Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

PENGANTAR BUKU 33 TOKOH SASTRA PALING BERPENGARUH

Mencari Tokoh bagi Sastra
 
Negara lahir dari tangan penyair.
Jaya dan runtuhnya di tangan para politisi
.
~Mohammad Iqbal

Jika kekuasaan membawa orang pada arogansi. Puisi mengingatkan kita akan keterbatasan manusia. Jika kekuasaan mempersempit kepedulian kita, puisi mengingatkan mereka akan kaya dan beragamnya eksistensi manusia. Jika kekuasaan kotor, puisi membersihkannya.
~
John F. Kennedy

Peranan kesusastraan dalam kehidupan masyarakat tidak jarang dipertanyakan, terutama saat sebuah negara sibuk dengan pembangunan ekonomi. Hal ini terjadi juga di Indonesia. Di satu sisi, para penguasa kerap merasa terganggu oleh sikap sastrawan tentang pembangunan dan beberapa kebijakan politik menyangkut aspek-aspek kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Mereka cenderung menganggap sastrawan hanya bisa mengkritik kebijakan dan kerja keras pemerintah, mengecam para politikus busuk, dan menghujat para pejabat korup. Di lain sisi, masyarakat umum memandang bahwa peranan sastra dalam pembangunan dan kehidupan masyarakat luas tidak begitu jelas, atau bahkan menganggap sastra cuma berisi lamunan dan kata-kata indah mendayu.

Tapi John F. Kennedy, presiden Amerika Serikat yang legendaris, mengemukakan bahwa jika kekuasaan membawa orang pada arogansi, puisi mengingatkan kita akan keterbatasan manusia. Jika kekuasaan mempersempit kepedulian kita, puisi mengingatkan manusia akan kaya dan beragamnya eksistensi manusia. Jika kekuasaan kotor, puisi membersihkannya. Puisi dan sastra pada umumnya di mata Kennedy adalah bagian penting dari kehidupan berbangsa sebagai pengimbang “bahkan anti toksin” bagi penguasa dan kekuasaan.

Dalam pada itu, Mohammad Iqbal, penyair dan filsuf terkenal asal Pakistan itu, mengemukakan bahwa negara lahir justru dari tangan para penyair. Untuk bangsa-bangsa pada umumnya, ungkapan tersebut benar secara metaforis. Namun, bagi bangsa-bangsa terjajah, khususnya Indonesia, pernyataan Iqbal bahkan benar secara faktual. Kelahiran sastra Indonesia tidak dapat dipisahkan dari gejolak sosial-politik pada masa-masa berseminya gagasan tentang lahirnya negara Indonesia di awal abad ke-20.

Konsep Indonesia sebagai sebuah negara-baru dicanangkan lewat Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Bukankah Sumpah Pemuda “bertanah air dan berbangsa satu, yaitu Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia” adalah deklarasi politik dalam bentuk puisi? Bukankah rumusan itu pula yang menggelindingkan kesadaran bersama dalam kesatuan tanah air Indonesia; kesatuan bangsa Indonesia meski terdiri dari berbagai etnis, budaya, dan agama; dan kesadaran untuk menjunjung Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan? Ya, Sumpah Pemuda “yang dikonsep oleh Muhammad Yamin” adalah puisi. Dengan demikian, Indonesia sebagai negara-baru sesungguhnya dideklarasikan lewat puisi.

Tentu saja perumusan konsep itu tidak datang seketika. Ada proses pemikiran yang terjadi sebelumnya. Dan proses itu bermula dari sebuah puisi yang berjudul “Tanah Air “ (1920) karya Muhammad Yamin, di mana sang penyair mengemukakan konsepnya tentang tanah air yang mula-mula bersifat kedaerahan, hingga akhirnya sampai pada konsep Indonesia sebagai tanah air dalam puisi “Indonesia Tumpah Darahku” (1928), yang ditulis Yamin dua hari sebelum Sumpah Pemuda dikumandangkan. Hal itu menegaskan bahwa kesusastraan lahir dari kecamuk pemikiran, bukan dari bahasa berbunga-bunga, bukan pula dari sebuah khayalan yang tidak berpijak pada realitas. Perjalanan sastra Indonesia beriringan dengan perkembangan pemikiran tentang sebuah bangsa bernama Indonesia.

Sekali lagi, Indonesia lahir dari sebuah puisi yang ditulis secara bersama-sama oleh kaum muda Indonesia, yakni Sumpah Pemuda. Tentu pada waktu itu, semua pernyataan dalam Sumpah Pemuda merupakan metafora, setidaknya masih imajinatif dan bukan kenyataan. Namun, dengan rumusan metaforis dan imajinatif itulah seluruh bangsa diajak untuk bersama-sama mengimajinasikan kemungkinan lahirnya sebuah bangsa dan tanah air baru: Indonesia. Berdasar pada Sumpah Pemuda itulah para sastrawan dari berbagai wilayah Nusantara menulis karya sastra dalam bahasa Indonesia serta mangacu dan menggemakan satu tanah air dan bangsa yang sama: Indonesia. Lahirlah kemudian negara yang kita tinggali bersama ini. Setelah lahir dari puisi Sumpah Pemuda dan kemudian tumbuh lewat pewacanaan sastra, nasib bangsa Indonesia selanjutnya memang berada di tangan para politisi.

