BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya. “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”. Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR ketika ditanya: ”Itu niat
sumber ilustrasi: flickr.com |
SUDAH
lama raja di Hutabargot bergelar Sutan Pulungan tidak pergi berburu. Apa boleh
buat, istrinya sedang hamil tua. Di kalangan masyarakat Mandailing sejak
dahulukala telah berlaku kepercayaan bahwa tidaklah dibenarkan seorang suami
untuk membunuh binatang atau berburu ketika istrinya sedang mengandung, kalau
tidak dikuatirkan akan berdampak buruk kepada anak yang dikandung istrinya.
Namun, kuatnya keinginan sang raja untuk menjalani kegemarannya itu akhirnya
tidak dapat dihalangi lagi. Maka pada suatu hari pergilah beliau berburu dengan
ditemani pasukan pengawal beberapa orang saja dan sampailah ia di dekat Pohon
Beringin yang terletak di Muara Batang Angkola. Belum sampai ia turun dari
kudanya, tiba-tiba anjing milik sang raja menggonggong dengan keras. Mendengar
itu Sutan Pulungan menyangka kalau anjing itu sudah melihat rusa sehingga ia
menggonggong demikian. Anjing itu terus menyalak sambil berlari mendekati
sebuah batu besar di bawah pohon Beringin. Dan terkejutlah mereka semua, karena
bukan Rusa kiranya yang terlihat oleh anjing itu tetapi ternyata seorang bayi
yang masih merah (baru lahir). Sutan Pulungan langsung memeriksa bayi tersebut,
ternyata berjenis kelamin laki-laki dengan kulit yang kemerah-merahan. Ia
memerintahkan pasukannya untuk memeriksa sekeliling siapa tahu bertemu dengan
orangtua bayi itu, namun hasilnya nihil. Dengan hati-hati, sang raja membalut tubuh
bayi itu dengan pakaiannya sendiri. Anehnya, bayi itu tidak menangis, bahkan
matanya berbinar-binar memandangi wajah Sutan Pulungan. “Kamu akan kuangkat
menjadi anakku,” sabda sang raja.
Sutan
Pulungan pun membawa bayi itu ke istananya di Hutabargot. Pada saat yang
bersamaan, ternyata terdengar kabar oleh sang raja jikalau istrinya sudah melahirkan
pula. Mendengar kabar itu, diputuskanlah untuk menitipkan bayi yang ia temukan
itu kepada seorang ibu miskin bernama Sauwa di pinggiran desa Hutabargot untuk
dibesarkan. Dan bayi itu diberinya nama dengan Sibaro Ara karena dia ditemukan
di bawah pohon beringin.
Lima
tahun berlalu Sibaro Ara tumbuh menjadi anak yang rupawan. Ia pun sudah dibawa
ke istana untuk dibesarkan menurut adat kebiasaan istana Hutabargot. Akan
tetapi ternyata timbul kecemburuan istri Sutan Pulungan sebab Sibaro Ara lebih
rupawan dari anak kandung raja sendiri. Akibat deraan rasa cemburu yang
memuncak, terniatlah untuk membunuh Sibaro Ara.
Pada
suatu ketika tiang tengah bangunan istana direncanakan untuk dilakukan
penggantian sebab sudah lapuk. Untuk itu dibutuhkan pemberian tumbal guna mendarahi
tiang baru itu. Atas maksud itu, semakin besarlah niat jahat istri Sutan
Pulungan untuk membunuh Sibaro Ara dan menjadikannya tumbal penyangga tiang. Akan
tetapi takdir berbicara lain, justru anak kandung Sutan Pulunganlah yang terbunuh
dan menjadi tumbal. Kelalaian fatal itu membuat Sutan Pulungan murka, ia
menghukum Hulubalang yang lalai itu lalu memerintahkan pula untuk membunuh Sibaro
Ara yang masih dalam pengasuhan Sauwa. Mendengar kabar anak asuhnya akan
dibunuh raja, maka Sauwa pun melarikannya ke persawahan Hutabargot dan
bersembunyi di dalam sebuah gubuk reot. Seekor burung balam lalu hinggap di
atap gubuk tersebut. Hulubalang kehilangan jejak walau sebelumnya mereka curiga
pada gubuk reot tadi tetapi karena keberadaan burung balam itu mereka menjadi tidak
yakin ada orang di dalamnya. Dari dalam gubuk, dengan rasa takut yang sangat, Sauwa
melihat hulubalang pergi. Setelah merasa aman, ia membawa Sibaro Ara ke tepian
Batanggadis (Pasar Akad, Mandailing). Hujan baru saja berhenti dan sungai
Batanggadis sedang meluap. Dalam kebingungan, tiba-tiba Sauwa melihat sebatang pohon
besar hanyut lalu mengempang di depan mereka tak ubahnya seperti sebuah
jembatan. Sauwa dengan Sibaro Ara dalam dekapan meniti pohon besar itu untuk
menyeberang.
