BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya. “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”. Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR ketika ditanya: ”Itu niat
sumber poto: imgrum.org |
Tersebutlah
dahulu kala beberapa bidadari sering turun untuk mandi di hulu sungai Batang
Siorbo. Air yang jernih dan sejuk dengan
lubuk yang tenang diantara rindang pepohonan membuat bidadari-bidadari itu amat
betah berendam dan bermain-main di sana.
Mereka bercengkrama dan bergembira. Burung-burung di dahan pepohonan
bercuit-cuit seakan-akan menyanyikan lagu yang menghibur mengiringi kegembiraan
para bidadari itu. Terkadang saking asyiknya, mereka sampai lupa waktu hingga
tahu-tahu saja hari sudah sore. Atau ditengah kegembiraan mereka bermain-main,
tiba-tiba awan menjadi gelap dan hujan datang dengan lebat. Sering terjadi, apabila mereka mendapati
matahari sudah tergelincir ke barat atau hari mendadak lindap sebab awan gelap
menutupi langit maka dengan bergegas mungkin mereka akan mengepakkan selendang
yang selalu melingkari leher dan bahu untuk dapat terbang kembali ke langit.
Suatu
saat, selendang milik bidadari bernama Sundari terlepas dari tubuhnya dan tanpa
ia sadari karena keasyikan bersendagurau, selendang itu telah hanyut terbawa
arus sungai. Malangnya, kawan-kawannya pun tidak ada yang menyadari hal
tersebut. Selendang bercorak kuning keemasan itu dengan cepat hanyut ke hilir
dibawa arus yang semakin ke hilir kian deras karena daerah hilir merupakan
sungai yang dipenuhi bebatuan dan cukup dangkal.
Sorepun
mulai menjelang. Ketika akan mengepakkan selendangnya terkejutlah bidadari
bernama Sundari itu. Sementara kawan-kawannya sudah menukik membubung ke
langit, ia masih dilanda kepanikan di tepi sungai. Salah satu bidadari lalu
turun kembali begitu melihat Sundari masih saja hilir mudik di tepian.
Airmatanya yang benih bercahaya menganak di pipinya yang putih merona itu. Ia
menghampiri Sundari yang kini menangis sesenggrukan.
sumber poto: carabrow.blogspot.co.id |
“Ada
apa, Sundari? Kenapa kau masih belum terbang juga? Lho, ke mana selendangmu?”
tanyanya sambil menyelidik sekujur tubuh bidadari malang itu.
“Aduh,
Mandari. Selendangku hilang. Mungkin sudah hanyut terbawa arus sungai.
Aku..akk..aku terlambat menyadarinya,” jawab Sundari dengan terbata-bata.
Mendengar
itu, bidadari yang dipanggil dengan
Mandari tersebut segera menukik terbang, mencoba melihat sepanjang aliran
sungai dari atas, tetapi sayangnya ia tidak melihat tanda-tanda keberadaan
selendang itu. Hari sudah semakin senja dan ia tentu saja tidak bisa lagi
berlama-lama di hulu sungai ini. Adalah sebuah pantangan besar sekiranya ada
bidadari yang masih berada di bumi jika malam sudah menjelang. Mereka akan
berubah menjadi manusia dan tentu saja Mandari tidak mau menjadi manusia. Maka
apa boleh buat, Mandari harus segera pergi, pulang ke surga sedangkan Sundari
harus tinggal di bumi menjadi manusia, sampai ia bisa menemukan selendangnya.
“Maafkan
saya, Sundari. Kautahu pantangan kita. Saya harus meninggalkan kamu di sini.
Dan sebelum kau temukan selendang itu, kau akan menjadi manusia. Sebaiknya
segeralah telusuri aliran sungai ini sampai ke hilir. Berhati-hatilah sebab
malam akan datang dan hutan ini akan gelap,” kata Mandari sambil memeluk
Sundari yang kini dilanda kecemasan.
“Tetapi…
tetapi, tak bisakah kau temani aku, Mandari? Aku takut… “ harap Sundari dengan
memelas. Ia memang dilanda ketakutan, sesuatu hal yang selama ini belum pernah
ia rasakan.