Di masa-masa awal nasionalisme Indonesia, hubungan politik dengan sastra sedemikian dekatnya. Saat Indonesia berada di bawah kolonialisme dan “sebagai akibatnya” pengaruh kerajaan dan/atau kesultanan di Indonesia mulai menurun, masyarakat tampak kehilangan acuan nilai. Pada saat itulah para sastrawan memainkan peranan baru, menawarkan nilai-nilai baru bagi kehidupan, mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendasar, antara lain menimbang ketegangan antara modernitas dan tradisi, menggali dan mendedahkan kegelisahan dan impian manusia Indonesia. Sejurus dengan itu, para sastrawan menarasikan lahirnya bangsa dan tanah air baru yang merdeka dari kolonialisme, dan hal itu mendorong terbitnya fajar nasionalisme Indonesia. Dalam konteks inilah, khususnya dari segi ide, hubungan para pendiri bangsa dengan para sastrawan sedemikian dekatnya, hubungan mana dibangun setidaknya atas dua hal penting. Pertama, para pendiri bangsa dan para sastrawan adalah kaum intelektual yang tentu saja berbasis pada keberaksaraan (/literacy/). Kedua, mereka diikat oleh kegelisahan dan impian yang sama, yakni lepas dari penjajahan.

Baik pemerintah kolonial Belanda maupun Jepang memahami dengan baik potensi dan peranan strategis kesusastraan bagi sebuah bangsa. Mereka juga menyadari bahaya kesusastraan bagi kelangsungan penjajahan. Itu sebabnya dengan sadar dan terprogram pemerintah kolonial Belanda mendirikan Komisi Bacaan Rakyat yang kemudian dikenal dengan nama Balai Pustaka, sementara pemerintah pendudukan Jepang mendirikan /Keimin Bunka Shidoso/ (Pusat Kebudayan). Keduanya bertugas untuk mengelola sekaligus mengawasi kehidupan sastra dan para sastrawan serta kesenian pada umumnya. Dengan ketat mereka mencoba menggunakan sastra sebagai sarana untuk menanamkan nilai-nilai mereka kepada masyarakat jajahan demi kepentingan dan kelangsungan kolonialisme di Indonesia. Lebih dari itu, lewat /Keimin Bunka Shidoso /Jepang bahkan berupaya menyebarkan kesadaran akan kesatuan Asia Timur Raya di kalangan masyarakat Nusantara agar mendukung peperangan mereka melawan sekutu. Para sastrawan dan seniman pun dihimpun dan diberi fasilitas untuk mewujudkan agenda Jepang tersebut.

Namun, sastra dalam dirinya sendiri memiliki potensi memerdekakan manusia. Baik di bawah Balai Pustaka maupun /Keimin Bunka Shidoso/, boleh jadi para sastrawan berkarya sesuai dengan agenda yang dicanangkan kolonial. Namun pada kenyataannya, karya sastra ibarat permata dengan banyak faset. Karya sastra membuka beragam pintu dan jendela bagi kemungkinan-kemungkinan kesadaran yang tak sepenuhnya bisa dikontrol. Maka, meski ditekan dan diagendakan dengan ketat baik oleh Belanda maupun Jepang, karya sastra Indonesia mampu meloloskan diri dari berbagai tekanan, sekaligus membuka pintu dan jendela bagi kesadaran pembaca untuk membayangkan kemungkinan lain di luar kenyataan sebagai bangsa terjajah. Paling tidak untuk sebagian, adanya kesadaran akan kemungkinan-kemungkinan lain itulah yang membawa Indonesia pada semangat kemerdekaan. Demikianlah karya-karya Marah Rusli, Chairil Anwar, Idrus, Mochtar Lubis, Utuy Tatang Sontani, dan Pramoedya Ananta Toer “untuk menyebut sebagian” menyuarakan gairah revolusi kemerdekaan, sekaligus perasaan cemas, takut, dan tertekan bangsa Indonesia di zaman penjajahan, khususnya di zaman revolusi. Dikatakan dengan cara lain, kesusastraan Indonesia dengan cerdas meloloskan diri dari berbagai kontrol kolonial dan bahkan melakukan perlawanan terhadap kolonial itu sendiri, demi mewujudkan impian negara baru yang merdeka.

Peranan sastra(wan) dalam menumbuhkan perasaan cinta tanah air dan mengobarkan semangat perjuangan, baik di awal munculnya nasionalisme Indonesia maupun di masa perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan, merupakan fakta yang sangat jelas. Sejak mula kesusastraan memainkan peranan penting dalam sejarah kebangsaan. Peranan ini, baik secara individual maupun kolektif melalui berbagai organisasi seni yang secara langsung mendukung perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan, disambut baik dan dihargai sedemikian rupa khususnya oleh kaum intelektual dan tokoh-tokoh pergerakan. Dengan demikian, peranan kesusastraan bagi kehidupan masyarakat Indonesia dalam rentang sejarahnya yang panjang ditempatkan secara proporsional sesuai dengan arti dan kedudukan kesusastraan itu sendiri. Arti penting sastra khususnya secara politik masih disadari sampai penghujung Orde Lama. Tidaklah mengherankan kalau posisi sastra(wan) dan seni(man) ketika itu diperebutkan oleh kubu-kubu yang berseteru secara politik dan ideologi. Pada masa kini, posisi kesusastraan sebenarnya tidak begitu berbeda dengan peranan yang telah dimainkannya baik di masa-masa terbitnya fajar nasionalisme maupun di masa pergerakan dan revolusi Indonesia. Namun, terdapat kecenderungan besar di Indonesia dewasa ini untuk mengabaikan hasil renungan, imajinasi, pemikiran, kiprah, dan peranan sastra(wan) Indonesia dalam kehidupan sosial, politik, dan budaya secara umum. Selepas hiruk-pikuk sastra dan politik di penghujung Orde Lama, perlahan tapi pasti masyarakat menjauh dan/atau dijauhkan dari sastra. Kesusastraan tidak lagi diapresiasi secara wajar, meskipun ternyata tetap ditakuti dan diwaspadai secara politik. Penangkapan dan pemenjaraan sastrawan dan pelarangan buku sastra tetap terjadi. Dalam pada itu, masyarakat Indonesia yang belum beranjak dari kelisanan ke keberaksaraan dengan cepat memasuki era kelisanan kedua. Buku bacaan serta tradisi membaca, khususnya sastra, tidak dijadikan bagian penting dan mendasar dalam pendidikan Indonesia. Bahkan, tanpa banyak perdebatan, sastra telah digusur habis dalam Kurikulum 2013, yang merupakan antiklimaks dari penjauhan sastra dari masyarakat dan sebaliknya.

