Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

Seperti Berburu sebab Ada yang Tidak Tuntas Tak akan Selesai-Selesai



 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 18 September 2016)

Oleh Denni Meilizon

BERBURU merupakan sebuah tradisi paling purba. Padang perburuan mengandung dua kekuatan yang mesti bertolak belakang. Harus ada Pemburu dan ada pula yang diburu. Apabila Pemburu tidak ada maka yang diburu akan tenang mengembangbiakkan jenisnya. Sebaliknya, jika buruan tidak ada maka tidak akan ada Pemburu. Ini lebih kepada hubungan sebab akibat. Diantara dua kutub kekuatan itu, yang kuat dan dominan lah yang akan menang. Puisi “Berburu” karya Penyair Budi Hatees merupakan metafora dari aktivitas buru memburu itu. Tetapi si aku lirik dalam puisi ini agaknya cuma mengirimkan pesan ancaman saja.  Adanya kata “akan” pada bait pertama dan bait kelima menegaskan hal tersebut. Baik kedua hingga keempat merupakan luapan emosi berisi ancaman itu. Namun, sekali lagi si aku lirik tidaklah benar-benar pergi berburu. Sudah lama aku idam/  katanya di bait ketiga. Kubidik dari jauh/ katanya lagi pada bait kelima. Si aku lirik tentu berhitung-hitung juga sebab yang akan diburunya kali ini bukan binatang sebenarnya akan tetapi manusia yang menyaru segala rupa binatang.

Kita membaca puisi “Di Belantara Ini” pun begitu pula. Aku lirik dalam puisi ini menasbihkan dirinya sebagai makhluk jahat berkawankan para iblis yang aku bangkitkan. Ke sana ke mari ia sebarkan ancaman. Dan di belantara ini aku tegak/ lebih tinggi dari apa saja. Dua puisi ini tentu berkaitan. Ia menyoal ketakutan dan kesombongan. Bahkan katanya, telah kubutakan mata para pengintai/ yang dikirim petinggi. Jadi, untuk sementara kejahatan dimenangkan sebab dalam posisi amat kuat. Bukankah dalam hidup nyata, kejahatan yang terorganisir mengalahkan kebaikan yang lemah dan kucar kacir?
Kita tinggalkan dua puisi di atas, kita beralih kepada puisi “Pengasah Pisau”. Dalam puisi ini kita menjadi sebuah pisau yang dipenuhi karat sehingga harus diasah. Tetapi kita pisau ini pernah jaya pada masa lalu. Lihatlah pada bait kedua kita baca, juga segala kenang betapa jelas: urat-urat nadi yang pernah putus di masa lalu. Pada suatu masa dulu, kita si pisau ini telah melaksanakan tugas dengan baik, memutuskan urat nadi. Tentu saja kejayaan tidak akan selamanya. Tetapi, ketika ibu jari si pengasah itu/ disentuhkan lembut ke matamu (mata kita sipisau itu) gairah menjemput kembali kejayaan masa lalu kembali berdenyut. Aha, tua-tua keladi ini, makin tua makin menjadi.
Mata pisau menjadi kata kunci lagi dalam puisi “Daging Sapi di Pejagalan”. Sebuah puisi yang menyindir ketimpangan sosial masyarakat. Jika sapi telah menjadi daging, disayat-sayat dan berbau anyir di pejagalan, maka perih luka sudah tidak dirasakan oleh sapi sebab ia sudah mati. Sebuah mata pisau telah mengerat urat lehernya. Tetapi, nyeri sesungguhnya ada pada mata orang-orang/ yang menghayalkan rendang (yang) tak tersedia di rumahnya. Dan sebab luka memerih, karena orang-orang itu masih hidup, masih menanggung sebab akibat di dunia. Maka beruntunglah si sapi yang jelas ujung nasibnya: dibesarkan, dipelihara dan setelah  dirasakan cukup umur sapi pun berakhir di meja jagal.
Dari beberapa puisi yang dikirimkan Penyair, puisi “Lubuk Larangan”  yang paling kuat unsur puitiknya. Kita bisa menikmati efoni, irama dan rima. Sayangnya, keindahan puitis itu terasa dihentikan begitu saja oleh Penyair ketika sampai bait kedua. Ada yang tidak tuntas dalam puisi ini. Apakah pembaca bisa merasakannya?
Salam bahagia dan teruslah menyair, hai Penyair!


