Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

ENJAMBEMEN DAN ESENSINYA PADA PEMAKNAAN PUISI SECARA UTUH


( copas milik Imron Tohari )


Puisi adalah media dan atau sarana komunikasi untuk melahirkan pemikiran-pemikiran baru (kebaharuan piker/new opinion) atas olah rasa dan atau olah batin dan atau olah laku kehidupan, baik yang merupakan sesuatu hasil dari lelaku langsung maupun dari apa yang ditangkap oleh panca indra dari lingkungan sekitar (diluar diri) yang melahirkan pemikiran-pemikiran baru dalam upayanya memberi nilai positip dimasa-masa selanjutnya” (lifespirit, 2010) 


Pada proses kreatifitas penciptaan karya sastra puisi, tidak jarang pencipta karya, setelah melalui tahap pengendapan karya, merasa buah karya tersebut kurang maksimal dan atau dirasakan mempunyai kelemahan dalam menuangkan idea tema ( bisa saja pilihan diksi yang kurang tepat, permainan majas yang absurd, permainan perlambang/symbol bahasa yang rancu dalam kesatuan makna utuh baris/bait/batang tubuh karya secara keseluruhan, atau pemborosan kata/kalimat sehingga karya jadi kurang menarik, dll ).

Disinilah fungsi penting pengkarya cipta untuk seyogyanya mengenal betul sifat dan hal yang menyerta pada kata, baik itu secara semantik (tentang makna kata dan kalimat) atau secara semiotika (tentang lambang dan tanda) sebelum memilihnya sebagai sarana penghantar maksud (tema).

Apakah cukup hanya perihal semantik dan semiotik? Bagaimana dengan tipographipuitika/enjambemen/pemetaan kata pada karya puisi?


Pemadatan kata (diksi) serta pemetaan kata, kalimat, baris, bait, larik, dan lain hal yang terkait, atau bahasa kerennya tipographipuitika/enjambemen (peristiwa sambung-menyambungnya isi dua larik sajak yang berurutan), bila dilakukan pengkarya cipta dan atau oleh editor dengan tidak tepat, justru akan menyebabkan bangunan makna secara keseluruhan yang ingin diletupkan kepermukaan melalui tekstual bahasa, menjadi kabur pesan, sehingga hal-hal pokok secara intrinsik makna dari penyatuan beberapa kata/kalimat tersebut tidaklah relevan dengan maksud pesan tema pada karya puisi terkait. Hal tersebut dikarenakan karakteristik ruang tuang puisi sangat terbatas, berbeda dengan ruang tuang prosa yang lebih bebas daripada puisi dalam menuangkan idea/gagasan/tema.

Untuk mencermati betapa pentingnya peran tipographipuitika/enjambemen pada karya puisi, di sini saya sertakan salah satu karya sahabat virtual/maya saya melalui jejaring Facebook, yang tentunya saya telah minta ijin terlebih dahulu pada beliau (Lina Kelana) untuk mengangkat salah satu karya puisinya yang bertajuk “KULMINASI SEMU” untuk saya sertakan dalam tulisan saya kali ini “ENJAMBEMEN DAN ESENSINYA PADA PEMAKNAAN PUISI SECARA UTUH”


KULMINASI SEMU


Bukan kamu, atau siapa
Bukan juga aku, siapa

Menyentuh pelepah raga
Masuki ruang maha

Dimana kamu ??
Dimana aku??

Hilang tenggelam
Dalam jejak bayangan diri
_____________________________
@ Lina Kelana, Babat, Maret 2010

Secara kandungan makna, puisi di atas sudah bagus. Diawali dari rasa gamang, di sini pengkarya cipta melalui bahasa isyarat ingin menyampaikan tentang keresahannya/kebimbangannya atas suatu hubungan horizontal (manusia dengan manusia, bisa jadi hubungan percintaan sepasang kekasih yang mengalami degradasi kepercayaan/keyakinan), atau bisa jadi pengkarya cipta justru ingin mengangkat tema yang lebih besar lagi dari sekedar cinta kasih muda-mudi, suatu tema besar tentang pencarian jati diri/identitas diri/sejatining insun…, yang betapa semakin tipisnya kesadaran akan nilai-nilai keimanan, terutama yang berkaitan dengan unsur transendental ( kerohanian, utamanya dengan Tuhan ), hal ini jika kita merujuk pada apa yang tersirat pada baris kata “Menyentuh pelepah raga
Masuki ruang maha“ , karena adanya dorongan rasa yang teramat sangat ( bisa takut,cemas,gundahgulana ) akan kemenonjolan sifat-sifat ego serta hembusan goda dari bisikan-bisikan indah dunia yang tiada kekal.