Dilihat dari banyak segi, Indonesia cenderung durhaka pada puisi sebagai ibu kandung yang telah melahirkannya, yakni Sumpah Pemuda. Menjauhkan sastra dari masyarakat Indonesia dan/atau sebaliknya adalah memisahkan ibu kandung dari anak kandungnya. Demikian juga sebaliknya, menjauhkan masyarakat dari sastra adalah memisahkan anak kandung dari ibu kandungnya. Jika kedurhakaan tersebut dibiarkan, apalagi terus berlanjut, maka dapat dipastikan bangsa Indonesia akan mengalami nasib sebagaimana lazimnya anak-anak durhaka.

Jika kepada masyarakat Indonesia belakangan ini ditanyakan siapakah tokoh Indonesia, bukan tidak mungkin yang segera terbayang adalah serombongan selebriti dan para politisi bermasalah. Mau bagaimana lagi, merekalah yang terus-menerus hadir dan tampil mengisi ruang pemberitaan media cetak dan terutama media elektronik. Para politisi, pejabat, dan aparat bermasalah mendapatkan porsi pemberitaan yang sangat besar. Demikian juga para pelawak, pemain sinetron, penyanyi pop maupun dangdut merupakan tokoh-tokoh utama dalam pemberitaan media massa Indonesia belakangan ini. Nyaris seluruh sepak terjang mereka diberitakan secara rinci setiap hari. Kisah asmara mereka (mulai dari diisukan pacaran, sedang pacaran, diisukan mau menikah, menikah, bertengkar, cerai, hampir rujuk, rujuk, berebut anak dan sebagainya) dengan rinci dan detail diberitakan, ditayangkan, bahkan dikomentari dan dibahas tuntas. Media massa menjadikan para selebriti ini tokoh-tokoh utama dalam pemberitaan, tak peduli mereka berprestasi atau tidak.

Jarang sekali bangsa Indonesia mendapat pemberitaan dan berkenalan dengan sosok-sosok yang benar-benar berprestasi dan mengabdikan dirinya di dunia ilmu pengetahuan, pemikiran, penelitian, sosial, budaya, dan kesusastraan. Para pemikir, intelektual, peneliti, penemu, dan sastrawan yang hebat tidaklah dikenal karena mereka tidak diberitakan. Demikian juga politisi, pejabat, dan aparat yang tidak bermasalah, yakni mereka yang jujur, bersih dan berprestasi, tidak jadi berita, dengan sedikit sekali pengecualian.

Sampai batas tertentu, fenomena yang sangat menonjol tersebut menunjukkan kecenderungan budaya dewasa ini untuk mengabaikan hasil-hasil kreatif di bidang pemikiran, renungan, imajinasi, dan berbagai sumbangan budaya dalam kehidupan masyarakat, termasuk kesusastraan. Padahal, sebagaimana telah dikemukakan, ketika negara dilanda kesusahan, sastra tampil memainkan peranan. Di masa penjajahan, saat kerajaan-kerajaan lama kehilangan pamornya, sastrawan tampil ke depan merenungkan visi dan arah serta menarasikan lahirnya bangsa. Setelah kemerdekaan, saat kehidupan bernegara goyah dan nyaris hilang arah, kembali para sastrawan bersuara lewat karya mereka hingga di antara mereka harus masuk penjara. Dan sastra terus ditulis, disingkirkan maupun dibaca. Para sastrawan tetap bersikeras menjaga nurani bangsa, meski sebagian besar sastrawan kini disingkirkan terutama oleh pasar dan industri ke ruang-ruang sunyi.

Kecenderungan budaya tersebut tentu saja berbahaya. Di antara bahaya itu adalah kemungkinan terjadinya kemandengan intelektual dan kecupetan imajinasi yang pada gilirannya akan menjerumuskan Indonesia ke dalam kehidupan budaya yang kerdil. Dalam konteks inilah bisa difahami bahwa di zaman kerajaan atau kesultanan yang maju dan beradab, sastrawan atau pujangga ditempatkan dalam posisi penting dan bermartabat, misalnya sebagai penasehat raja/sultan atau dijadikan guru spiritual. Para pujangga itulah yang melahirkan karya, baik mengenai kiprah dan keagungan raja untuk melegitimasi kebesaran dan kekuasaan raja maupun sebagai sumber inspirasi atau landasan etik masyarakat. Itu sebabnya para pujangga berada dalam pengayoman raja. Seluruh anggota keluarga pujangga tidak hanya mendapat perlakuan istimewa, tetapi juga dijamin kehidupan dan keselamatannya oleh kerajaan. Mereka diposisikan sebagai penasehat raja di bidang pendidikan, kebudayaan, dan agama. Makin kecil peranan pujangga pada suatu kerajaan, makin mudah kerajaan itu menjadi lemah, goyah, dan dikalahkan penjajah. Makin kecil peranan pujangga, makin kecil pula peluang suatu bangsa untuk memperluas cakrawala imajinasinya dan menemukan kemungkinan-kemungkinan baru dalam kehidupan.

