BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya. “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”. Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR ketika ditanya: ”Itu niat
*Di muat Harian Rakyat Sumbar Edisi Sabtu, 4 Januari 2014 Kolom Sastra |
Halaman surat kabar masih dibolak balik lelaki itu. Ini sudah surat kabar yang
keempat dari surat kabar pagi yang menjadi langganannya. Kopi sudah tinggal sejengkal pula dalam tadah
plastik. Tak ada berita yang dicarinya. Matanya nanar, tak lekang mempelototi
judul berita satu persatu, membaca kolom
demi kolom hingga baris demi baris. Benar! Sungguh tak ada. Surat kabar hanya
memuat berita-berita politik, bencana dan perselingkuhan. Seakan-akan tidak ada
lagi yang lebih layak diberitakan selain topik-topik itu.
Lelaki itu memperbaiki
posisi duduknya. Lipatan kain sarung motif kupu-kupu dilipatnya lebih erat ke
perut yang mulai membuncit. Dicengkeramnya tadah plastik berisi kopi pekat di
atas meja, dihabiskannya dengan tergegas sembari mendesah berat. Bunga meja,
taplak dan kue-kue tak sedikitpun menarik hatinya. Surat kabar yang keempat itu
lebih bernasib malang lagi. Bersamaan dengan suara azan zuhur dari menara
mesjid di sebelah rumah, kemarahan lelaki itu meluap. Maka lembaran-lembaran
berita politik, bencana dan perselingkuhan itu kini berserak-serak tak berdaya
memeluk ubin dan kaki meja. Lelaki itu berdiri sambil geleng-geleng kepala.
"Kenapa berita besar begini tidak di muat media?," bisiknya pada diri sendiri. Tak ada siapapun di situ.
Suara azan sudah tidak terdengar lagi. Lelaki itu perlahan memunguti surat kabar yang tadi dihempaskannya secara kejam hingga berserakan, kemudian meletakkannya kembali ke atas meja yang sudah tidak bertaplak, berbunga dan berkue-kue. Dengan bergegas dia pun masuk ke dalam rumah. Mungkin akan mengadukan gundah hatinya kepada satu-satunya yang masih setia untuk mendengarkannya, Tuhan.
"Semua itu sudah kita ketahui bersama," ujar seorang lelaki lain, 20 kilometer jaraknya dari bentangan sajadah tempat si lelaki yang gundah hatinya itu.
"Tak mungkinlah kita muat berita itu, habis surat kabar kita nanti. Memangnya mau kalian kalau periuk nasi kita ini di bredel?," tambahnya sembari memain-mainkan tablet keluaran terbaru, sebuah gadget yang tipis dan berkilauan.
Ruang rapat redaksi itu senyap. Pikiran-pikiran sibuk dengan diri masing-masing. Mana ada yang mau kehilangan pekerjaan, tempat bergantung hidup pula. Apalagi ketika di luar sana, angka-angka pengangguran terpelajar sibuk di tata dengan rapi oleh petugas sensus ke dalam kolom-kolom terintegrasi dengan angka ledakan kelahiran yang agaknya sudah susah payah dikendalikan oleh pemerintah.
Seorang lelaki yang duduk di sudut sebelah kanan nampak gelisah. Airmukanya membersitkan bahwa ada yang hendak disampaikannya, tapi dia ragu. Berkali-kali pula ditatapnya lelaki yang sedang asyik dengan mainan tablet baru di hadapannya. Setelah itu, berkali-kali pula tatapannya beralih kepada tablet milik si lelaki. Hingga akhirnya, tatapan itu lekat kepada secarik kertas dalam genggaman tangannya yang sudah penuh dengan catatan-catatan yang hendak disampaikan, namun ragu masih menyergap. Dalam kebimbangan, ia mengedarkan pandangan kepada rekan-rekannya yang masih tertunduk bisu, tercenung dengan pikiran sendiri-sendiri. Sambil menghirup napas dalam-dalam akhirnya diberanikannya juga membuka suara. Suara yang bergema, memenuhi ruang rapat yang tiba-tiba saja berkesan dingin, sunyi dan angker.
"Menurut hitung-hitungan saya, ada baiknya berita itu kita muat saja, Pak. Sebab...
mmhh...ehh....
Kelu lidahnya. Namun kepalang tanggung. Toh, semua mata kini melihat kepadanya. Temasuk mata lelaki yang rupanya sudah meletakkan tabletnya yang berkilauan itu.
