Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

Kata-Kata Dalam Sajak : Masalah Logis dan Tidak Logis


                                                                     Oleh :Dasril Ahmad

SEORANG penyair berada dalam kata, di luar bahasa, kata Wiratmo Soekito dalambukunya Kesusastraan dan Kekuasan (1984). Dalam menyair, penyair lebihakrab atau mengakrabi efektifitas penggunaan tenaga puitik (power puitic)yang terkandung dalam kata. Justru itu, kalau dilakukan studi khusus tentangpenggunaan kata-kata dalam sajak dari beberapa penyair, maka bukan mustahil kitaakan menemukan ciri pembeda yang merupakan warna khas sajak setiap penyair.Misalnya, penggunaan kata-kata  yangdilakukan penyair Chairil Anwar, akan menunjukkan kekuatan sajaknya sendiri danmenjadi warna khas sajaknya itu. Ini akan berbeda dengan sajak-sajak SapardiDjoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi WM, Hamid Jabbar, Rusli Marzuki Saria, dan lain-lain.


Dengan melakukan studi terhadap penggunaan kata-kata dalamsajak, berarti kita telah menyediakan (membuka) diri untuk menggumuli “jiwa”yang terkandung di dalam sajak tersebut. Kesempatan ini mengharuskan kita untukmenelusuri daya imaji, emosi dan ide-ide yang ditampilkan penyair lewatsajaknya itu. Sebab, penyair menggunakan kata-kata dalam bermacam-macamkombinasi untuk menampilkan imaji, menyampaikan ide-ide, dan untuk mencetuskan ataumelahirkan emosi, kata B.P. Situmorang (1981). Dalam hubungan ini pula, kelakkita akan berurusan dengan masalah diksi (pilihan kata) yang dipergunakanpenyair dalam sajaknya. Meski sering diungkapkan (malah secara vokal) olehmasyarakat umumnya, bahwa penggunaan kata-kata dalam sajak sering rancu dan takberaturan, hingga menyulitkan upaya memperoleh pemahaman, namun sebetulnyaungkapann itu tidaklah selalu benar. Seorang Coleridge, misalnya, dengan tegasmenyatakan, “Poetry equalie the best words in the best order”(Puisi sama dengan kata-kata terbaik dalam tatatertib/ aturan yang terbaik).

Sungguhpun demikian, keluh-kesah masyarakat dalam memahamisajak selalu saja bergema. Salah satu penyebab timbulnya kondisi itu adalahsulitnya merebut makna dari kata-kata yang ditampilkan penyair dalam sajaknya.Pengertian sulit di sini menjurus kepada tindakan memaknai sebuah kata (secara denotatif)yang sering tak relevan (dan juga tak koherensi) dengan makna kata-kata yangmengikutinya di dalam setiap larik sajak. Kendala seperti ini, terkadang taksulit dicarikan pemecahannya, asalkan kita mampu memaknai kata-kata yang dianggapsulit itu secara konotatif. Dalam hal ini kita akan akrab bergelut dengan masalah symbol, lambang, kias, dansejenisnya yang diemban oleh kata-kata tersebut terhadap dunia nyata (realitas)yang sering kita temukan dalam hidup dan kehidupan kita sehari-hari.

Pada titik ini, sampailah kita pada pengertian bahwa upayamemahami sajak –untuk merebut makna yang dikandungnya— merupakan suatu upayauntuk memahami sekaligus mengarifi diri terhadap persoalan-persoalan hidup dankehidupan yang realis. Di dalam proses ini pula kelak orang seringmenghubungkan pengertian-pengertian yang diungkapkan lewat kata-kata ataupunkelompok kata (frasa) di dalam sajak, dengan kenyataan-kenyataan yang lumrahditemui, dialami dalam kehidupan sehari-hari yang realis itu. Lewatkaca-banding ini pula kemudian masyarakat (minoritas) penikmat sajak, akanbersua dengan masalah logis dan tidak logisnya pengertian kata-kata dan frasadi dalam sajak dengan realitas keseharian. Sering pula lahir pendapat, kalaumakna kata-kata dalam sajak relevan dengan kenyataan hidup keseharian, makasajak itu tergolong baik, dan begitu pula sebaliknya.