***

Didasarkan pada kegelisahan atas makin terpinggirkannya posisi dan peranan sastra yang sama sekali tidak patut bagi bangsa yang hendak beradab, maka kami 8 orang yang terdiri dari sastrawan, kritikus, akademisi, dan pengamat sastra—karena itu disebut Tim 8—mengambil prakarsa untuk memilih /33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh/. Demikianlah kami mendiskusikan dan kemudian memilih 33 tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh. Sebagian dari mereka adalah nama-nama yang sangat dikenal, yaitu nama-nama yang berada di jalan raya sastra Indonesia; sebagian yang lain tidak begitu dikenal dan bahkan diabaikan dan dianggap berada di pinggir jalan raya sastra Indonesia itu sendiri namun sesungguhnya memiliki pengaruh atau dampak atas kehidupan masyarakat luas. Oleh sebab itu, pemilihan 33 tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh ini tidak hanya menimbang nama-nama yang populer dan sering disebut-sebut dalam sastra Indonesia atau pemberitaan, melainkan dengan sungguh-sungguh memperhatikan juga nama-nama yang cenderung diabaikan atau dipinggirkan namun sesungguhnya memainkan peranan penting dalam kehidupan sastra dan budaya. Dengan peranan penting yang mereka mainkan, tentu saja mereka berhak dan patut diperhitungkan dan ditempatkan di jalan raya sastra Indonesia.

Yang dimaksud dengan tokoh sastra Indonesia yang paling berpengaruh adalah orang yang melalui karya sastranya, gagasannya, pemikirannya, kiprahnya, dan tindakannya memberikan pengaruh dan dampak cukup luas khususnya pada dinamika kehidupan sastra, dan umumnya pada dinamika kehidupan intelektual, sosial, politik, dan kebudayaan Indonesia yang lebih luas. Di samping itu, tokoh sastra Indonesia di sini adalah warga Indonesia. Dari segi waktu, tokoh sastra yang dipertimbangkan adalah tokoh yang berkiprah dalam rentang masa sejak awal abad ke-20, yakni saat fajar kesadaran kebangsaan dan konsep nasionalisme Indonesia mulai menyingsing, sampai sekarang. Dengan demikian, tokoh-tokoh sastra Indonesia yang berasal dari negara lain tidak dipertimbangkan meskipun mereka memberikan pengaruh dan dampak besar dalam kehidupan sastra Indonesia, seperti Prof. Dr. A. Teeuw. Demikian juga sastrawan besar di masa sebelum abad ke-20 seperti Hamzah Fansuri, Raja Ali Haji, Ranggawarsita, atau Haji Hasan Mustapa, misalnya, pun tidak dipertimbangkan.

Dengan menyebut tokoh sastra, maka ia bukan hanya sastrawan, melainkan mencakup pribadi-pribadi yang dengan satu dan lain cara memberikan pengaruh pada kehidupan sastra atau kebudayaan Indonesia secara umum. Peranan sastra dalam kebudayaan tidak hanya dimainkan oleh sastrawan, melainkan juga oleh akademisi, pemikir, kritikus, penggiat sastra, dan lain-lain. Meskipun peranan sastra dalam kebudayaan dimainkan terutama oleh karya sastra dan sastrawannya, bagaimanapun sektor-sektor lain di dunia sastra memainkan peranan yang tak kalah penting, seperti pemikiran, kritik, penerbitan, gerakan, lembaga, komunitas, berbagai kegiatan, dan lain sebagainya. Dalam konteks itu, sangat mungkin seorang sastrawan sebenarnya kurang berhasil—atau mungkin biasa saja—dalam capaian estetika karyanya, tetapi justru memicu kehebohan yang luas, menimbulkan kontroversi, mendorong munculnya semacam gerakan, dan menarik sejumlah pengikut, lantaran tindakan dan kiprahnya dalam membangun kesusastraan Indonesia. Demikian pula seorang sastrawan mungkin secara sadar mencoba melakukan pemberontakan terhadap konvensi sastra dan belakangan terbukti berhasil, sehingga corak karyanya menjadi konvensi baru dan membentuk (semacam) paradigma baru dalam perkembangan kesusastraan selanjutnya. Yang pertama-tama dipertimbangkan dari tokoh semacam ini bukan capaian estetikanya, melainkan dampak atau pengaruhnya yang luas.

Hal lain yang juga mendapat perhatian adalah situasi dan kondisi zaman, yakni bila, di mana, dalam hal apa, dan di kalangan mana tokoh sastra memainkan peranan dan memberikan dampak. Tentu saja tokoh sastra memberikan pengaruh pertama-tama dan terutama pada zamannya, dalam konteks situasi dan kondisi zamannya pula. Tingkat pengaruh dan dampak tokoh-tokoh tentu pula berbeda satu sama lain, sama halnya dengan seberapa jauh dan lama pengaruh masing-masing tokoh bagi zaman kemudian. Namun seberapa besar pengaruh seorang tokoh sastra bagaimanapun akan lebih mudah dilihat dan difahami dari situasi dan kondisi zamannya. Pengaruh seorang tokoh sastra bagi zaman dan generasi kemudian tentu saja menunjukkan daya pengaruh tokoh itu sendiri, sebagai pengaruh lanjutan dari pengaruh besar yang telah dimainkannya terutama pada zamannya sendiri. Dirumuskan dengan cara lain, yang menjadi perhatian utama di sini adalah seberapa besar pengaruh tokoh sastra pada zamannya sebagai respons tokoh itu sendiri atas situasi dan kondisi aktual zamannya. Adapun seberapa lama pengaruhnya dipertimbangkan lebih sebagai bukti bahwa sang tokoh tetap berpengaruh hingga masa-masa kemudian.