"Ya, sebab apa, teruskan saja..."
" Sebab berita ini akan membuat surat kabar kita akan tampil berbeda kali ini, aku yakin kalau surat kabar kita akan laku keras. Surat kabar lain akan terperangah dengan keberanian kita memuat berita ini. Ayolah, sesekali kita gunakan hati dan nurani. Ayolah!," tegasnya dengan mantap sembari meremas kertas catatan dalam tangannya, sebelum kertas itu akhirnya dilemparkannya ke atas meja.
Ruangan itu kini gelisah, ribut dan penuh suara.
"Iya, kami mendukung pendapat itu," sambut lelaki di dekat pintu. Lelaki di kiri dan kanannya memberikan anggukan dan jempol tanda mendukung pula.
"Bagaimana mungkin berita kematian akan membuat surat kabar kita akan dibredel?
Ahh...! macam betul saja," sambungnya lagi.
"Begini, bukankah kematian adalah hal yang biasa saja? Toh, kita semua nanti akan merasakannya, termasuk orang-orang yang akan membredel kita itu. Biarlah sebuah bentuk penghormatan kita berikan kepada lelaki itu dengan cara memuat berita kematiannya, bukankah sebelum mati, dia adalah bagian dari kita juga. Sesama lelaki juga. Ayolah, kita pakai hati dan nurani, mari kita muat berita itu," kali ini, lelaki yang duduk di sebelah kiri lelaki pemilik tablet yang rupanya menjadi pengambil keputusan dalam rapat redaksi surat kabar itu, berbicara.
Suasana mulai sedikit panas. Tiba-tiba saja semua yang hadir menjadi bergairah. Saling dukung, saling memberi pendapat. Padahal biasanya tidak seperti ini. Ada adu argumen, ada perang mulut, ada juga yang lepas kendali, menampar meja. Begitu hebatnya berita kematian seorang lelaki itu, membuat segala perbedaan itu kini menguap begitu saja. Semua sepakat, semua sekata. Tinggal lelaki pengambil keputusan di hadapan mereka angkat suara, apakah akan ikut sepakat atau tidak?
"Sebaiknya, kita muat saja. Aduuhh! tolonglah, bukankah kematian itu juga akan menimpa kita?," tegas suara lelaki lain lagi.
Lelaki pengambil keputusan itu sejenak memandangi lelaki-lelaki yang duduk di hadapannya. Terpampang jelas wajah-wajah optimis untuk memuat berita itu. Semua orang dalam ruang itu kini menunggu dengan penuh harapan, sambil menatap lekat kepadanya.
"Baiklah, kita muat dalam edisi besok!," titahnya singkat.
"Kalau begitu rapat kita sudah selesai, kembalilah ke pos masing-masing dan ingatlah bahwa berita kematian ini akan kita muat sehalaman penuh supaya pesannya bisa di baca semua orang," ucapnya lagi sembari berdiri, kemudian bergegas meninggalkan ruang rapat redaksi yang sedang dipenuhi rasa kebersamaan dalam kesepakatan yang dipicu oleh berita kematian seorang lelaki seperti mereka.
Maka setelah itu, sibuklah mesin-mesin cetak. Sepanjang malam mengirimkan suara riuh rendah mencetak surat kabar menu bacaan pagi untuk masyarakat. Ketika menjelang subuh datang, surat kabar yang memuat berita kematian itu telah siap untuk di edarkan. Distributor hingga sampai kepada agen-agen -semuanya lelaki- riang gembira mengerjakan tugasnya; memberikan bacaan berita bagi masyarakat, agar masyarakat menjadi orang-orang berpaham dan tahu perkembangan dunia.
Pagi hari, empat eksemplar surat kabar yang di antar dini hari sekali singgah di rumah lelaki gundah kemarin. Surat kabar pertama di bolak baliknya. Secangkir kopi, sepiring kue, taplak meja dan bunga masih menjadi kawannya menikmati berita. Saat membaca surat kabar yang pertama, wajahnya tiba-tiba bersinar. Ada seulas senyum singgah di sana. Tak peduli lagi ia akan kopinya yang secangkir, kuenya yang sepiring, taplak meja dan bunga indah itu beserta tiga eksemplar surat kabar lain yang tergeletak di atas meja, belum di bacanya.