Mencari hubungan/kaitan logis dan tidak logisnya makna  kata-kata/frasa yang digunakan dalam sajakdengan realitas objektif, merupakan suatu tindakan yang kurang menguntungkanuntuk dipelihara. Sikap dan tindakan begini kurang lebih berarti mempersempitruang-gerak pemahaman sebuah sajak yang hakiki; apalagi untuk menjatuhkan vonisbaik atau jeleknya sajak tersebut. Adalah tidak menguntungkan kalau sebuahsajak Sitor Situmorang berjudul “Malam Lebaran” yang hanya terdiri darisatu larik, yaitu: “Bulan di atas kuburan”, dinyatakan tidak baik; kalaucuma ditilik dari segi ketidaklogisan pengertian dari ungkapannya dengan realitas objektif keseharian. Sebab, mana pula ada bulan berada di atas kuburan pada malam lebaran? Bukankah realisnya di setiap malam lebaran bulan cuma muncul (kecil) di sore atau menjelang senja hari? Tetapi apabila kita berusaha memaknai kata bulan dan kuburan secara konotatif, maka kita setidaknya akan dapat memahami makna hakiki dari sajak itu. Untuk itu, kita mesti menggeluti dunia simbol-simbol atau perlambangan; bulan adalah lambang kebahagiaan, sedangkan kuburan adalah lambang kesedihan.Jadi di malam lebaran ternyata ada kebahagiaan terletak di atas kesedihan!
Begitu juga, dua buah sajak karya Armeynd Sufhasril yangdimuat di RMI Harian Haluan tgl. 14 Juni 1987 yang lalu, masing-masingnya berjudul “sepanjang jalan setapak di dusun-dusun” dan “sansai”, ditemukan juga beberapa ungkapan yang tidak logis, misalnya ungkapan “pelangi munculpagi hari/ azan tak terdengar lagi/ surau-surau lengang” (dalam sajak “sepanjangjalan setapak di dusun-dusun”) Kemudian ungkapan “sungai keruhkering” (dalam sajak “sansai”)
Memang tidak logis kalau dinyatakan, “pelangi muncul pagihari”, karena lazimnya pelangi muncul adalah pada waktu sore hari. Tetapi,  ia menjadi logis kalau kita memaknai kata “pelangi”sebagai simbol dari keindahan, sehingga pengertiannya menjadi “keindahanmuncul pagi hari”. Memang juga dirasa tidak logis kalau di dusun (kampung)dinyatakan, “azan tak terdengar lagi/ surau-surau lengang”.Sebab, lazimnya kehidupan di dusun (apalagi di Minangkabau) suara azan selalumewarnai kehidupan masyarakatnya, dan surau pun selalu ramai sebagai tempatberibadah oleh masyarakat yang mayoritas taat beribadah itu. Tapi larik sajakitu menyataklan keadaan yang paradoksal dari kenyataan hidup kesehariaanmasyarakat tersebut. Ini jelas tidak logis. Tetapi ia akan jadi (dan diterima)logis, kalau kita bermurah hari menerima tawaran persoalan yang diungkapkanoleh penyair (lazimnya penyair/sastrawan lewat karyanya selalu menawarkan alternatifdari sekian banyak persoalan hidup) bahwa begitulah suasana hidup dan kehidupanyang terjadi di tengah  masyarakat didusun-dusun dewasa ini. Suatu warna kehidupan yang tengah dilanda “krisis”.
Begitu juga ungkapan “sungai keruh kering” jelas tidaklogis bila dikaitkan dengan realitas hidup sehari-hari. Mana pula ada sungai(pengertian kongkrit) berair keruh dan kering pula. Tetapi pengertiannya akanjadi logis, kalau kita mengaitkan dengan pengertian yang dikandung oleh judulsajak itu sendiri yaitu “sansai” (sangsai?). “Judul puisimengemukakan suatu ide tentang sesuatu. Boleh tentang sesuatu yang terjadi,boleh nama orang, boleh nama tempat, boleh suatu benda atau boleh juga suatuwaktu dan suatu massa (B.P. Situmorang, 1981 : 27). Nah, dengan judul “sansai”berarti sajak ini mengemukakan sesuatu keadaan yang sedang terjadi, yaitu kehidupanyang nestapa tengah melanda masyarakat. Dengan ini pulalah, maka pengertian “sungaikeruh kering” terkiaskan secara logis, yaitu sungai (sumberkehidupan) ternyata telah kering, dan terlihat tanah dasarnya yang keruh.Ini menandakan bahwa kehidupan memang betu-betul sengsara, karena sungai taklagi digenangi air untuk kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari.
Perlukah masalah logis dan tidak logisnya pengertiankata-kata dalam sajak dipersoalkan? Agaknya ini sebuah pertanyaan yang menarikuntuk dikemukakan. Tetapi sebelumnya kita jangan lupa, bahwa penyair SitorSitumorang pernah mengakui, bahwa perkara logis atau tidak logis baginya bukanlahpersoalan. Kemudian, penyair Rusli Marzuki Saria berkomentar, bahwa bagi penyair, logis atau tidak logisnya pengertian kata-kata dalam sajak bukanlahpersoalan esensial. Tetapi hal itu akan menjadi persoalan bagi para kritikussastra. Sedang, penyair hanya bergumul dengan kata-kata; dengan makna denotasidan konotasi dari kata-kata tersebut. (Padang, 26 Juni 2013)  

Dasril Ahmad, penulis tinggal di Padang
Penulis adalah Kritikus Sastra

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.