Jadi, siapakah tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh?

Melacak rekam jejak tokoh-tokoh sastra, menelusuri masa silam jauh ke belakang, dan menelisik alur perjalanan sejarah sastra Indonesia, menjadi langkah yang mutlak perlu. Dari situ jelas bahwa sastra Indonesia tidaklah datang begitu saja dari ruang kosong. Sastra Indonesia tidak diturunkan malaikat dari langit. Terjadi pengaruh timbal-balik antara sastra dan masyarakat yang melingkarinya. Ada tarik-menarik dan saling mempengaruhi antara sastrawan dan tokoh sastra sebagai anggota masyarakat di satu pihak dengan lingkungan yang mengelilinginya, kebudayaan yang melahirkannya, dan masyarakat yang menerima atau menolaknya di lain pihak. Di situ pengaruh tokoh sastra bagi masyarakat akan terlihat relatif mudah.

Saat satu nama disebut, tentu ada dasar pemikirannya, ada alasan yang mendasarinya, dan ada pula pertimbangan atas peranan dan kiprah yang dimainkannya. Dalam kenyataannya, penyebutan satu nama memunculkan pula nama-nama lain yang kontribusinya tidak dapat diabaikan dalam peta perjalanan sastra Indonesia. Jadilah jawaban atas pertanyaan “siapakah tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh?” memunculkan begitu banyak nama. Tidak terhindarkan, tidak dapat diabaikan, bahkan tidak terbantahkan: nama-nama itu memang telah berbuat dan melakukan sesuatu yang fenomenal. Maka, setelah melakukan penelusuran lebih jauh ke belakang, melacak rekam jejak setiap tokoh sastra, dan menelisik alur perjalanan sejarah kesusastraan Indonesia, kemunculan nama-nama itu didasarkan atas pertimbangan sebagai berikut:

/Pertama/, karya dan/atau pemikiran sang tokoh. Yang di maksud di sini adalah karya sastra (puisi, cerpen, novel, dan drama) dan pemikiran sang tokoh, baik pemikiran itu dikemukakan dalam karya sastra atau esai dan sejenisnya. Pertimbangan atas hal ini dapat dirumuskan dengan sejumlah pertanyaan: seberapa penting karya dan/atau pemikirannya? Apakah karya dan/atau pemikirannya memberikan inspirasi bagi sastrawan berikutnya? Apakah karya dan/atau pemikirannya berdampak luas, berskala nasional, sehingga melahirkan semacam gerakan, baik yang berkaitan dengan sastra, maupun dengan kehidupan sosial-budaya yang lebih luas? Apakah karya dan/atau pemikirannya membuka jalan bagi munculnya tema, gaya, dan pengucapan baru yang jejaknya dapat dikembalikan pada tokoh tersebut? Apakah karya dan/atau pemikirannya menjadi semacam monumen, sehingga sulit bagi siapa pun untuk menghilangkannya dalam peta perjalanan sastra Indonesia? Apakah karya dan/atau pemikirannya menjadi semacam pemicu lahirnya pemikiran tentang kebudayaan, kemasyarakatan, bahkan kebangsaan?

/Kedua/, kiprah dan kegiatan sang tokoh. Yang dimaksud di sini adalah berbagai tindakan dan kegiatan sang tokoh di bidang sastra dan budaya secara lebih luas. Pertimbangan atas hal ini dapat dirumuskan dengan sejumlah bertanyaan: seberapa penting kiprah dan kegiatannya? Apakah kiprah dan kegiatannya berdampak luas, sehingga mempengaruhi perkembangan kesusastraan dan kebudayaan Indonesia? Apakah kiprah dan kegiatannya melahirkan semacam gerakan yang sama atau berbeda, yang berdampak pada kehidupan sastra dan kehidupan sosial-budaya? Apakah kiprah dan peranannya mendapat dukungan luas, sehingga membentuk semacam aliran atau komunitas, atau sebaliknya memunculkan penolakan luas, sehingga menciptakan semacam perlawanan yang cukup besar?

/Ketiga, /muara dari dua pertimbangan tersebut--yang dapat diperinci melalui sejumlah pertanyaan di atas--adalah sejauhmana pengaruh sang tokoh khususnya bagi kehidupan sastra, dan umumnya bagi kehidupan sosial, budaya, dan politik di tanah air. Melihat pengaruh sejumlah tokoh, segera tampak bahwa lingkup dan skala pengaruh mereka berbeda-beda, dari pengaruh yang relatif terbatas hingga pengaruh yang sangat luas. Beberapa tokoh berpengaruh sangat besar dan dia menempati posisi penting secara budaya di kawasan atau wilayah tertentu. Mereka memberikan dampak yang dalam bagi kehidupan masyarakat lokalnya. Sementara, beberapa tokoh lain memberikan dampak melampaui lingkup masyarakat lokal tertentu. Bahkan dapat dikatakan bahwa dalam berbagai cara dan bentuk mereka berpengaruh secara nasional.

