnya yang lembab
Tergesa memang, namun tuhan selalu tahu cara untuk mendekatkan segala yang berjauhan

/perempuan di seberang jalan/

Di seberang jalan dekat lampu merah
perempuan berambut kepang dua berdiri
Ia seperti menunggu hujan teduh atau barangkali menunggu pergi sakit yang tak pernah janji untuk sembuh.

Aku tidak pernah benar-benar tahu bagaimana rasanya menunggu
sebab perempuan lain di tempat yang lain aku tinggalkan dengan rindu yang lebam
Hujan kali ini menjatuhkan sakitnya tepat di depan aku berdiri.

/perempuan di depan ruko/

Di depan sebuah ruko, Perempuan tua tengah menghitung-hitung ubannya yang putih
Igau-igau berlarian dari mulutnya, menembus sela bibir yang retak:
"Berapa uban lagi yang akan jatuh, berapa hujan lagi aku diziarahi sembuh?"

Tiba-tiba langit menjelma kepala penuh uban
dan hujan merupa uban-uban yang jatuh di tempat yang jauh.

/tiga bocah main di jalanan/

Jalanan sedang sepi-sepinya. tiga bocah berlari di bawah hujan.
di atas genangan air mereka bersorak:
"Kita sedang berlayar! kita sedang berlayar! Dayung sampan sampai jauh, sampai punggung tak bisa melihat lagi tepi laut."
Hujan semakin deras, menjatuhkan sepi yang akut
Lalu aku berkata pada mereka:"aku juga tengah berlayar, dik. Namun pada dasarnya semua pelayaran tidak pernah ingin benar-benar menjauhi tepi laut."
Di sanalah segala kepergian ditangiskan dan segala kepulangan disorakkan.

Hujan mulai reda.
Di jalan Proklamasi aku masih berdiri memagut-magut sepi seorang diri
di depan genangan air yang mengapungkan segala yang dijatuhkan hujan dari langit sore itu.

Padang, 2016



PERIHAL KEPERGIAN DAN PENANTIAN YANG TERBIAR

Suatu hari yang tak pernah dijanjikan tanggal-tanggal. Ada yang larut ke dalam angin, lalu mengikuti takdir yang sama
tidak ada suara. hanya derit pintu yang tenang mengantarkan kepergian yang diam
Sedang aku sibuk di dapur menanak kesetiaan yang baru kemaren dipikul jauh dari ladang.

Pintu terbiar dalam nganga. Dirindukannya peziarah yang lama, seperti ujung-ujung buluh bambu menunggu suluh
Atau barangkali seperti suluh-suluh, menunggu ditelungkupkannya kelam pada tubuh.

Aku terus menjahit tanggal-tanggal sakit
keningnya basah oleh peluh yang dijatuhkan musim kemarau
di kemaru itu,  aku berjalan dengan betis gemetaran
Adakah seseorang akan datang membawakan sebentuk hujan dari jauh?

Di dapur
Sekian sakit, sekian kesetiaan masak dan terhidang
Di meja makan
Sekian jerit, sekian kesetiaan busuk dan hilang

Ada yang menukak setelah kepergian yang terbiar
di dapur ikan asin, udang, pari, lokan, segala mengisyaratkan pelayaran-pelayaran yang gagal ke tepian
ke tempat angin berkirim banyak kabar buruk tentang tungku-tungku penghabisan.

Sekian asap mengepulkan asin berulang-ulangkali. di udara ia menyeruap, berkentalan dengan angin
Pada bawang-bawang yang diiris itu aku terus berkilah membohongi diri sendiri.

Ada sisa-sisa cahaya yang kurus, yang merawat jantung agar tetap bertiktak-tiktak
Seperti cahaya yang masuk melalui celah atap berlubang. Kurus menyerupai tulang-tulang hujan.

Suatu hari yang tak dijanjikan tanggal-tangal
Pintu kembali berbunyi dengan deritnya yang tenang
Namun hanya ziarah angin
Pura-pura menyerupai dirimu.

O, Masih jauhkah?

Kajai, 2016


Dafrika Doni,  lahir 3 April 1994 di Nagari Kajai Talamau, Pasaman Barat, Sumatera Barat. Menyukai sastra sejak masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Sekarang bekerja dan tinggal di Padang.
**************************************


Komentar

Postingan populer dari blog ini

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.