Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

BUAT A.A. NAVIS : KETIKA SURAU ITU TAK ROBOH LAGI

Maulidan R. Siregar
Pak, suraumu tak roboh lagi!
oleh : Maulidan Siregar
 
Buat AA. Navis;

Pak, suraumu tak roboh lagi
Gambarnya kami unggah di facebook
Kami bagikan pada ribuan kawan
Semua pada komentar, bilang suraumu bagus

Kami foto dari luar
Lagi duduk di lapau, menunggu jamaah kelar
Sambil diskusi, bagaimana bisa agar suraumu bagus, suraumu ramai
Di lapau, ada kopi, rokok, secarik kertas, dan pulpen bahan diskusi

Suraumu dibantu ayah kami,
Ayah kami yang pejabat, pengusaha sukses, dewan politik, dan calon gubernur
Ayah kami baik
Peduli sama suraumu, biar bagus, biar ramai

Keramik-keramik cantik
Kubah-kubah megah
Dibantu ayah kami,
Di gotong bersama

Garin adzan kami pulang
Garin punya acara kami datang

Pariaman, 20 Januari Masehi 2014 pukul 07: 39 wib

Membaca sajak "Pak, suraumu tak roboh lagi!" (untuk A.A. Navis) yang ditulis oleh Penyair Maulidan Siregar serasa membawa kita kepada dunia yang dibangun oleh cerpen Sastrawan A.A. Navis dahulu. "Robohnya Surau Kami" sampai sekarang masih relevan untuk dibicarakan, termasuk memantik ide-ide generasi zaman yang terus berganti. Generasi berganti, zaman berubah namun masalah surau tetap saja akan menjadi isu sentral tak berkesudahan.


Surau bagi masyarakat Minangkabau sama pentinganya dengan rumah gadang. "Adat basandi syara', Syara' Basandi Kitabullah. Syara' mangato, Adat mamakai", Begitu falsafah yang diajarkan kepada kita. Surau juga adalah pusat sosial kemasyarakatan. Bila di perkotaan ada auditorium, hall atau pusat pertemuan (Convention center) maka di nagari-nagari seantero Minangkabau niscaya peran mengumpulan warga itu di ambil alih oleh surau. Surau adallah jantung masyarakat nagari, terlepas akan ramai atau tidaknya surau tersebut ketika waktu shalat tiba.

Dalam sajak tersebut, penyair bagaikan berdialog dengan sang maestro sastra (baca: A.A.Navis) memberi kabar bahwa surau yang dulu digambarkan dalam cerita "Robohnya Surau Kami" kini sudah kembali berdiri. Kita simak bait pertama:

"Pak, suraumu tak roboh lagi
Gambarnya kami unggah di facebook
Kami bagikan pada ribuan kawan
Semua pada komentar, bilang suraumu bagus"

Adat kita kini yang suka mengunggah apa saja melalui media jejaring sosial disindir oleh penyair. Bangga sekali bila punya surau yang indah, kilau berwarna, bersih terawat hingga tergugah hati untuk memotret lalu mengunggahkan ke dunia maya, Jeppprett!! tersebarlah itu poto, dapat pujian beribu-ribu, beritapun tersebar cepat bahwa ada sebuah surau dibangun dengan amat cantiknya. Alangkah riang hati yang sering beraktivitas dalam surau yang potretnya kini ada di dunia maya. Bangga, bangga sekali!

Namun, penyair dengan piawai menghentak dengan sinis pada bait kedua, mari kita simak lagi:

"Kami foto dari luar
Lagi duduk di lapau, menunggu jamaah kelar
Sambil diskusi, bagaimana bisa agar suraumu bagus, suraumu ramai
Di lapau, ada kopi, rokok, secarik kertas, dan pulpen bahan diskusi"

Terjadilah absurd di sini. Ironis tiada tara. Rupanya surau yang ditegakkan di dalam dunia maya itu dipotret oleh orang-orang yang duduk dilapau ketika takbir di lantunkan oleh imam sholat berjamaah. Diskusi digelar majelis lapau. Asyik corat sana sini menggambar rupa sketsa surau agar kelihatan lebih cantik lagi. Di dalam surau ayat-ayat ilahi melantun, di lapau itu kopi, rokok dan diskusi semakin ramai dengan topik bagaimana cara meramaikan surau! Wooww!

begini diskusinya, kita baca pada bait ketiga:

"Suraumu dibantu ayah kami,
Ayah kami yang pejabat, pengusaha sukses, dewan politik, dan calon gubernur
Ayah kami baik
Peduli sama suraumu, biar bagus, biar ramai".

Memang bangga sekali mereka dengan surau itu. Kebanggaan yang rupanya sudah terwariskan sampai ke anak cucu. Ada di sana dalam hati. Meruap bersama aroma kopi dengan hidung yang kembang kempis. Dunia kapitalis kecil, para konspirator, dan peramu intrik pencari dunia. Surau yang cantik itu ternyata dibangun dengan hati yang dipenuhi rasa riya. Niat awal membangun adalah riya. Memuluskan usaha untuk dibanggakan dinasti keluarga. Dan berdirilah surau itu dengan menyimpan niat tersembunyi para pendermanya.

"Keramik-keramik cantik
Kubah-kubah megah
Dibantu ayah kami,
Di gotong bersama".

Maka beginilah yang kemudian terjadi. Surau bagus dan mewah. Namun, karena pondasi dasar pembangun surau itu adalah untuk mengejar dunia dan bukan mengharap akhirat, maka :

"Garin adzan kami pulang
Garin punya acara kami datang".

Surau lengang ketika datang waktu sholat. Suraupun ramai ketika ada acara makan-makan, rapat membahas dana kas, dan saban malam riuh rendah dengan suara orang-orang yang bermain bulutangkis di halamannya.

Aku melihat A.A. Navis makin sinis tersenyum sambil mengelus punggung penyair yang menyerahkan sajaknya ini kepada beliau.

Suasso, 20 Januari 2014
Denni Meilizon "Rembang Dendang"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.