Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

Puisi juga Bisa Menawarkan Cerita




Oleh: Denni Meilizon

Tiadalah guna memelihara sakit hati. Tidak saja batin yang akan merugi, badan juga akan dilamun merana tanpa sebab dan ujung pangkal. Begitulah kiranya yang hendak disampaikan oleh Rokhimansyah Dika melalui puisi berjudul Sakit Hati.  Hati membesar/Emosi tak tahan bahagia/Dendam telah dilawan/Meremuk wajah/Perasaan makin mengeras//. Kita dapat memperoleh gambaran penuh seseorang yang telah ditungkus oleh sakit hati ketika membaca puisi ini. Ini perupamaan yang buruk/Tiada pilihan lain/Tuhan akan membongkar kafir/Memusnahkan kulit/Hingga mata melorot/Sampai mendinginkan tubuh//. Sekali lagi, tidak ada gunanya memendam sakit hati. Hati yang memaafkan dan selalu ingat kepada sifat Allah SWT yang Maha Pemaaf dan Maha Pengampun akan lebih mulia dan beroleh kebaikan dunia akhirat.


Selalu saja tak habis cerita tentang Ibu. Ibu, sosok yang dalamnya sedalam bumi, luasnya seluas samudera dan tingginya setinggi langit. Kasih dan sayangnya tak habis-habis dan tidak akan bisa ditakar timbang. Dan kita membaca puisi Wanita Penjahit Alam karya Hazatul Nadira, kita bagaikan membaca sebuah kisah dari negeri entah. Pandainya Nadira ini menyusun larik. Metaforanya aduhai kaya nian. Ditawarinya kita bait rancak begini, Sejuk air sejak awal kau sulam/Jadi selendang di atas awan suram/Berlari kau senang menyentuh petir siang/Bergelegar kencang tetap kokoh di tepi jurang/Sudah biasa kaurangkul para pengintai tak berdaya/Mereka teriak ibu saat yang lain datang mengoyak. Sebuah pembukaan yang nikmat, bukan?

Puisi dengan gaya bercerita seperti ini sama nikmatnya apabila kita membaca prosa. Apakah ini termasuk ke dalam prosa lirik? Kita baca lagi,  Saat cerita saudagar tua yang lupa usianya/Hiasi tangga menuju meja jahitnya/Karena pada pencipta dia beringsut diam/Menyici piara yang masih ada sejak senja/Karena si wanita masih tetap menggali parit/Untuk kain yang mulai sedikit di utara tangga/Sudahlah, hanya dia yang bisa datangkan hujan/Karena jarumnya yang mengetuk dinding langit/Kita tunggu dan lihat akhir ceritanya. Adakah kalian bertemu dongeng dengan kisah yang sama dimaksud dalam puisi ini?

Menulis puisi ialah pekerjaan mengempang kata, demikian kata penyair Rusli Marzuki Saria. Kata-kata akan datang menyerbu penyair. Seni menulis puisi terletak kepada kejelian kita memilah kata dan merautnya menjadi larik dengan diksi ataupun ungkapan mengandung metafora. Dalam puisi Persinggahan Penuh Duka karya Melyana Fatmah Kartikasari dapat kita baca larik-larik yang menarik perhatian. Sama dengan puisi sebelumnya (Wanita Penjahit Alam), Melyana menulis puisi ini dengan gaya bercerita. Hanya saja kita menemukan juga sedikit kekurangan dalam puisi ini. Pada beberapa tempat ditemukan kesalahan ejaan yang mengganggu pembacaan kita. Sebagaimana pernah disampaikan juga dalam rubrik ini, naskah yang dikirim ke media dengan tujuan untuk dipublikasikan tentu perlu pembacaan berulang dari penulisnya.

Demikian apresiasi pembacaan terhadap puisi di halaman Sulam Emas edisi kali ini. Selamat dan selalu nikmati proses dengan karya yang berkelanjutan.

Salam Sulam Emas Indonesia.   


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.