Mereka
sampai di Huta Lombang yang saat itu diperintah oleh seorang raja bernama
Namora Paimahon Rangkuti. Raja itu sangat curiga pada Sauwa karena mereka
datang dari arah Hutabargot. Sementara kerajaan Hutabargot dengan Huta Lombang memiliki
hubungan yang tidak baik. Sauwa dituduh sebagai mata-mata dari Hutabargot dan
ia beserta anak asuhnya Sibaro Ara diasingkan di sebuah rumah kosong karena
pemiliknya telah meninggal dan tak punya keturunan. Rumah itu sebetulnya
merupakan sarang harimau yang sangat ganas. Ajaibnya, harimau itu langsung
jinak kepada Sauwa dan menjilati kaki anak kecil tersebut. Dengan demikian
mereka leluasa menempati rumah itu hingga kemudian Sibaro Ara beranjak dewasa. Hari-hari
Sibaro Ara yang kemudian hari dipanggil penduduk Huta Lombang dengan Sibaroar
itu diisi dengan berguru silat dan ilmu-ilmu kanuragan sehingga terkenallah ia
sebagai orang sakti.
Suatu
masa hama menyerang sawah dan ladang penduduk Huta Lombang. Raja Huta Lombang mengadakan
musyawarah guna mencari jalan keluar mengatasi masalah itu. Sibaro Ara juga
datang namun karena dia pendatang maka ia tidak diperbolehkan masuk. Karena itu
ia pun duduk di depan pintu dialasi terompah orang-orang yang ikut bermusyawarah.
Dalam musyawarah itu, Sibaro Ara mencoba
memberikan usul tetapi usulnya selalu ditolak dengan alasan ia hanyalah pendatang.
Setelah
diputuskan maka dilaksanakan hasil musyawarah tersebut tetapi ternyata tidak
berhasil malahan hama semakin merajalela. Raja kembali melakukan musyawarah. Sekali
lagi Sibaro Ara datang dan memberikan usul. Kali ini usul Sibaro Ara diterima dan
setelah dijalankan ternyata berhasil. Namora Paimahon Rangkuti yang merasa malu
karena selama ini mengucilkan Sibaro Ara lalu minggat entah ke mana. Masyarakat
Huta Lombang yang telah ditinggal rajanya itu ramai-ramai pindah ke dekat rumah
Sibaro Ara dan mengangkatnya sebagai raja mereka yang baru dengan gelar Sutan
Diaru Parkanasaktion. Tempat tinggal Sibaro Ara disebut Panyabungan Tonga-tonga.
Selanjutnya
terjadi perang antara pasukan Hutabargot dengan pasukan Huta Lombang yang
langsung dipimpin oleh dua raja yang sebetulnya ayah beranak itu. Dalam perang
tersebut pasukan Sutan Diaru Parkanasaktion hampir saja kalah. Disaat melihat
pasukannya sudah terdesak, tiba-tiba Sutan Diaru Parkanasaktion berlari ke arah
sebuah batu besar lalu naik ke atasnya sembari menengadahkan tangannya ke
langit. Sesaat kemudian, serentetan petir datang menyambar pasukan Sutan
Pulungan sehingga pasukan Sutan Pulungan semburat kacau balau.
Seorang
raja yang lain bernama Namora Raya Lubis dari kerajaan Singengu datang
mendamaikan pertikaian ayah dengan anak angkatnya itu. Setelah keduanya sepakat
berdamai, maka saat itu pulalah Sibaro Ara atau Sibaroar gelar Sutan Diaru
Parkanasaktion dinikahkan dengan putri bungsu Sutan Pulungan yang bernama Namora
Sitapi Paserahan. Ternyata Namora Sitapi Paserahan boru Sutan Pulungan rupanya
berumur pendek. Ia meninggal dunia tanpa meninggalkan keturunan.
Setelah
istrinya meninggal dunia, Sutan Diaru Parkanasaktion lalu menikahi putri Sutan
Batara Guru Hasibuan, Raja Kerajaan Pannai bernama Namora Sitapi Rumondang
Bulan. Buah perkawinan itu mereka dianugerah putra tunggal yang diberi nama
Tuan Natoras. Dari putra tunggal Sutan Diaru Parkanasaktion inilah kemudian marga
Nasution dalam suku Mandailing berasal dan menyebar melalui jalur Baginda
Tobing Na Injang dan Baginda Mangaraja Enda yang merupakan cicit Sibaro Ara
atau Sibaroar. Marga Nasution kini sudah tersebar ke seluruh dunia hingga saat
ini.[]
Diceritakan kembali oleh: Denni Meilizon, dari berbagai sumber
Komentar
Posting Komentar
Selamat datang dan membaca tulisan dalam Blog ini. Silakan tinggalkan komentar sebagai tanda sudah berkunjung, salam dan bahagia selalu.