BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya. “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”. Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR ketika ditanya: ”Itu niat
Oleh: Denni Meilizon
Mari kita bahas saja puisi-puisi itu satu persatu. Ahmad Zul Hilmi dalam puisi Jangan Hapus Senyum Ibuku merentang hubungan antara keseriusan dalam meraih kesuksesan pendidikan dengan kedudukan seorang ibu. Ibu, dalam puisi ini dijadikan sebagai sebuah motivasi untuk lebih giat dan rajin. Ia mengungkapkan kegelisahan itu dengan larik begini, Jangan hapus senyum ibuku// Jurusan bukan penentu sukses/Tidak semua harimau ganas// Jangan anggap pendidikan jadi penentu/Jangan hapus senyum ibuku. Yang utama adalah ibu. Begitu kira-kira pesan yang hendak ia sampaikan. Dalam puisi kedua yang berjudul Ayahku Pahlawanku, Zul Hilmi dengan memakai pola penyangkalan ia memulai dengan larik begini, Bukan di ruangan yang sejuk/ Bukan di depan computer/ Tak berdasi/ Tapi jadi pemimpin. Sosok ayah dalam keluarga merupakan pemimpin. Ia kepala keluarga. Maka dengan lugas penyair menuliskan tentang sosok ayah. Semua kata yang ia susun memang dipersembahkan untuk sang ayah, kebanggaan keluarga itu. Sedikit saya sarankan kepada penyair terkait dua puisi di atas agar lebih memperkaya diksi lagi. Puisi identik dengan keindahan. Membacanya kita nyaman. Ke depan semoga dihasilkan puisi-puisi yang semakin bagus.
ENAM buah puisi yang
diturunkan oleh redaksi di halaman Sulam Emas edisi kali ini merupakan kiriman
dari Ahmad Zul Hilmi, Roni Okta Gusri dan Ivan Aulia. Mereka menuliskan
puisinya dengan beragam tema. Ahmad Zul Hilmi menulis tentang orangtua, ibu dan
ayah, sedang Roni Okta Gusri memilih tema matahari atau dengan nama lain, surya
dan Ivan Aulia menulis puisi untuk seseorang serta melukis tentang alam. Pemilihan
tema memang menjadi salah satu hal penting ketika memutuskan untuk menulis
puisi (dan juga prosa). Dengan pemilihan tema yang baik, puisi pun dapat
tersusun dengan baik pula. Ditilik dari tema, puisi Roni Okta Gusri memang
paling kuat dari keenam puisi itu. Ia tetap ketat menjaga agar tak jauh bermain
ke luar bangun puisi.
Mari kita bahas saja puisi-puisi itu satu persatu. Ahmad Zul Hilmi dalam puisi Jangan Hapus Senyum Ibuku merentang hubungan antara keseriusan dalam meraih kesuksesan pendidikan dengan kedudukan seorang ibu. Ibu, dalam puisi ini dijadikan sebagai sebuah motivasi untuk lebih giat dan rajin. Ia mengungkapkan kegelisahan itu dengan larik begini, Jangan hapus senyum ibuku// Jurusan bukan penentu sukses/Tidak semua harimau ganas// Jangan anggap pendidikan jadi penentu/Jangan hapus senyum ibuku. Yang utama adalah ibu. Begitu kira-kira pesan yang hendak ia sampaikan. Dalam puisi kedua yang berjudul Ayahku Pahlawanku, Zul Hilmi dengan memakai pola penyangkalan ia memulai dengan larik begini, Bukan di ruangan yang sejuk/ Bukan di depan computer/ Tak berdasi/ Tapi jadi pemimpin. Sosok ayah dalam keluarga merupakan pemimpin. Ia kepala keluarga. Maka dengan lugas penyair menuliskan tentang sosok ayah. Semua kata yang ia susun memang dipersembahkan untuk sang ayah, kebanggaan keluarga itu. Sedikit saya sarankan kepada penyair terkait dua puisi di atas agar lebih memperkaya diksi lagi. Puisi identik dengan keindahan. Membacanya kita nyaman. Ke depan semoga dihasilkan puisi-puisi yang semakin bagus.
