BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya. “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”. Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR ketika ditanya: ”Itu niat
Cerpen
oleh Denni Meilizon
IA LEMPARKAN
senyum ke luar jendela. Bibir daun limau itu seperti seduhan segelas kopi di
minum di sebuah kafe di jalanan tersibuk kota ini. Ramai tapi acuh. Dan kau
akan berada dalam situasi tak dipedulikan hingga kau boleh senang sendirian.
Mengecap daging kopi cair merasa-rasakannya di dalam mulutmu. Hebatnya, daun
limau itu tak berhenti tersenyum sampai langkah bagai menabrak dinding dan
membuat lelaki itu terpaku diam. Kepalanya mendongak dengan pandangan lurus,
mengumpulkan semua inderawi dan tertuju kepada satu pusat pandang. Kepada gadis
yang sedang berdiri memilin-milin anak rambutnya di jendela itu.
***
Okkira
sering bercerita kepadaku tentang Meutia. Biasanya pada akhir pekan ia akan
datang menemuiku di sebuah kafe, di samping stasiun kereta api. Kaupun jika
ingin mencariku suatu saat nanti cukup ke kafe itu saja. Satu-satunya tempatku sebagai
persinggahan, mencari ruang untuk menjadi diri sendiri. Okkira paham hal itu. Dan
aku menyediakan diri untuk mendengarkannya bercerita, terutama tentang
Meutia. Seingatku, aku tidak pernah
membuka percakapan. Pagi hari, dengan bunyi peluit masinis dari stasiun kereta
api, deru putaran roda besi menandakan kedatangan dan keberangkatan, aku
tenggelam ke dalam buku catatan. Okkira akan menunggu beberapa menit, menunggu
pesanan tentu saja, seteko air teh dan sepiring roti bertepung gula.
Tapi
kali ini terlalu lama. Maksudku, biasanya begitu pelayan kafe meletakkan air
teh di atas meja, ia akan menyalakan kretek dan mengembuskan asapnya dengan
sedikit mendongak untuk menghindarkan asap itu mengenaiku. Ia tahu aku tidak
suka rokok. Suatu kali aku pernah komplein
tentang asap rokoknya itu. Maka untuk
sedikit menghargaiku iapun membiasakan untuk membuang asap rokok dengan sedikit
mendongakkan kepala. Walau sesungguhnya itu tak sepenuhnya berhasil. Apabila ia
sudah bergairah berbicara, misalnya jika pembicaraannya sedang membahas Meutia,
asap rokok berikut bau mulutnya seperti berhamburan begitu saja. Sudahlah.
Setidaknya sebelum ia membuka suara, setelah pelayan meletakkan seteko
teh kesukaannya, ia masih mendongak menghindarkan asap rokoknya agar tidak
mengenai wajahku. Aku hargai tindakannya yang beretika itu, keinginan untuk
sedikit menghargai oranglain.
Ia
masih belum bicara. Peluit masinis dari stasiun kereta api sudah lama berlalu. Lagu
sentimentil lamat terdengar dari speaker yang tergantung di atas plafon.
Kucuripandangi ia lewat ekor mata. Okkira ternyata sedang menatapku. Ia sedang
melakukan analisa dan menilaiku. Atau demikianlah yang dapat kusimpulkan. Dan
mendapati aku melihat kepadanya walau lewat ekor mata, Okkira pun salah
tingkah. Kututup buku catatanku itu. Kutatap ia lekat-lekat. Inilah kali
pertama aku yang memulai percakapan.
“Kenapa
kau memandangiku begitu?” ujarku sambil meraih tangkai gelas porselin,
mengacungkan gelas itu sedikit kepadanya dan menyeruput kopi hitam di dalamnya.
Okkira
tidak langsung menjawab. Ia malah mengibaskan rambutnya, sebuah tindakan yang
menurutku sebagai pengalihan bahwa ia sudah ketahuan melakukan hal yang tidak
pantas diperbuat terhadap kawan satu meja di kafe ini. Di luar kafe, pagi hari
yang tadinya cerah terlihat lindap dan murung. Mungkin sebentar lagi akan turun
hujan.