“Hilang tenggelam
Dalam jejak bayangan diri“.

Begitulah pesan kuat yang saya tangkap dari larik-larik isyarat bahasa sajak “Kulminasi Semu”. Yang secara ensensial makna sangat dekat dengan nilai-nilai pencarian diri dan Tuhannya.

Walau dari sisi makna, seperti yang saya katakan sudah bagus, namun pada dasarnya karya ini masih bisa lebih dieksplore lagi, sehingga penikmat baca begitu selesai membacanya, tetap berada dalam nilai renung yang tak berkesudahan. Hal ini bisa saja dengan cara memanfaatkan tekhnik tipographipuitika/enjambemen ( memetakan kata/kalimat), bisa juga dengan cara penambahan,penghilangan/pemadatan, penggantian kosakata yang dianggap lemah, dll.

Sekarang mari bersama-sama kita pindai larik per larik “Kulminasi Semu” karya saudari Lina Kelana ini.

“Bukan kamu, atau siapa
Bukan juga aku, siapa”

Pada bait awal ini, pemaknaannya jelas terbaca,sebagai bait pembuka untuk pijakan luncur pada bait selanjutnya, saya rasa bait ini sudah mewakili. Dengan pesan tersirat : dalam hal ini bukan siapa-siapa, termasuk kamu juga aku “Bukan kamu, atau siapa
Bukan juga aku,siapa “ (nah pada kata “siapa” setelah tanda (,) di baris akhir bait pertama, saya menangkap adanya isyarat pokok/ mendasar yang ingin disampaikan pada bait selanjutnya dan juga rasa gamang dari aku “lirik” ). Bait awal ini bisa lebih bunyi bila kita padatkan seperti ini :

“bukan kamu
bukan juga aku
ataukah sesiapa”

Pada larik gubahan ini, “siapa” saya ganti dengan “sesiapa” yang saya tambah tautkan dengan “ataukah” sebagai bentuk Tanya, sekaligus untuk memberi efeck ellipsis (menggambarkan atau menunjukkan bahwa dalam suatu petikan ada bagian yang dihilangkan; disembunyikan) pada “sesiapa” tanpa menggunakan symbol bahasa ellipsis (...). Dan pada puisi atau sajak, pemakian atau penghilangan simbolik tanda baca ( ?,!,:,;, …., dll) masih bisa dibenarkan untuk menyertakan atau tidak menyertakan, dengan suatu asumsi, ritme akan bisa dirasakan saat pembacaan, juga sifat karakteristik unik yang ada pada sajak atau puisi, menyebabkan simbolik tanda baca tadi bisa bermain secara fleksibel. Dan hal ini tidak bisa kita dapati pada prosa, dimana tanda baca mempunyai peran yang fital dalam penyampaian maksud. Jadi walau pada bait pertama ditulis seperti ini pun : // atau sesiapa/pun siapa//, tetap saja mempunyai arti dan maksud sama, yakni “ atau(kah) sesiapa”, dengan menambahkan akhiran “kah” tadi yang serupa kalimat mempertanyakan, dan kalimat seperti itu biasanya akan meluncur pada saat kita ragu/gamang.

Coba kita rasakan, kalimat ini : “atau sesiapa” tidak ada efek mempertanyakan dengan “ataukah sesiapa” yang terasa sekali efek mempertanyakannya.

Bukan kamu, atau siapa
Bukan juga aku, siapa

Itu dua baris asli Lina. Kalau kita baca/deklamasikan. Maka akan terasa getar Tanya setiap baca setelah simbolik tanda baca (,) apa lagi setelah tanda (,) di baris akhir yang hanya satu kata “siapa”.

