Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

Masalah Enjambemen dan Patahan Larik



Oleh: Syarifuddin Arifin


Syarifuddin Arifin, Penyair
ADA 6 (enam) judul sajak yang diturunkan di halaman Sulam Emas kali ini. Masing-masing 2 judul karya Mas’ad Satyagraha, Ryanka Edila dan Azalia. Semua sajak ini sudah lolos seleksi Denni Meilizon, dan saya ditugasi mengapresiasinya.
 Membaca ke enam sajak tersebut, saya seperti diajak berwisata ke suatu tempat yang sebelumnya saya tak tahu. Dan ketidaktahuan saya itu kian sempurna, ketika saya berhadapan dengan larik-larik tak pasti. Namun saya menyadari, sebagai sebuah karya anak muda tentu saya harus kembali ke masalah proses kreatif dari ke tiga penyair kita ini.
          Semua orang bisa menulis puisi. Siapa saja, sepanjang ia bisa menulis dan membaca, (bahkan orang buta pun mampu melantunkan ungkapan yang puitis) Namun tentu kita mau tidak mau harus tunduk pada hukum/konvensi dari sebuah puisi yang dimaksudkan. Sebagaimana pernah diungkapkan Maman S Mahayana dalam sebuah diskusi, seorang penyair menyampaikan pesannya dengan metafora, perumpamaan-perumpamaan. Untuk mengatakan putih, ia berkelok ke jalan hitam atau untuk sesuatu yang disetujui maka ia akan menulis tidak. Perumpamaan yang dimaksudkan tentu tidak ditulis begitu saja, dengan melabrak aturan berbahasa yang baik dan benar. Sering saya jumpai sajak-sajak pemula kurang menguasai masalah ini, dan bahkan berlindung di balik lisencia poetica, kekhususan penyair memanfaatkan diksi dengan melabrak tatabahasa. Namun untuk hal-hal yang sifatnya baku tentu penyair harus patuh.

          Pengalaman saya sebagai kurator (puisi tidak dieditori, melainkan dipilih dan dipilah oleh kurator) banyak menemukan kesalahan eja, seperti; brankas ditulis brangkas  atau dinihari ditulis dini hari, juga saya temui kata benda tembayan yang dimaksudkan sebagai tempayan (baca sajak: Prinsip Seorang Pelajar, oleh Mas’ad Satyagraha). Bila penyair tidak tahu dengan apa yang ia maksudkan, tentulah sajak yang ia buat kurang berhasil menemui pembacanya. Kurator tak berhak untuk mengubahnya, karena kurator bukan editor. Sebuah puisi yang sudah ditulis, akan merdeka sebagaimana ia ditulis oleh penyair. Sajak ini nyaris kehilangan ruh, memaksa adagium/mamangan sudah dikenal tanpa upaya penyair memperbaharuinya. Bahkan ditulis tanpa enjabemen yang mestinya menimbulkan rima yang lebih mengena
 apa artinya air  penuh di tembayan jika tidak di gunakan untuk mencuci pakaian apalah artinya berwajah tampan jika tidak bisa mengumandangkan azan

mestinya penyair menulisnya begini;
                 
 apa artinya air penuh di tempayan
                  kalau tak berguna pencuci pakaian
                  apalah guna berwajah tampan
                  kalau tak bisa mengumandangkan azan

        Namun pada sajak ke dua, Mimpi Nian usaha penyair untuk membina suasana nampak dengan jelas, meski pun enjabemen tampak kedodoran, dan nyaris tidak memperhatikan suasana yang membentuk rima

 Hal yang sama juga kita jumpai pada dua sajak berikutnya, yakni karya Ryanka Edila dengan dua sajaknya yang berjudul  Perangai Cucumu dan Segumpal Ketuban di Meja Tuhan. Sajak pertama bercerita tentang dekadensi moral dan budaya di pesisir Pariaman, yang dikenal sebagai Kota Tabuik. Sebagaimana kita ketahui Tabuik yang menjadi salah satu iven budaya tahunan itu berasal dari kisah perjuangan Hasan dan Hosen (cucu Syaidina Ali; ingat Perang Karbala). Idenya cukup bagus, bahkan menukik ke masalah “kakus terpanjang” itu. Namun, Ryanka Edila sebagai penyair masih harus memperkaya kosakatanya agar terasa lebih menggigit.
Usaha Ryanka Edila untuk bermain dengan filsafat nampak dengan jelas, namun ia sendiri lupa bahwa pernyataan yang esensial harus disampaikan dengan larik yang tegas. Bacalah dua baris di bawah ini;

Coretan meja coklat merayu kala jenuh tersingkap
Aku hanya saksi bisu yang meretas kemuliaannya
(Sajak; Segumpal Ketuban di Meja Tuhan)

          Saya malah jadi tertarik dengan dua sajak karya Azalia yang berjudul Semangat Hidup dan Ada Merah. Seharusnyalah sajak-sajak sederhana ini yang terkadang mampu memercikkan sesuatu yang tak terduga. Seorang tukang batu, belum tentu jadi ahli batu atau seorang model tak selamanya jadi seorang perancang pakaian. Alangkah baiknya bila seorang penyair pemula memulainya dengan hal-hal yang sederhana namun komunikatif, pembaca dibawanya ke sesuatu yang tak nampak menjadi terang benderang. Bacalah sajak Ada Merah Azalia, yang sederhana namun enak dibaca, mudah diapresiasi dan punya muatan filosofis yang cair.
Ada Merah
Karya Azalia

Merah ada di mana-mana
Orang membakar sampah, ada merah
Seseorang yang termasyhur sedang berjalan, ada merah
Aku senggol bahumu sedikit, ada merah juga
Setelah makan sambel dendeng, ada merah lagi
Empat bola mata tak sengaja beradu, ada merah
Merah jambu
                  
Minggu
13/14/16

          Saya kira sebagai pengantar, cukuplah sampai di sini. Sampai jumpa minggu depan.[]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.