“Tidak
bisa, Sundari. Aku harus segera kembali ke surga. Ini sudah takdirmu. Dan,
malangnya ini juga akhir kedatangan bidadari ke bumi ini sebab begitu salah
satu diantara kita menjadi manusia maka batas antara dunia kita dengan dunia
manusia akan tertutup. Bersabarlah, semoga suatu saat kau bisa kembali dan
bergabung dengan kami di surga,” tegas Mandari sembari menguatkan hati Sundari
yang nestapa.
Perlahan
Mandari mengepakkan selendangnya dan ia kemudian melesat tinggi meninggalkan
Sundari yang memandang sedih kepergian Mandari. Ia masih menangis ketika dengan
perlahan cahaya suci yang selama ini memancar dari tubuhnya mulai meredup.
Semakin malam, cahaya itu semakin muram lalu hilang sama sekali. Sundari tahu,
ia kini benar-benar telah menjadi manusia. Makhluk yang asing baginya. Ia hanya
mengetahui bahwa menjadi manusia berarti jatuh kepada penderitaan dan
ketidakpastian. Memikirkan hal itu, Sundari menggigil semakin kalut.
Tetapi
malam semakin gelap. Dan Sundari menyadari bahwa tak ada gunanya lagi ia larut
dalam kesedihan. Apalagi kesunyian nan mencekam kini ia rasakan. Suara binatang
malam lamat-lamat ia dengarkan. Semakin lama semakin riuh. Dalam kebingungan,
ia seperti mendengar bisikan di dalam kepalanya untuk segera mencari pepohonan
yang tinggi. Untung saja, tak jauh dari
tepian sungai ia melihat sebuah pohon yang dahannya cukup untuk bisa ia
raih. Sebetulnya, ia tak tahu kenapa harus memanjat pohon. Sama seperti kenapa
ia harus menjadi manusia. Ada beberapa perasaan yang asing dan aneh mendadak
bergumul dalam dadanya. Dan selama ini, ia tidak pernah merasakan hal-hal
seperti ini.
Sundari
merasakan kelemahan tubuhnya. Ia lelah. Dan ia tidak tahu perasaan apa yang
sedang menggelayuti kedua kelopak matanya. Ia merasakan nyeri dan sakit di
dalam perutnya. Tetapi apakah gerangan
namanya? Apakah begini menjadi manusia itu? Hingga fajar menyingsing dan hari
berangsur terang, Sundari kini betul-betul dalam kondisi kepayahan. Lalu,
ketika kokok ayam hutan terdengar menyambut matahari, ia melihat beberapa ekor
burung sedang asyik mengerubungi buah pohon.. Lagi-lagi ia seperti mendengar
suara di dalam kepalanya.
“Tirulah burung-burung itu.
Masukkan buah itu ke dalam mulutmu.”
Maka
Sundari pun memetik buah-buahan yang dimakan burung itu. Ia masukkan buah itu
ke dalam mulutnya. Begitu masuk ke dalam mulut, secara ajaib dan tanpa ia
sadari, gigi-giginya yang putih berkilau langsung saja menggigit buah itu. Dari
buah itu, menguarlah suatu rasa memenuhi mulutnya, yang tertelan ke dalam
tenggorokan. Sundari masih merasakan kalau sesuatu itu betul-betul masuk ke
dalam perutnya. Yang lebih ajaib, satu gigitan buah itu ternyata membuat ia
merasa lebih baik. Maka tanpa pikir panjang, kembali dipetiknya buah-buahan
tersebut. Kembali mengulangi seperti tadi; masukkan ke dalam mulut, gigi akan
menggigit dan begitu seterusnya hingga buah itu
habis dan fisiknya terasa kian bertambah baik.
Alangkah
meriah sekali pagi itu. Sepertinya, Sundari juga terbawa suasana. Ia mulai
melupakan kesedihannya dan sejenak ia pun lupa untuk segera mengilir sungai
guna mencari keberadaan selendangnya. Tentu saja ia seharusnya tidak boleh lupa
karena selendang itu merupakan syarat satu-satunya agar ia bisa menjadi
bidadari lagi. Maka harus ada yang mengingatkan, tidak mungkin Mandari atau
bidadari lainnya sebab mereka kini sudah tidak dapat lagi turun ke bumi ini.