Dengan dasar tersebut, untuk memapatkannya tanpa merubah maksud, saya bubuhkan akhiran “kah” pada kata “atau” untuk mendapatkan efek yang sama dengan aslinya, efek Tanya “ (,)apa”

“ataukah sesiapa “ > yang merupakan refleksi penokohan "kamu", "aku" dan atau "siapa saja” bisa “kamu”, bisa juga “aku”


Dari bait awal ini, khususnya baris terakhir ( baik sebelum atau sesudah nanti saya gubah), yang menyisakan lubang besar Tanya berselubung misteri, kita diajak masuk ke dunia symbol bahasa filsafat yang termaktup pada larik/bait ke dua :

“Menyentuh pelepah raga
Masuki ruang maha”

Sebelum saya menyimpulkan makna apa yang terkandung pada bait ini, sebenarnya saya sempat bertanya-tanya dalam imaji piker selaku penghayat. Kenapa pengkarya cipta menyatukan kata “pelepah” dengan “raga”, sedangkan “pelepah” identik dengan alam tumbuhan, dan “raga” seperti yang sering kita dengar di kehidupan sehari-hari , identik dengan “badan; tubuh ; hayat ; awak ; fisik; jasad”. Lalu kenapa disatukan dalam satu baris tegas, dengan diawali kata “menyentuh” yang berkonotasi “ bersinggungan, gesekan yang menimbulkan efek tertentu?”.
Sepintas lalu, penyatuan tiga kalimat “menyentuh-pelepah-raga”, adalah penyatuan yang absurd, dan kalaupun berupa majas metaphora, sepertinya juga terkesan naïf ( lugu ).

Benar-benar bait yang menghisap penikmat baca, meletupkan rasa penasaran untuk menguak misteri symbol bahasa tadi. Dan layaknya seorang detektif yang dihadapkan pada jejak-jejak symbol bahasa yang ditemukan pada “teks”, muncul utak-utik nakal di imaji piker saya :

apa pelepah?
apa raga?

dan apa kaitannya dengan "aku" "kamu", "jejak", "bayangan", "diri" yang ada pada bait sebelum dan sesudahnya?

Saya yakin, penyatuan itu ada maksudnya dengan keruntutan alur makna dengan bangunan kalimat lainya pada sajak ini secara utuh. ( atau bisa saja penyair tidak sadar dengan penyatuan kata tersebut pada satu baris, namun itu terjadi karena adanya proses alam bawah sadar yang mengalir begitu saja. dan kekuatan alam bawah sadar itu memang saya secara pribadi yakin ada ).

untuk menguak misteri , maka saya mulai dari “pelepah”, definisi ; tulang daun yang terbesar (tentang daun pisang, daun pepaya, daun…, dsb); tangkai daun nyiur, tangkai rotan, dsb. Yang secara naïf saya filsafatkan sebagai sesuatu keadaan pada tanaman yang bila dimanfaatkan mempunyai suatu pengaruh yang maha (bisa sangat baik, bisa juga sangat buruk). Dari sini saya mulai kaitkan dengan kata “menyentuh”, yang sebenarnya punya makna ganda, “menyentuh” sebagai definisi gesekan, atau definisi dari “rasa” yang membangkitkan perasaan haru, sedih, takut … dsb, di hati.

Jadi kalau digabung “menyentuh pelepah”, saya terjemahkan seperti ini “ menyentuh tulang daun yang terbesar”. Dari sinilah saya menarik kesimpulan, “raga” yang dimaksud pada baris pertama bait kedua, bukan “raga” dalam pengertian yang selama ini sering kita dengar. Tapi “raga” yang dimaksud tidak lain dan tidak bukan dari “keranjang yang kasar terbuat dari rotan” ( rujukan KBBI ).

Kalau analisa saya membaca sifat-sifat symbol bahasa tadi benar, maka secara imajinatip akan terangkai “menyentuh tulang daun yang terbesar untuk dijadikan keranjang dari rotan “. Yang secara otomatis rasa imaji piker saya dihisap ke ranah filsafat. Namun untuk mendapat makna yang relevan, tidak hanya sampai di situ, dalam arti, setelah kita ambil kesimpulan definisi “raga” yang dimaksud adalah “ keranjang yang terbuat dari rotan dan biasanya dipakai sebagai tempat buah, maka kita juga harus tahu hal-hal yang berkaitan dengan anatomi tubuh rotan ( minimal yang berkaitan dengan pelepah daun ). Dan ternyata Pelepah daunnya membungkus batang ,dan pada permukaan pelepah dipenuhi oleh duri yang rapat dan tajam (berdasarkan referensi yang saya dapat), apa lagi bila kita kaitkan dengan baris di bawahnya “ memasuki ruang maha “, yang secara makna lesikal ( makna yang berkaitan dengan kata/kosa kata ) kurang lebih bermakna “ memasuki ruang antara yang teramat sangat “. Dan ruang makna akan semakin bertambah luas dan dalam, bila mana baris ke dua pada bait ke dua tersebut lebih dioptimalkan lagi dengan tekhnik tipographipuitika menjadi :