Di halaman kedua puluh dua, pada kolom kematian dia membaca berita kematian seorang lelaki lengkap dengan poto dan narasi berita yang menggigit. Matanya lekat menyusuri kalimat demi kalimat yang memberitakan kematian itu. Puas hatinya. Sumbringah dadanya.
"Kenapa berita besar begini tidak di muat media?," bisiknya pada diri sendiri. Tak ada siapapun di situ.
Suara azan sudah tidak terdengar lagi. Lelaki itu perlahan memunguti surat kabar yang tadi dihempaskannya secara kejam hingga berserakan, kemudian meletakkannya kembali ke atas meja yang sudah tidak bertaplak, berbunga dan berkue-kue. Dengan bergegas dia pun masuk ke dalam rumah. Mungkin akan mengadukan gundah hatinya kepada satu-satunya yang masih setia untuk mendengarkannya, Tuhan.
"Semua itu sudah kita ketahui bersama," ujar seorang lelaki lain, 20 kilometer jaraknya dari bentangan sajadah tempat si lelaki yang gundah hatinya itu.
"Tak mungkinlah kita muat berita itu, habis surat kabar kita nanti. Memangnya mau kalian kalau periuk nasi kita ini di bredel?," tambahnya sembari memain-mainkan tablet keluaran terbaru, sebuah gadget yang tipis dan berkilauan.
Ruang rapat redaksi itu senyap. Pikiran-pikiran sibuk dengan diri masing-masing. Mana ada yang mau kehilangan pekerjaan, tempat bergantung hidup pula. Apalagi ketika di luar sana, angka-angka pengangguran terpelajar sibuk di tata dengan rapi oleh petugas sensus ke dalam kolom-kolom terintegrasi dengan angka ledakan kelahiran yang agaknya sudah susah payah dikendalikan oleh pemerintah.
Seorang lelaki yang duduk di sudut sebelah kanan nampak gelisah. Airmukanya membersitkan bahwa ada yang hendak disampaikannya, tapi dia ragu. Berkali-kali pula ditatapnya lelaki yang sedang asyik dengan mainan tablet baru di hadapannya. Setelah itu, berkali-kali pula tatapannya beralih kepada tablet milik si lelaki. Hingga akhirnya, tatapan itu lekat kepada secarik kertas dalam genggaman tangannya yang sudah penuh dengan catatan-catatan yang hendak disampaikan, namun ragu masih menyergap. Dalam kebimbangan, ia mengedarkan pandangan kepada rekan-rekannya yang masih tertunduk bisu, tercenung dengan pikiran sendiri-sendiri. Sambil menghirup napas dalam-dalam akhirnya diberanikannya juga membuka suara. Suara yang bergema, memenuhi ruang rapat yang tiba-tiba saja berkesan dingin, sunyi dan angker.
"Menurut hitung-hitungan saya, ada baiknya berita itu kita muat saja, Pak. Sebab...
mmhh...ehh....
Kelu lidahnya. Namun kepalang tanggung. Toh, semua mata kini melihat kepadanya. Temasuk mata lelaki yang rupanya sudah meletakkan tabletnya yang berkilauan itu.
"Ya, sebab apa, teruskan saja..."
" Sebab berita ini akan membuat surat kabar kita akan tampil berbeda kali ini, aku yakin kalau surat kabar kita akan laku keras. Surat kabar lain akan terperangah dengan keberanian kita memuat berita ini. Ayolah, sesekali kita gunakan hati dan nurani. Ayolah!," tegasnya dengan mantap sembari meremas kertas catatan dalam tangannya, sebelum kertas itu akhirnya dilemparkannya ke atas meja.
Ruangan itu kini gelisah, ribut dan penuh suara.
"Iya, kami mendukung pendapat itu," sambut lelaki di dekat pintu. Lelaki di kiri dan kanannya memberikan anggukan dan jempol tanda mendukung pula.
"Bagaimana mungkin berita kematian akan membuat surat kabar kita akan dibredel?
Ahh...! macam betul saja," sambungnya lagi.
"Begini, bukankah kematian adalah hal yang biasa saja? Toh, kita semua nanti akan merasakannya, termasuk orang-orang yang akan membredel kita itu. Biarlah sebuah bentuk penghormatan kita berikan kepada lelaki itu dengan cara memuat berita kematiannya, bukankah sebelum mati, dia adalah bagian dari kita juga. Sesama lelaki juga. Ayolah, kita pakai hati dan nurani, mari kita muat berita itu," kali ini, lelaki yang duduk di sebelah kiri lelaki pemilik tablet yang rupanya menjadi pengambil keputusan dalam rapat redaksi surat kabar itu, berbicara.