Burung-burung
dan desau tiupan anginlah yang mengingatkan Sundari untuk berjalan menelusuri
hilir sungai. Sahut menyahut angin dan burung mulai bernyanyi.
“O,
Kak.. O, Kak selendangmu hanyut”
“Carilah
ke hilir ke tempat orang melihatnya”
“O, Kak.. O, Kak selendangmu hanyut”
“Carilah
ke hilir ke tempat orang melihatnya”
Nyanyian itu menyentak
Sundari dan ia tersadar kalau perjalanannya masih panjang. Kepada sekawanan
burung di atas pohon ia pun bertanya ke arah mana ia harus berjalan.
Burung-burung terdengar bernyanyi kembali.
“O,
Kak… O, Kak hilirlah sungai”
Carilah
tempat orang memandikan kerbau”
Begitulah kemudian,
Sundari pun mulai melangkahkan kaki. Ia hela kedua kakinya menembus semak
belukar dan tanaman perdu. Bidadari yang kini sudah menjadi manusia itu harus
merasakan kepayahan, rasa sakit tergoreng duri dan ranting dan keletihan badan
yang selama ini tidaklah pernah ia rasakan. Tetapi, ia harus segera sampai ke
tempat orang memandikan kerbau sebagaimana petuah burung-burung di hulu sungai.
Angin mengiringi perjalanan Sundari dengan nyanyian. Bagaimanapun, ia masih
bersyukur sebab sepertinya alam menunjukkan rasa iba kepadanya. Ia merasa
seperti ditemani dan tidaklah benar-benar merasa kesepian.
Singkat cerita, Sundari
sampai di sebuah tepian. Ia melihat dua orang perempuan sedang mencuci pakaian
di sana. Ia pun memberanikan diri menghampiri mereka dan bertanya,” O, Kak… O,
Kak! Adakah melihat kainku yang hanyut?”. Kedua orang itu terlonjak kaget
mendengar ada suara merdu di belakang mereka. Ketakjuban mereka itu semakin
bertambah begitu menyaksikan paras Sundari yang cantik bak pualam. “O, ada tadi
kain hanyut. Aku mencoba tangkap, kainnya mengelak ke tepi. Ku coba menangkap
di tepian, kain itu malah mengelak ke tengah,” jawab salah seorang perempuan
itu.
Sundari agaknya mahfum
adanya. Kain selendangnya itu masih menyimpan tuah. Maka ia pun berterimakasih
dan meninggalkan dua perempuan di tepian itu. Ia lanjutkan perjalanan. Semakin
ke hilir kiranya semakin ramai. Semakin lama ia tidak lagi berjalan dalam semak
perdu tetapi sudah menelusi jalanan setapak. Dan kembali ia menemukan sebuah
tepian sungai. Di sana ramai anak-anak mandi dan bermain. Ia pun bertanya, “O,
Dik.. O, Dik! Adakah melihat kainku yang hanyut?” Anak-anak itu menjawab, “Ada,
Kak. Kami melihat kain selendang hanyut. Tetapi kami takut untuk menangkapnya.
Coba Kakak berjalan kea rah hilir. Di sana pengembala acapkali memandikan
kerbau. Mungkin kain Kakak itu sudah tersangkut di kaki kerbau-kerbau itu.”
Sundari kembali
berjalan. Tak berapa lama, saat hari dekat senja ia sampai kepada sebuah tepian
sungai lagi. Beberapa ekor kerbau sedang asyik merendam badan dan tak peduli
dengan kehadirannya. Di sebuah batu, ia melihat seorang pemuda sedang duduk
mengawasi kerbau-kerbau itu. Yang membuat jantung Sundari berdebar, pemuda itu sedang memegang kain selendang
kepunyaannya. Tak salah lagi!
Dengan bergegas ia
menghampiri pemuda itu. Tidak dihiraukannya perih dan ngilu telapak kakinya.