Puisi – Puisi Budi Hatees

BERBURU

Hari ini aku akan berangkat berburu
kota di luar rumah telah berubah jadi belantara
hutan liar, rumah bagi binatang
yang menyaru sebagai kau.

aku tak perlu bawa buku panduan
cara memanah atau menembak sudah kupahamkan
tak perlu kuhafalkan cara membunuh paling mematikan
di darahku semayam hal demikian

aku hanya perlu lebih teliti
memilih sasaran di antara binatang liar
sudah lama aku idam menancapkan anak panah,
mengiriskan belati, atau melubangi dada
musang yang memakai bulu ayam

aku juga muak pada serigala
yang mengenakan bulu domba, pada tikus
yang memakai dasi dan menyembunyi ekornya
dalam pantaloon, jas bermerek, dan basa-basi
dalam rapat tentang menjaga rakyat

aku akan memburu semua, satu per satu
kubidik dari jauh dan kutembaki dengan peluruh
tak kupedulikan jika salah satu menerjangmu



DI BELANTARA INI

Di belantara ini aku adalah penguasa
tak aku punya pamrih, hidupku selalu bikin ngeri
jejakku adalah rasa nyeri
di nasibmu

bersama  para iblis yang aku bangkitkan
dari ketakutanmu. aku bangun kerajaan
dengan singgasana yang membutakan matamu
hulubalang  dan balatentara aku bekali kelewang
dan siasat perang

aku paksa musuh-musuhku takluk, aku gantung
di pintu-pintu  gerbang kota. aku potong telinga para pengkhianat
dan aku jadikan cendramata bagi sekutuku

kau harus menunduk takzim di hadapanku
merangkak dari jauh bila ingin  temu
jangan angkat dagumu apalagi menentang mataku
telah kubutakan mata para pengintai
yang dikirim petinggi

di belantara ini aku tegak
lebih tinggi dari apa saja.


PENGASAH PISAU

Biarkan ia tempelkan matamu ke wajah batu asah yang lembut
agar mata rabunmu yang dipenuhi karat itu tak lagi buta

maka kau dengar halus lengking suara saat batu tergerus,
bersama kepul debu abu-abu dan coklat karat yang larat.
lalu tinggal hanya putih pipih mengkilat di bawah cahaya matahari

kau akan tampak cemerlang,  segala betapa terang bagimu
juga segala kenang betapa jelas: urat-urat nadi yang pernah putus
di masa lalu.

denyutnya kembali terasa  ketika ibu jari si pengasah itu
disentuhkan lembut ke matamu.


DAGING SAPI DI PEJAGALAN

Tidak ada lagi luka pada daging sapi yang disayat-sayat
di pejagalan, meski jejak mata pisau begitu nyata
dan tetes darah masih meruap aromanya

mungkin juga tak ada lagi perih di sana, yang baunya anyir
dan membuat lalat-lalat nyinyir.

tapi nyeri jelas masih terasa pada mata orang-orang 
yang  menghayalkan rendang tak tersedia di rumahnya


LUBUK  LARANGAN

Sebab ia datu di masa lalu,  kami tak pernah meragukan itu, 
mantra yang ia rapalkan untuk pagar,  begitu gaib,
begitu ajaib. di sepanjang sungai yang melingkari kampung
ikan-ikan pun berenang setenang dalam akuarium
serupa di alir air yang bermuara ke nirwana.

di lubuk yang bening, di air yang tak hening, di butir pasir
ikan-ikan itu berpinak. di  bawah matahari, juga malam hari,
orang-orang menaburkan serpihan roti, kacang kapri,
dan kecipak sirip ikan-ikan menjadi komposisi
ketika aku sampai di sana menghapalkan sebuah wasiat.


Budi Hatees lahir di Sipirok, Tapanuli Selatan 3 Juni 1972. Karya-karyanya (puisi, cerpen, dan esai) tersebar di media massa lokal dan nasional. Sebagian lainnya tergabung dalam buku: Ziarah Sunyi (puisi, 1995), Getar II (1996), Narasi Sunyi, Ibadah Sunyi, Perjalanan Sunyi (puisi, 1996), Graffiti Gratitud (puisi, 2001), Ketika Duka Tersenyum (cerpen, 2002), Waktu Bulan (puisi, 2002), Ini ... Sirkus Senyum (cerpen, 2002), Cermin dan Malam Ganjil (cerpen, 2002), Anak Sepasang Bintang (2003), Perempuan Bermata Lembut (cerpen, 2004) dan Pertemuan Dua Arus (puisi, 2004)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.