“masuki ruang
maha”

Sehingga akan kian merangsang daya jelajah penghayat/penikmat baca dalam menghayati isyarat bahasa symbol yang dia tangkap melalui imaji pikernya. Sehingga bila disatukan dengan baris sebelumnya, akan kian memperkokoh bangunan sajak, baik ditinjau dari segi konotasi (nilai rasa yang timbul karena adanya tautan pikiran antara denotasi dan pengalaman pribadi) maupun secara detonasi bahasa (kata atau kelompok kata yang didasarkan atas hubungan lugas antara satuan bahasa dan wujud di luar bahasa, seperti orang, benda, tempat, sifat, proses, kegiatan, dll), :

“menyentuh pelepah raga
masuki ruang
maha”

Secara fisik teks kita dapatkan suatu makna : bilamana kita ingin membuat keranjang rotan agar bisa kita isi dengan buah, kita juga harus siap bersinggungan dengan pelepah daun rotan yang banyak duri-duri tajam nan runcing “menyentuh pelepah raga”, dan bimana itu tetap dilakukan, itu artinya masuk dunia antara … “memasuki ruang” yang dalam hal sesuatunya teramat sangat… “maha”.

Yang secara filsafat spiritual saya maknai, dalam pencarian hakikat iman, setiap insan harus siap dihadapkan pada suatu proses (ritus), yang tak jarang akan memasuki ruang sunyi, dan atau bahkan akan dihadapkan pada sesuatu hal yang teramat sangat sulit untuk dilukiskan dengan kata-kata.

Jadi, bila ditilik secara konotasi maupun denotasi, justru penyatuan kosa kata “menyentuh-pelepah-raga” dalam satu baris utuh, saya rasa sangat relevansi. Dan hal itu yang melandasi saya untuk tetap mempertahankan keutuhan baris tersebut.

sebab kalau dirubah seperti ini :

misal alternatif pertama ;

“menyentuh pelepah
raga
masuki ruang maha”

atau dengan alternatife ke dua ;

“menyentuh pelepah
raga masuki ruang
maha”

Justru secara konotasi maupun denotasi akan menjadi lemah bila dikaitkan dengan bagunan awal baris yang ingin disampaikan pengkarya cipta melalui isarat simbolik bahasa pada baris awal bait dua “menyentuh pelepah raga” yang ternyata merupakan pokok paling mendasar dalam menjembatani serta membangun pesan-pesan pada bait sebelum dan sesudahnya di dalam batang tubuh puisi secara utuh. Sebab pada alternative pertama “raga” berdiri sendiri jadi baris terpisah dan atau “raga masuki ruang maha”, akan sulit untuk membawa imaji penghayat kearah pengertian “raga” yang bukan bermakna “badan; tubuh ; hayat ; awak ; fisik; jasad”, bukan berarti hilang makna, tapi maknanya akan menjadi lain bilamana “raga” yang dimaksud adalah “ keranjang buah yang terbuat dari rotan “.

Pada permisalan dua alternative tadi, bila kita ilustrasikan maknanya perbaris secara fisik teks akan seperti ini :

“menyentuh pelepah” ; menyentuh tulang daun yang terbesar (tentang batang/daun pisang, batang/daun pepaya, batang/daun…, dsb)
“raga masuki ruang” ; badan,tubuh,jasad,hayat,dll, masuk ruang ( sela-sela antara dua sisi )
“maha” ; sesuatu yang sangat

Dan bila kita gabung secara keseluruhan bait tersebut, akan bermakna “menyentuh batang pisang, tubuh atau jasad masuk kedalam ruang atau sela-sela diantara dua sisi yang teramat sangat” dan atau singkatnya apalagi kalau bukan bermakna “Kematian/proses pemakaman” sedang kalau meruntut ketertautan makna secara menyeluruh, aku, kamu dan atau sesiapa lirik , tidak digambarkan sudah mati, tapi masih hidup dan diatara dua sisi pencarian jati diri,dalam keadaan gamang seperti terlukis pada baris akhir bait pertama, dan ritus keimanan yang di ilustrasikan pada bait pertama bait dua “menyentuh pelepah raga”.