Dalam memilih 33 tokoh paling berpengaruh, lingkup pengaruh merupakan bahan pertimbangan penting. Makin besar dan luas pengaruh seorang tokoh makin besar peluangnya untuk dipilih. Dalam kaitan ini, tidak tertutup kemungkinan pengaruh seorang tokoh pada awalnya mungkin bersifat lokal, namun tanpa tindakannya secara langsung lagi pengaruh tersebut dapat saja terus bergerak sehingga belakangan melampaui lingkup lokalnya. Jika ini terjadi, dia dipertimbangkan serius untuk dipilih sebagai tokoh sastra paling berpengaruh.

Khususnya berkaitan dengan karya sastra, yang dipertimbangkan adalah sastra “serius”, yang di sini dibedakan dengan sastra populer. Sastra populer sengaja tidak dipertimbangkan, sebab--di samping karena perbedaan ”nilai” antara kedunya--sampai batas tertentu sastra populer bisa dipastikan berpengaruh terutama karena dukungan sangat besar dari dunia industri, media, dan pasar. Demikianlah misalnya novel-novel Marga T (misalnya Badai Pasti Berlalu), Eddy D. Iskandar (misalnya Gita Cinta dari SMA), Ike Soepomo (misalnya Kabut Sutra Ungu), Habiburrahman El Shirazy (misalnya Ayat-ayat Cinta), dan Andrea Hirata (misalnya Laskar Pelangi) tidak dipertimbangkan, meskipun sangat berpengaruh dan meledak di pasar.

Dengan dasar pemikiran dan pertimbangan-pertimbangan di atas, akhirnya Tim 8 menetapkan kriteria pemilihan 33 tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh. Tokoh sastra dinilai layak masuk dalam 33 tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh apabila sekurang-kurangnya memenuhi satu dari empat kriteria berikut:

1. Pengaruhnya berskala nasional, tidak hanya lokal. Mungkin saja pada awalnya pengaruh sang tokoh bergerak dalam komunitas yang relatif terbatas dan bersifat lokal. Tetapi dalam perkembangannya kemudian gerakan itu terus menggelinding, sehingga pengaruhnya menyebar ke berbagai daerah dan mencapai wilayah yang begitu luas.

2. Pengaruhnya relatif berkesinambungan, dalam arti tidak menjadi kehebohan temporal atau sezaman belaka. Pengaruhnya berdampak tidak hanya pada zamannya, tetapi terus bergerak melampaui zamannya, bahkan hingga beberapa dekade sesudahnya.

3. Dia menempati posisi kunci, penting dan menentukan. Dalam masyarakat atau komunitas sastra, kadangkala peranan seorang sastrawan atau tokoh sastra tidak begitu menonjol, lantaran pada masanya ada sastrawan atau tokoh lain yang lebih berwibawa. Tetapi, jika tokoh sastra yang pada mulanya kalah pamor tadi melakukan sesuatu, membuat gerakan kecil atau besar, dan kemudian ternyata menjadi wacana penting, dan terus berlanjut dan berkesinambungan, maka namanya layak dimasukkan ke dalam senarai tokoh ini.

4. Dia menempati posisi sebagai pencetus atau perintis gerakan baru yang kemudian melahirkan pengikut, penggerak, atau bahkan penentang, dan akhirnya menjadi semacam konvensi, fenomena, dan paradigma baru dalam kesusastraan Indonesia.

Meskipun berbagai pertimbangan dan kriteria sudah ditetapkan, tetaplah tidak mudah memilih 33 nama. Masalahnya adalah bahwa mungkin saja seorang sastrawan tak diragukan lagi kedudukan pentingnya dalam sastra Indonesia karena karya-karyanya sangat berhasil dan meyakinkan secara estetis. Namun kenyataannya tidak semua tokoh sastra yang karyanya mencapai tingkat estetis sangat mengesankan memenuhi kriteria yang kami tetapkan, khususnya menyangkut lingkup pengaruhnya. Ternyata beberapa tokoh sastra(wan) sangat mengesankan dari segi karya namun, dalam pandangan kami, pengaruh dan dampaknya relatif terbatas secara sosial dan budaya. Sebaliknya, beberapa tokoh lain tidak mengesankan dari segi karya, bahkan sama sekali bukan sastrawan, namun dilihat dari lingkup pengaruhnya di bidang sastra membuat mereka menempati posisi penting bahkan tak terbantahkan sebagai tokoh sastra paling berpengaruh.

Dalam diskusi memilih 33 tokoh, dari kalangan tokoh sastra yang dipandang meyakinkan dan mengesankan dilihat dari karya sastra mereka muncullah nama-nama seperti Sitor Situmorang, Toto Sudarto Bachtiar, Ramadhan KH, Umar Kayam, Mangunwijaya, Wing Kardjo, Budi Darma, Danarto, Saini KM, D. Zawawi Imron, dan Ahmad Tohari. Dari kalangan tokoh sastra yang menonjol pengaruh dan dampaknya muncullah nama-nama seperti Utuy Tatang Sontani, Asrul Sani, A Mustofa Bisri, Ratna Sarumpaet, Rida K Liamsi, Fredie Arsi, Seno Gumira Ajidarma, dan Wiji Tukul. Namun dengan berbagai pertimbangan setelah diskusi sengit, akhirnya diputuskan mereka tidak masuk dalam senarai 33 tokoh sastra paling berpengaruh. Sebagaimana dapat diduga, diskusi memilih 33 tokoh sastra berjalan dengan penuh perdebatan, dinamika dan persilangan argumentasi, sehingga beberapa tokoh terpilih secara mulus nyaris tanpa diskusi, sebagian yang lain terpilih setelah melewati diskusi yang cukup alot, dan sebagian yang lain lagi terpilih berdasarkan prinsip mayoritas setelah diskusi dan perdebatan seru.

