Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

Menyunting Naskah Sendiri Sebelum Memublikasikannya

Oleh: Denni Meilizon


ENAM buah puisi yang diturunkan oleh redaksi di halaman Sulam Emas edisi kali ini merupakan kiriman dari Ahmad Zul Hilmi, Roni Okta Gusri dan Ivan Aulia. Mereka menuliskan puisinya dengan beragam tema. Ahmad Zul Hilmi menulis tentang orangtua, ibu dan ayah, sedang Roni Okta Gusri memilih tema matahari atau dengan nama lain, surya dan Ivan Aulia menulis puisi untuk seseorang serta melukis tentang alam. Pemilihan tema memang menjadi salah satu hal penting ketika memutuskan untuk menulis puisi (dan juga prosa). Dengan pemilihan tema yang baik, puisi pun dapat tersusun dengan baik pula. Ditilik dari tema, puisi Roni Okta Gusri memang paling kuat dari keenam puisi itu. Ia tetap ketat menjaga agar tak jauh bermain ke luar bangun puisi.

Mari kita bahas saja puisi-puisi itu satu persatu. Ahmad Zul Hilmi dalam puisi Jangan Hapus Senyum Ibuku merentang hubungan antara keseriusan dalam meraih kesuksesan pendidikan dengan kedudukan seorang ibu. Ibu, dalam puisi ini dijadikan sebagai sebuah motivasi untuk lebih giat dan rajin. Ia mengungkapkan kegelisahan itu dengan larik begini, Jangan hapus senyum ibuku// Jurusan bukan penentu sukses/Tidak semua harimau ganas// Jangan anggap pendidikan jadi penentu/Jangan hapus senyum ibuku. Yang utama adalah ibu. Begitu kira-kira pesan yang hendak ia sampaikan. Dalam puisi kedua yang berjudul Ayahku Pahlawanku, Zul Hilmi dengan memakai pola penyangkalan ia memulai dengan larik begini, Bukan di ruangan yang sejuk/ Bukan di depan computer/ Tak berdasi/ Tapi jadi pemimpin. Sosok ayah dalam keluarga merupakan pemimpin. Ia kepala keluarga. Maka dengan lugas penyair menuliskan tentang sosok ayah. Semua kata yang ia susun memang dipersembahkan untuk sang ayah, kebanggaan keluarga itu. Sedikit saya sarankan kepada penyair terkait dua puisi di atas agar lebih memperkaya diksi lagi. Puisi identik dengan keindahan. Membacanya kita nyaman. Ke depan semoga dihasilkan puisi-puisi yang semakin bagus.

Puisi berikutnya berjudul Sang Surya dan Sang Surya 2 dikarang oleh Roni Okta Gusri. Dua buah puisi ini apabila ditinjau dari sudut permainan metafora sudah cukup tepat. Diksinya pun lumayan bagus. Hanya saja ada ditemukan typo di sana dan sini. Penyair yang baik tentu harus mau mempelajari kamus perbendaharaan kata. Ia harus tahu kata. Bibit puisi adalah kata. Maka jika masih ada kesalahan pengejaan yang bukan sebab kesalahan pengetikan sebetulnya itu tidaklah boleh dibenarkan. Roni Okta mulai sekarang mesti mencamkan itu. Semoga setiap puisi yang ia tulis nanti akan semakin baik dan bagus. Semangat terus Roni, ditunggu puisi-puisi berikutnya.

Dua puisi terakhir karya Ivan Aulia sepertinya bisa kita beri apresiasi terbaik dari beberapa puisi di atas. Pemilihan katanya, penyusunan lariknya, diksinya dan linguistik cukup mampu ia eksplorasi. Di antara dua puisi tersebut, dalam puisi yang berjudul Pemukiman Sawah, ia berusaha membuat perbandingan kehidupan perkotaan yang tak menjanjikan dengan pemukiman persawahan tempat yang menurut penyair ini  seharusnya ditinggali. Sedikit masukan untuk puisi ini hanyalah kekurangjelasan maksud saja. Perlu pembacaan lebih dari sekali untuk mencoba memahami apa yang hendak disampaikan penyair.   

Walaupun demikian, puisi yang berjudul Pesan Terindah Untukmu sedikit lebih enak dibaca. Awalnya saya mengira ini puisi cinta ternyata bukan. Ini puisi tentang persahabatan. Persahabatan yang terputus, tepatnya. Penyair haruslah melatih kepekaan rasa lahir dan bathin. Namun, janganlah menjadi penyair cengeng lalu menulis puisi-puisi cengeng pula. Ivan Aulia akan menjadi penyair yang diperhitungkan kelak, semoga.

Apa yang dapat kita peroleh dari pembacaan keenam buah puisi tersebut? Ada beberapa hal dan ini sangat penting jika ingin tetap menulis puisi. Pertama, perhatikan kata yang dipilih. Penyair harus pandai menyaring dan mengempang kata. Dengan kata yang terpilih puisi bisa ditumbuhkan dengan baik. Kedua, kesalahan pengejaan atau typo. Kesalahan demikian dapat saja mengubah makna. Maka untuk menghindari hal tersebut memang dituntut kejelian dan kehati-hatian. Sebelum mengirimkan puisi ke koran misalnya, terlebih dahulu lakukan pembacaan ulang minimal tiga kali. Ketiga, meraut diksi dengan cerdik. Diksi merupakan nyawa puisi. Orang membaca puisi pasti akan mencari diksi. Dengan menggunakan permainan diksi dari kata ke kata maka bahasa puisi akan lebih indah. Apalagi kemudian bisa memadupadankan rima dan irama. Keempat, untuk meningkatkan kualitas puisi maka penyair harus membaca buku agar perbendaharaan kata bertambah-tambah.  Baca pula puisi-puisi yang sudah ditulis oleh penyair lain, terutama yang sudah malang melintang di dunia kepenyairan. Pelajari dan mulailah menulis puisi lagi.

Salam SULAM EMAS INDONESIA.







Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.