Karena
dia masih diam dan kurasa ini aneh sekali, maka aku kembali membuka buku
catatanku. Kulanjutkan saja menulis, meneruskan kalimat yang tadi sempat
terputus di sana. Lonceng di pintu masuk berdentang menandakan ada yang masuk
ke dalam kafe. Berdiam diri di dalam kafe ini merupakan keputusan yang tepat
daripada memaksakan diri menyongsong hujan. Hujan di kota ini sudah betah membayangi
sebulan ini. Banjir di mana-mana. Dulu pernah terjadi, hujan turun dua hari tak
henti-henti. Akibatnya kota ini berubah menjadi kota terapung. Orang-orang
terkepung tak bisa ke mana-mana sebab jalan raya menjadi sungai. Rumah-rumah
porakporanda dihantam air bah yang datang entah darimana.
“Aku
heran, Bang,” terdengar Okkira bicara. Lebih seperti berbisik.
Penaku
tersendat dan aku mengangkat kepala untuk menatapnya.
“Maksud
engkau? Heran? Kenapa?” tanyaku memancingnya untuk melanjutkan.
“Ya,
heran saja begitu, Bang. Ada yang aku sadari semalam. Sekian lama aku bercerita
kepada Abang soal percintaan atau tegasnya soal hubunganku dengan Meutia, Abang
ternyata tidak sekalipun menceritakan persoalan pribadi Abang kepadaku.
Katakanlah perkara asmara. Sekian lama aku menemui Abang di kafe ini, aku sadar
bahwa teramat sedikit yang kuketahui tentang diri Abang,” ujarnya sambil
meminum teh.
Jadi
itulah rupanya kenapa ia menatapku tadi dengan aneh. Ini tentang diriku. Dan
ini serius. Okkira, anak muda yang pertama kali kukenal –tepatnya ia yang
mengenalkan diri- di kafe ini setahun yang lalu, kini membangkitkan kembali
ingatan lampauku. Sesuatu yang tak ingin kuungkit lagi. Namun, dia ada
benarnya. Sejak perkenalan kami hingga hari ini, dialah yang menguasai obrolan
kami. Dia menyediakan bahan cerita yang melimpah kepadaku. Anak muda di
mana-mana sama saja kalau sedang jatuh cinta. Entah kenapa ketika jatuh cinta,
pelakunya selalu butuh seseorang di luar hubungan percintaan itu sebagai tempat
menumpahkan segala sesuatu yang tidak mungkin ia bicarakan dengan kekasihnya.
Bagaimanapun langgengnya sebuah hubungan tetap saja ada rahasia yang tak bisa
dibagi bersama. Anehnya, rahasia itu selalu saja mendapat tempat di dalam diri
seseorang, orang yang dianggap karib dan dekat. Kautahu maksudku.
“Aku
tak bisa menceritakan diriku kepadamu, Okkira. Maaf.” Setelah berkata demikian
cepat-cepat aku meraih buku catatanku lagi. Malangnya aku tak mendapatkan
apapun untuk dituliskan di sana. Aku melihat raut kecewa di wajahnya. Ia pasti
sudah menyimpulkan kalau aku bukanlah teman berbagi yang baik.
Kembali
kututup buku catatanku. Kopi dalam gelas porselin kuminum dan meletakkannya
kembali ke atas meja.
“Oke..”
kataku menimbang-nimbang. Persoalannya adalah aku menganggap bahwa cerita sebaiknya
dituliskan saja. Terlalu mahal harga sebuah cerita kalau hanya menjadi subjek
penyenang obrolan saja. Terlalu lancang nilai percintaanku dengan Rozalina
apabila mudah kuceritakan dalam perbincanganku dengan oranglain. Aih… Rozalina
Lubis, kaukah itu di tengah hari gerimis pelangi melengkung? Wahai bansi, rabab
dan pantun rinduku yang sunyi*.