Sudah barang tentu siapapun anggota Tim 8--memenuhi kriteria atau tidak--sama sekali tidak dipertimbangkan untuk dinilai dan dimasukkan dalam tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh ini.

Tim 8 sepakat untuk mengurut 33 tokoh sastra berdasarkan tahun dan/atau tanggal kelahiran masing-masing tokoh. Demikian juga urutan tulisan demi tulisan dalam buku ini. Dengan demikian, urutan mereka sama sekali tidak menunjukkan skala pengaruh setiap tokoh dan sejenisnya. Buku ini memang tidak bertujuan untuk menunjukkan bahwa pengaruh seorang tokoh sastra lebih besar dibanding pengaruh tokoh-tokoh lainnya. Yang pasti, dalam pandangan kami mereka adalah tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh.

Inilah “33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh” pilihan Tim 8:

Kwee Tek Hoay (1886-1952)
Marah Roesli (1889-1968)
Muhammad Yamin (1903-1962)
HAMKA (1908-1981)
Armijn Pane (1908-1970)
Sutan Takdir Alisjahbana (1908-1994)
Achdiat Karta Mihardja (6 Maret 1911-2010)
Amir Hamzah (20 Maret 1911-1946)
Trisno Sumardjo (1916-1969)
H.B. Jassin (1917-2000)
Idrus (1921-1979)
Mochtar Lubis (7 Maret 1922-2004)
Chairil Anwar (26 Juli 1922-1949)
Pramoedya Ananta Toer (1925-2006)
Iwan Simatupang (1928-1970)
Ajip Rosidi (31 Januari 1935)
Taufiq Ismail (25 Juni 1935)
Rendra (7 November 1935-2009)
Nh. Dini (1936)
Sapardi Djoko Damono (20 Maret 1940)
Arief Budiman (3 Januari 1941)
Arifin C. Noer (10 Maret 1941-1995)
Sutardji Calzoum Bachri (24 Juni 1941)
Goenawan Mohamad (29 Juli 1941)
Putu Wijaya (1944)
Remy Sylado (1945)
Abdul Hadi W.M. (1946)
Emha Ainun Nadjib (1953)
Afrizal Malna (1957)
Denny JA (4 Januari 1963)
Wowok Hesti Prabowo (16 April 1963)
Ayu Utami (1969)
Helvy Tiana Rosa (1970)

***

Demikianlah 33 tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh dalam perjalanan sastra Indonesia. Setelah 33 tokoh disepakati dan diputuskan, tugas Tim 8 selanjutnya adalah menulis tentang tokoh-tokoh tersebut. Setiap anggota Tim 8 pun memilih tokoh yang akan mereka tulis. Kami sepakat bahwa penulisan setiap tokoh dilakukan tidak secara bersama-sama, melainkan oleh masing-masing anggota Tim 8. Itu sebabnya, nama penulis diterakan pada setiap tulisan, dan gaya tulisan dibiarkan sesuai dengan gaya penulis masing-masing. Dengan demikian, setiap tulisan tentang tokoh dalam buku ini pada dasarnya menjadi tanggung jawab pribadi penulisnya. Tapi bagaimanapun, secara umum buku ini merupakan satu kesatuan dan menjadi tanggung jawab bersama Tim 8.

***

Lalu, apa pentingnya nama-nama itu ditempatkan sebagai tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh? Apa pentingnya kegiatan dan buku semacam ini?

Pertama, pemilihan 33 tokoh sastra ini dilakukan dengan semangat membangun kebudayaan Indonesia yang lebih bermartabat. Sebagai produk budaya, kehidupan sastra tentu saja dibangun oleh tokoh-tokoh sastra yang juga hidup dalam lingkungan kebudayaan Indonesia. Oleh karenanya, berbagai kiprah tokoh sastra tidak bisa tidak harus ditempatkan sebagai bagian dari perjuangan untuk memajukan kebudayaan Indonesia itu sendiri, yakni untuk mencapai kebudayaan yang lebih bermartabat. Sejurus dengan itu, pemilihan 33 tokoh sastra ini kiranya memiliki arti penting dalam upaya menempatkan peranan sastra dalam memperjuangkan martabat kebudayaan Indonesia yang lebih tinggi.

Kedua, dalam hampir semua buku sejarah sastra Indonesia, sorotan utama kerap bertumpu pada data biografis pengarang berikut senarai karya-karyanya, dan kadang-kadang sedikit ulasan atas karyanya. Tidak sedikit mereka yang menulis beberapa puisi, lalu menerbitkannya sendiri dalam bentuk stensilan, fotokopian, atau cetakan atas biaya sendiri, masuk pula dalam buku-buku dimaksud. Begitu banyak nama yang tercantum di sana, tanpa uraian memadai tentang kiprah dan peranan sosial-budayanya. Sementara itu, dalam buku-buku leksikon sastra Indonesia, peristiwa-peristiwa penting hanya ditulis dalam satu-dua paragraf. Akibatnya, selain uraiannya terasa kering, ada hal penting yang terabaikan, yaitu konteks historis di mana tokoh sastra memainkan peranan sosial, politik, dan budayanya.