Atau bisa juga akan tertangkap visualisasi seperti ini di imaji penghayat :

“menyentuh pelepah “ > menyentuh kotoran/sampah ( tapi ingat, pelepah identik dengan sesuatu yang berbau tanaman ; pelepah daun pisang ( lebih umum ), detai di atas dalam esai ini! Jadi kalau ingin lebih luas ruang lingkupnya, lebih baik di tulis saja “sampah”, sehingga bisa berupa sampah apa saja. Tapi kalau “ Pelepah”, sudah pasti sampah yang ditimbulkan dari adanya tetumbuhan. Contoh lain : pelepah tebu : ampas batang tebu.
“raga masuki ruang” > Saya yakin 100% bila seperti ini, imaji penghayat pasti akan ke definisi “jasad,nyawa,tubuh,dll”. Sulit rasanya akan terpikirkan ke makna “raga” yang lain atau seperti yang telah saya urai di atas.

Andaipun “raga” dimaknai sama bukan jasad,nyawa,awak dll :

menyentuh pelepah (batang dedaunan)
(keranjang) (me)masuki ruang ==> ruang dalam batang
(yang): maha

Secara makna tetap ada tertangkap, namun penghayat saya yakin tidak akan mendapatkan detailnya. Sebab pemaknaan baris pertama lasung terputus pada “pelepah”, yang pelepah berpengaruh apa? Atau
menyentuh (batang dedaunan) > dedaunan apa? Kurang meletupkan adanya emosi
(keranjang) (me)masuki ruang ==> ruang dalam batang > malah terkesan membingungkan. Anggap “keranjang sebagai obyek” di sini proses batang menjadi keranjang juga kurang kuat ( kalau tidak boleh saya katakan tidak ada ).

Memang dalam segi makna sama-sama mempunyai nilai kemenonjolan pada unsur-unsur kerohanian ( transcendental), yang membedakan kedua hal tersebut hanya pada cipta ruang imaji penghayat sahaja yang lebih luas dan dalam.

“Dimana kamu ??
Dimana aku??”

suatu tekstual bahasa yang sangat jelas pemaknaannya dua baris kalimat pada larik/bait ke tiga. Namun kalau diikat dengan bait sebelumnya terasa mengalir begitu saja, dalam pengertian kurang memberi nilai kejut yang bisa menambah artian yang serba “maha”, sekaligus tetap ada unsur Tanya sebagai bentuk rasa “gamang” yang telah disiratkan pada bait pertama baris akhir sebelumnya.

Atas pertimbangan tersebut, bait tiga saya sederhanakan menjadi :

“kamu
aku
dimana?”

Dengan suatu analisa, bila tersatukan utuh dalam keseluruhan batang tubuh puisi (bait 1,2,3,4), dimana bait empat juga saya gubah dengan dasar alasan yang sama, dengan tujuan menciptakan ruang kedalaman renung untuk pengkarya cipta dan penghayat,

“hilang; tenggelam
dalam jejak
bayangan
diri”

dipilih “hilang;tenggelam”, didasari dari sentral awal narasi sajak yang dikarenakan adanya proses gamang “aku” lirik. Yang mana diperkuat dengan “dalam jejak” yang berarti masih menyisakan suatu perlambang-perlambang yang bisa digali dari hal-hal yang dinyatakan” hilang” dan atau “tenggelam” tersebut.

hilang > dalam arti benda yang dimiliki atau yang tadinya ada memang telah benar-benar hilang atau sudah tak ada wujudnya lagi . Sedang tenggelam saya pisah setara sebagai perlambang : Sama halnya kita punya benda tapi tidak bisa menyentuhnya ( sia-sia! ).

Saya yakin bilamana "bayangan diri" menyatu pada satu baris tak terpisah, justru akan lebih mempersempit ruang imaji penghayat, karena penghayat langsung dihadapkan pada arti yang sebenarnya, yakni “lebih identik dengan cerminan diri yang langsung menunjuk pada orang ( bisa diri sendiri, bukan benda! ), dan dari sana saya berani katakan kalau hal tersebut hanya akan merujuk pada satu pengertian.