Puisi berikutnya
berjudul Sang Surya dan Sang Surya 2 dikarang oleh Roni Okta Gusri. Dua buah
puisi ini apabila ditinjau dari sudut permainan metafora sudah cukup tepat.
Diksinya pun lumayan bagus. Hanya saja ada ditemukan typo di sana dan sini. Penyair yang baik tentu harus mau
mempelajari kamus perbendaharaan kata. Ia harus tahu kata. Bibit puisi adalah
kata. Maka jika masih ada kesalahan pengejaan yang bukan sebab kesalahan
pengetikan sebetulnya itu tidaklah boleh dibenarkan. Roni Okta mulai sekarang
mesti mencamkan itu. Semoga setiap puisi yang ia tulis nanti akan semakin baik
dan bagus. Semangat terus Roni, ditunggu puisi-puisi berikutnya.
Dua puisi
terakhir karya Ivan Aulia sepertinya bisa kita beri apresiasi terbaik dari
beberapa puisi di atas. Pemilihan katanya, penyusunan lariknya, diksinya dan
linguistik cukup mampu ia eksplorasi. Di antara dua puisi tersebut, dalam puisi
yang berjudul Pemukiman Sawah, ia berusaha membuat perbandingan kehidupan
perkotaan yang tak menjanjikan dengan pemukiman persawahan tempat yang menurut
penyair ini seharusnya ditinggali. Sedikit
masukan untuk puisi ini hanyalah kekurangjelasan maksud saja. Perlu pembacaan
lebih dari sekali untuk mencoba memahami apa yang hendak disampaikan penyair.
Walaupun
demikian, puisi yang berjudul Pesan Terindah Untukmu sedikit lebih enak dibaca.
Awalnya saya mengira ini puisi cinta ternyata bukan. Ini puisi tentang
persahabatan. Persahabatan yang terputus, tepatnya. Penyair haruslah melatih
kepekaan rasa lahir dan bathin. Namun, janganlah menjadi penyair cengeng lalu
menulis puisi-puisi cengeng pula. Ivan Aulia akan menjadi penyair yang
diperhitungkan kelak, semoga.
Apa yang dapat
kita peroleh dari pembacaan keenam buah puisi tersebut? Ada beberapa hal dan
ini sangat penting jika ingin tetap menulis puisi. Pertama, perhatikan kata
yang dipilih. Penyair harus pandai menyaring dan mengempang kata. Dengan kata
yang terpilih puisi bisa ditumbuhkan dengan baik. Kedua, kesalahan pengejaan
atau typo. Kesalahan demikian dapat
saja mengubah makna. Maka untuk menghindari hal tersebut memang dituntut kejelian
dan kehati-hatian. Sebelum mengirimkan puisi ke koran misalnya, terlebih dahulu
lakukan pembacaan ulang minimal tiga kali. Ketiga, meraut diksi dengan cerdik.
Diksi merupakan nyawa puisi. Orang membaca puisi pasti akan mencari diksi.
Dengan menggunakan permainan diksi dari kata ke kata maka bahasa puisi akan
lebih indah. Apalagi kemudian bisa memadupadankan rima dan irama. Keempat,
untuk meningkatkan kualitas puisi maka penyair harus membaca buku agar
perbendaharaan kata bertambah-tambah.
Baca pula puisi-puisi yang sudah ditulis oleh penyair lain, terutama
yang sudah malang melintang di dunia kepenyairan. Pelajari dan mulailah menulis
puisi lagi.
Salam SULAM EMAS
INDONESIA.
Komentar
Posting Komentar
Selamat datang dan membaca tulisan dalam Blog ini. Silakan tinggalkan komentar sebagai tanda sudah berkunjung, salam dan bahagia selalu.