Berbeda dengan itu, pemilihan 33 tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh ini menitikberatkan pada pengaruh dari kiprah, karya, dan gagasan yang dihasilkan tokoh sastra—sastrawan, kritikus, pemikir, ilmuwan, dan penggiat sastra. Dengan penitikberatan tersebut, tidak bisa tidak berbagai peristiwa di sekitar tokoh sastra digunakan sebagai landasan dan latar belakang, yang sebisa mungkin dapat melihat dan menjelaskan posisi sang tokoh, peranan yang dimaikannya, berikut pengaruh yang diberikannya. Di sinilah buku ini punya arti penting, yaitu dalam upaya menempatkan tokoh-tokoh sastra dalam peranan penting mereka bagi kehidupan budaya, sosial, politik, kehidupan berbangsa dan bernegara.

Ketiga, pemilihan 33 tokoh sastra ini mencoba menjawab pertanyaan atau keraguan masyarakat umum tentang peranan sastra dalam kehidupan. Secara agak khusus, ia juga mencoba meluruskan pandangan yang keliru bahwa kedudukan sastra hanyalah khayalan belaka, yang tak berkaitan dengan kehidupan konkret masyarakat. Semua tokoh yang dipilih di sini menunjukkan kiprah mereka--termasuk melalui karyanya--dalam kehidupan konkret. Dengan demikian, kegiatan ini memiliki arti penting untuk mengungkapkan fakta sejarah yang terabaikan, yakni bahwa sastra Indonesia memainkan peranan penting dalam sejarah, mulai zaman pergerakan sampai zaman modern kini.

Keempat, mengingat yang dipertimbangkan di sini adalah peristiwa atau fenomena yang berkaitan dengan sastra Indonesia, di mana tokoh-tokoh sastra memainkan peranan di dalamnya atau bahkan ditimbulkan oleh kiprah mereka, maka kegiatan ini memiliki arti penting khususnya untuk melengkapi data, fakta, peristiwa, dan fenomena kesejarahan sastra berikut fakta historisnya. Seperti terlihat dari semua tulisan dalam buku ini, dalam berbagai peristiwa dan fenomena sosial, budaya, politik, dan sejarah, sastra memainkan peranan penting yang tak bisa diabaikan. Dengan demikian, buku ini dapat pula digunakan untuk melengkapi bahan pembelajaran sastra di sekolah. Pelajaran sejarah sastra di sekolah yang selalu berkutat pada nama pengarang dan karya-karyanya, dapat dilengkapi dengan penjelasan mengenai peristiwa atau fenomena penting dalam perjalanan sejarah kesusastraan Indonesia, yang untuk sebagian adalah juga perjalanan sejarah Indonesia itu sendiri.

Kelima, kebanyakan sastrawan, sarjana dan peminat sastra Indonesia tentu mengenal cukup baik nama-nama tokoh sastra—khususnya dari kalangan sastrawan--terdahulu atau yang sezaman dengan mereka. Tetapi, tidak sedikit dari kalangan sastrawan, sarjana dan peminat sastra Indonesia yang hanya tahu tokoh-tokoh sastra dan karya-karyanya, namun kurang mengetahui kiprah dan peranan sosial-budaya-politik mereka. Jika di kalangan sastrawan dan pemerhati sastra saja terjadi hal seperti itu, bagaimana pula di kalangan masyarakat umum yang cuma tahu sastra secara sayup-sayup. Dengan buku ini setidaknya kami berharap agar para sastrawan, sarjana sastra, peminat sastra, guru sastra, dan masyarakat pada umumnya, lebih mudah melihat peranan dan pengaruh tokoh-tokoh sastra dalam kehidupan luas. Dalam konteks itu semua, buku ini dilengkapi dengan indeks, sehingga pada dasarnya dapat digunakan sebagai sumber informasi bersifat ensiklopedis mengenai sejarah sastra Indonesia sejak awal abad ke-20.

***

Kami menyadari, bukan tak mungkin akan muncul sejumlah kritik, keberatan, dan bahkan penolakan terhadap pilihan kami atas 33 tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh ini. Kegiatan sejenis ini memang cenderung polemis dan memancing kontroversi. Apalagi bila pandangan seseorang atau sekelompok orang didasarkan atas sudut pandang, perspektif, pertimbangan, dan kriteria yang berbeda. Suara apa pun sebagai tanggapan terhadap pendapat Tim 8 ini kiranya akan menyuburkan diskusi dan polemik yang akan menyehatkan tradisi intelektual kita. Perbedaan pandangan jelas memiliki arti penting khususnya untuk memperkaya wawasan dan pengetahuan kita, sekaligus untuk mendewasakan sikap kita dalam menghadapi perbedaan. Bagaimanapun, kegiatan dan buku ini merupakan upaya menawarkan sesuatu yang baru. Bukankah dalam sejarah kesusastraan Indonesia hal semacam ini belum pernah ada? Jadi, kegiatan ini merupakan rintisan yang semoga saja dapat memberikan inspirasi bagi berbagai pihak untuk melakukan hal sejenis, baik di bidang sastra maupun bidang-bidang lain seperti teater, film, seni rupa, musik, tari, dll. Demikianlah setidaknya kami berharap. []

Cisarua, 3 Maret 2013

Tim 8
Ketua:
Jamal D. Rahman
Anggota:
Acep Zamzam Noor
Agus R. Sarjono
Ahmad Gaus
Berthold Damshauser
Joni Ariadinata
Maman S. Mahayana
Nenden Lilis Aisyah

Sumber: http://inspirasi.co/forum/post/3448/pengantar_buku_33_tokoh_sastra_paling_berpengaruh


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.