Hujan
turun juga walau di dalam kafe ini tidak terlalu kentara terasa. Tetapi, Okkira
hari ini telah membikin hujan meluah di dalam dada ini.
“Ayolah,
Bang. Cerita. Bosan aku menceritakan Meutia kepada Abang. Aku dengar kalau para
pengarang selalu digemari perempuan cantik. Nah, perempuan Abang pasti akan
lebih menarik daripada Meutia. Cerita, Bang. Ayo..!” katanya dengan semangat.
Sampai-sampai ia mengatakan itu sambil berdiri. Baiklah. Mungkin tidak mengapa
sesekali kembali membincang perkara diri sendiri kepada oranglain. Apalagi
Okkira agaknya sudah menganggapku orang dekat yang selama ini tempat berbagi
cerita.
“Duduklah,
Bung,” kataku kemudian. “Baiklah. Aku akan menceritakan kepadamu sebuah kisah
lama. Sebuah kehidupan yang telah kubenamkan ke dalam buku catatan ini.
Sebetulnya aku sudah berjanji kepada seseorang untuk tidak mengungkit masa lalu
itu. Tidak lagi mengangin dinginkannya kecuali nanti bisa dinukilkan dalam
sebuah buku. Bagaimanapun, kisah ini tentu saja bisa kaubaca juga apabila
catatanku ini ada penerbit yang mau menerbitkannya.”
Kubasahi
tenggorokanku yang terasa kering dengan kopi yang tersisa di gelas. Okkira
duduk dengan diam siap menyimak. Oh Tuhan, ia merokok lagi. Tidak bisakah ia
mendengarkan ceritaku ini tanpa mengisap benda itu?
“Ini
tentang seorang gadis bernama Rozalina…”
Petir
terdengar menyambar di langit. Hujan di luar kafe kian deras menggulung kota
ini. Menggulungku ke dalam ingatan di sebuah tempat pada suatu masa. Asap rokok
kretek Okkira mengepul dan menampar indera penciumanku dan larut ke dalam
dadaku.
***
Lelaki
itu begitu amat mencintai gadis berbibir bak daun limau itu. Gadis itu juga
jatuh hati kepada lelaki itu. Mereka saling mencintai satu sama lain. Namun,
dalam kehidupan seseorang ini selalu saja ada romantika yang pada sebuah
kemungkinan menjadi konflik dan benturan. Lelaki itu dan gadis itu tidak akan
dapat hidup bersama. Percintaan mereka telah dihantam sesuatu hal di luar
kemampuan badan mereka. Tidak ada yang dapat diperoleh dari cinta yang tak
bermata selain bertahun-tahun kemudian lelaki itu mendapati dirinya betah duduk
di sebuah kafe di samping stasiun kereta api. Di sana ia mendengarkan peluit
masinis melengking dan bunyi gesekan roda besi menghantam dada. Menikmati rasa
sakit yang mengentak jauh di dalam tubuhnya. Dalam sekali.
“Gadis Pasaman pemetik buah asam
itu, Rusli. Ingin kuda jantan dengan asmara membahana.” Kuda Jantan tua itu,
Rusli. Meski beruk muda bersorak, sambil bergayut-bergelantungan di dahan kayu
rimbun, kakinya tetap sigap melajang, getar betisnya menandakan asmara yang
berulang.”**
Padang,
2016
Catatan kaki:
*
Dari puisi “aku rindu bansi menjerit di kebun sawit” oleh Rusli Marzuki Saria
**
Dari puisi “Rusli dan Gadis Pasaman” oleh Esha Tegar Putra
Dipublikasikan pertamakali oleh SKH Rakyat Sumbar edisi April 2017
Komentar
Posting Komentar
Selamat datang dan membaca tulisan dalam Blog ini. Silakan tinggalkan komentar sebagai tanda sudah berkunjung, salam dan bahagia selalu.