Suasana mulai sedikit panas. Tiba-tiba saja semua yang hadir menjadi bergairah. Saling dukung, saling memberi pendapat. Padahal biasanya tidak seperti ini. Ada adu argumen, ada perang mulut, ada juga yang lepas kendali, menampar meja. Begitu hebatnya berita kematian seorang lelaki itu, membuat segala perbedaan itu kini menguap begitu saja. Semua sepakat, semua sekata. Tinggal lelaki pengambil keputusan di hadapan mereka angkat suara, apakah akan ikut sepakat atau tidak?
"Sebaiknya, kita muat saja. Aduuhh! tolonglah, bukankah kematian itu juga akan menimpa kita?," tegas suara lelaki lain lagi.
Lelaki pengambil keputusan itu sejenak memandangi lelaki-lelaki yang duduk di hadapannya. Terpampang jelas wajah-wajah optimis untuk memuat berita itu. Semua orang dalam ruang itu kini menunggu dengan penuh harapan, sambil menatap lekat kepadanya.
"Baiklah, kita muat dalam edisi besok!," titahnya singkat.
"Kalau begitu rapat kita sudah selesai, kembalilah ke pos masing-masing dan ingatlah bahwa berita kematian ini akan kita muat sehalaman penuh supaya pesannya bisa di baca semua orang," ucapnya lagi sembari berdiri, kemudian bergegas meninggalkan ruang rapat redaksi yang sedang dipenuhi rasa kebersamaan dalam kesepakatan yang dipicu oleh berita kematian seorang lelaki seperti mereka.
Maka setelah itu, sibuklah mesin-mesin cetak. Sepanjang malam mengirimkan suara riuh rendah mencetak surat kabar menu bacaan pagi untuk masyarakat. Ketika menjelang subuh datang, surat kabar yang memuat berita kematian itu telah siap untuk di edarkan. Distributor hingga sampai kepada agen-agen -semuanya lelaki- riang gembira mengerjakan tugasnya; memberikan bacaan berita bagi masyarakat, agar masyarakat menjadi orang-orang berpaham dan tahu perkembangan dunia.
Pagi hari, empat eksemplar surat kabar yang di antar dini hari sekali singgah di rumah lelaki gundah kemarin. Surat kabar pertama di bolak baliknya. Secangkir kopi, sepiring kue, taplak meja dan bunga masih menjadi kawannya menikmati berita. Saat membaca surat kabar yang pertama, wajahnya tiba-tiba bersinar. Ada seulas senyum singgah di sana. Tak peduli lagi ia akan kopinya yang secangkir, kuenya yang sepiring, taplak meja dan bunga indah itu beserta tiga eksemplar surat kabar lain yang tergeletak di atas meja, belum di bacanya.
Di halaman kedua puluh dua, pada kolom kematian dia membaca berita kematian seorang lelaki lengkap dengan poto dan narasi berita yang menggigit. Matanya lekat menyusuri kalimat demi kalimat yang memberitakan kematian itu. Puas hatinya. Sumbringah dadanya.
“Ini baru berita!,” ujarnya
sambil memperhatikan poto sebuah keranda dengan insert poto diri yang menghiasi
halaman berita kematian itu. Berita yang dikiranya akan di muat hari kemaren. Akhirnya
berita besar kematian dirinya di muat salah sebuah surat kabar kota ini, surat
kabar langganannya pula.
"Aku bisa berangkat dengan tenang sekarang," bisiknya pada dirinya sendiri dengan besar hati.
"Aku bisa berangkat dengan tenang sekarang," bisiknya pada dirinya sendiri dengan besar hati.
Tidak ada siapapun di situ
kecuali, Tuhan.
Padang, Awal Januari 2014
DENNI MEILIZON
*Di muat Harian Rakyat Sumbar Edisi Sabtu, 4 Januari 2014 Kolom Sastra
Padang, Awal Januari 2014
DENNI MEILIZON
*Di muat Harian Rakyat Sumbar Edisi Sabtu, 4 Januari 2014 Kolom Sastra
Mantapp... !!
BalasHapushm,..... cerpen ini semestinya ada di horizon majalah sastra,..semoga,...
BalasHapusaamiin, bang
BalasHapus