Tidak ia pedulikan lagi pakaian dan rambutnya yang berantakan. Begitu sudah
dekat, tanpa basa basi, ia berkata, “O, Abang pengembala! Kembalikanlah kain
selendangku itu kepadaku. Itu punyaku! Selendang itu sudah hanyut dari hulu
saat kami mandi kemarin!”
Tetapi, pemuda itu yang
telah kadung menyukai kehalusan benang selendang keemasan itu dan terpana
takjub memandang sosok Sundari yang cantik rupawan tidak mau menyerahkannya
begitu saja.
“Kau harus mau menikah
denganku kalau ingin selendangmu kukembalikan,” jawab pemuda itu sambil melipat
selendang tersebut dan memasukkannya ke dalam kecampang.
Singkat cerita, Sundari
pun terpaksa menuruti kehendak pemuda pengembala itu. Ketika hari pernikahan
dilangsungkan, Sundari pun kembali mengulangi permintaannya agar kain selendang
itu dikembalikan kepadanya. Pemuda
pengembala itu, karena merasa sudah memiliki Sundari tentu saja menuruti
permintaan istrinya tersebut. Ketika kain selendang keemasan itu ia pakaikan ke
tubuh Sundari maka terkejutlah pemuda itu. Takjublah semua orang.
Dari tubuh Sundari yang
kini sudah menjadi bidadari lagi memancar cahaya menyilau mata. Pemuda
pengembala itu baru sadar kalau istrinya itu bukan manusia biasa. Semakin lama,
dalam balutan kesilauan berpendar, ia melihat Sundari melayang dan terbang.
Pemuda itu terpana. Takjub tak dapat berkata-kata.
Hari demi hari berlalu.
Bulan berganti bulan. Pemuda itu disiksa kerinduan kepada istrinya. Ia disiksa
pergunjingan tetangga dan penduduk desa. Pada suatu pagi, ia mendapati sebuah
cawan keperakan di atas tempat tidurnya. Di dalamnya ia dapati buah pinang yang
bentuk dan rupanya belum pernah ia temukan selama ini. Begitu ia coba untuk
mengambil buah pinang itu, tiba-tiba ia seperti mendengar suara mirip suara
Sundari, istrinya lamat-lamat. “Abang pengembala, Suamiku. Tanamlah buah pinang
itu di hulu sungai. Rawatlah ia agar bisa tumbuh. Nanti setelah pohon pinang
itu tumbuh tinggi dan menggapai awan, panjatlah ia. Niscaya kita akan bertemu
kembali. Tetapi, ingatlah bahwa sekali engkau memanjatnya, maka tidak ada jalan
untuk kembali ke dunia lagi.”
Tanpa menunggu lama,
pemuda itu segera melaksanakan perintah itu. Ternyata buah pinang itu cepat
sekali tumbuhnya. Dalam beberapa hari saja, sebatang pohon pinang telah tegak
menjulang di hulu sungai. Pada hari selanjutnya, penduduk desa gempar karena
pemuda pengembala menghilang dari desa itu. Berbulan-bulan kemudian, mereka menemukan
rimbunan pohon pinang dengan buahnya yang lebat tumbuh liar di hulu sungai.
Daging buahnya sangat berbeda dari buah pinang kebanyakan. Oleh penduduk desa,
karena rasanya yang tidak kelat tetapi sedikit manis dinamailah buah pinang itu
dengan nama pinang sundari. Sampai sekarang, pinang sundari masih ditanam orang
dan tumbuh dengan suburnya. Begitu pula dengan ritual penyerahan kain dari
pengantin laki-laki kepada pengantin perempuan sampai saat ini terus diabadikan
dan menjadi salah satu syarat dalam setiap upacara pernikahan di Ujunggading.
Sungai tempat pemuda pengembala memandikan kerbau dinamakan dengan Batang
Siorbo, berada di Ujunggading, Pasaman Barat.[]
*Diceritakan kembali dengan perubahan oleh Denni Meilizon
http://majalahglosaria.com/2016/11/23/o-kak-o-kak-dan-pinang-sundari/
Komentar
Posting Komentar
Selamat datang dan membaca tulisan dalam Blog ini. Silakan tinggalkan komentar sebagai tanda sudah berkunjung, salam dan bahagia selalu.