Beda kalau “bayangan diri “ dipisah pada baris berbeda, di sana akan kita temukan suatu ruang interprestasi yang sangat luas pada bait penutup, dia akan menjadi sebuah pertanyaan-pertanyaan yang menggantung, sehingga terjadi suatu koherensi serta letupan emosional secara alur utuh. Ingat, inti dasar dari sajak ini adalah “monolog” yang timbul dari suatu keadaan gamang (adj, merasa takut (ngeri serta khawatir) ) dan dalam keadaan seperti ini “gamang”, biasanya muncul pertanyaan-pertanyaan pada diri yang bersifat “gantung” ( baca : tarik ulur untuk menemukan kebenaran jawab dari beberapa kemungkinan Tanya jawab “monolog” yang terjadi ).

Jadi dengan dipisah, kesan gantung jadi kian kental, dan saya yakin akan menghisap pembaca untuk menelisik rahasia kata yang di buat berdiri sendiri tersebut :

“bayangan” > makna yang ingi aku siratkan : 1 ruang yang tidak kena sinar karena terlindung benda; 2 wujud hitam yang tampak di balik benda yang kena sinar; 3 gambar pada cermin, air, dsb; 4 rupa (wujud) yang kurang jelas dalam gelap; 5 (ki) gambar dalam pikiran; angan-angan; khayal; 6 tanda-tanda akan terjadi sesuatu; 7 sesuatu yang seakan-akan ada, tetapi sebenarnya tidak ada; 8 sesuatu yang sudah siap bekerja bilamana diperlukan”

“diri” ========> orang seorang atau terpisah dari yang lain, memang untuk menimbulkan tanya jawab pada imaji pikir penikmat baca sebagai akhir renungan > (diri apa/siapa/kenapa?)
Dan “diri” saat tunggal terasa senyapnya,kalau ditarikan benang merah dengan baris di atasnya, betapa luas makna yang terkandung.

Sehingga secara lengkap hasil editing tersebut akan seperti ini :

KULMINASI > judul akan lebih member ruang luas di imaji penikmat baca.

bukan kamu
bukan juga aku
ataukah sesiapa...
menyentuh pelepah raga
masuki ruang
maha

kamu
aku
dimana?

hilang; tenggelam
dalam jejak
bayangan
diri”


Untuk lebih memahami apa yang saya maksud, mari bait-bait diatas kita parafrasakan biar tujuan dari maksud tiphographipuitika tersebut tertampakan.

bukan kamu
bukan juga aku
(lalu siapa?) ataukah sesiapa...
(yang akan berpayah-payah )menyentuh pelepah raga
(dan kemudian) (me)masuki ruang (…)
maha (; sesuatu yang sangat)


(maha) kamu
(maha) aku
dimana (itu semua sekarang)?

(yang tiba-tiba )hilang; tenggelam
(tertelan) dalam jejak (…)
(dalam) bayangan (…)
diri (…)

Lalu untuk menganalisa, apakah karya yang sudah dipadatkan dan dipetakan kosakatanya tersebut sangat jauh menyimpang maknanya dengan yang aslinya?
Untuk itu mari coba kita parafrasakan dengan cara yang sama.

KULMINASI SEMU


Bukan kamu, atau siapa
Bukan juga aku,(lalu) siapa

(yang akan berpayah-payah ) Menyentuh pelepah raga
(dan kemudian) (me)Masuki ruang maha

Dimana kamu (itu semua sekarang)??
Dimana aku (itu semua sekarang)??

(yang tiba-tiba ) Hilang tenggelam
(tertelan) Dalam jejak bayangan diri

Catatan : Parafase biasanya dipakai penghayat sebagai alat bantu dirinya dalam usahanya menerjemahkan maksud/isi/kandungan/makna secara perbaris/perbait/secara keseluruhan dari batang tubuh sajak. Dan yang biasa terjadi, masing-masing penghayat akan berbeda dalam memparafasekan suatu karya, sehingga sangat memungkinkan makna yang diserap masing-masing penghayat akan sama atau justru akan berbeda antara satu dengan yang lainnya. Parafase ini dimanfaatkan karena sifat unik puisi/sajak yang padat kata.

Akhir kata, semoga catatan sederhana ini bisa member manfaat pada semua, walau hanya serupa titik. Amin.

Salam lifespirit!

Ditulis oleh    : Imron Tohari, ID: lifespirit!, Maret 2010.

Dikutip dari Catatan laman Facebook Driya Widiana M.S

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.