Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2015

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

MENCARI PERSINGGAHAN DALAM PUISI

(Sebuah Catatan Terhadap Buku Puisi “Sajak-Sajak di Buang Sayang”) Oleh: Denni Meilizon SETIAP pembahasan modern tentang proses kreatif pasti menyorot peran alam bawah sadar dan alam sadar pengarang. Pengarang sering kali membicarakan hal-hal teknis alih-alih membicarakan bakat bawaan yang ia miliki di mana keseluruhan pengalaman yang kemudian menjadi bahan sebuah karya menjadi semacam cermin yang memantulkan kembali sisi personal dari pribadi mereka. Apakah dibutuhkan analisa psikologi dalam menilai sebuah proses kreatif? Menurut Jhon Keats (1935, hlm 227), seorang penyair sesungguhnya tidak memiliki identitas diri. Diri bagi penyair adalah segala sesuatu dan sekaligus tidak ada. Seorang penyair adalah sesuatu yang paling tidak puitis di seluruh semesta. Karena tidak punya identitas, maka ia secara terus menerus menciptakan dan mengisi jasad lain. T.S Eliot (1918) memberikan kepada kita sebuah pandangan bahwa sejatinya seorang penyair hanya mengulangi kembali dan m

Penyair Rusli Marzuki Saria: Seorang Calon Penyair Harus Banyak Membaca

PENYAIR Rusli Marzuki Saria (79 tahun) menyatakan, seorang calon penyair haruslah banyak membaca, karena dengan banyak membaca perbendaharaan kata-kata semakin banyak. Hal ini penting karena bahan baku sebuah puisi adalah kata-kata yang kemudian jadi kalimat. Kalau perbendaharaan kata-kata sudah banyak, maka kita bisa menyaringnya untuk digunakan, mana yang sesuai dengan masalah yang ingin diungkapkan di dalam puisi itu. Di samping itu juga ada teknik menjinakkan kata-kata. “Menulis puisi atau sajak itu termasuk dalam menulis kreatif, di samping cerita pendek, naskah drama dan catatan harian. Seseorang yang kreatif adalah yang mempunyai daya atau kemampuan mencipta dalam mewujudkan kreasi baru. Jadi seorang penulis karya kreatif seperti puisi dan cerita pendek (cerpen) haruslah orang-orang yang suka membaca,” katanya.

MENULIS CERPEN

Oleh: Denni Meilizon** TULISAN ini akan saya mulai dengan sebuah pertanyaan, “Apa yang dimaksud dengan Cerita Pendek?” Sebuah cerita ditulis sebab dibutuhkan oleh manusia sebagai makhluk sosial. Cerita dibaca sebagai cermin yang memantulkan aneka ragam permasalahan yang dialami manusia dalam kehidupan. Sebagai produk humanisme, cerita menjadi wahana untuk menakar kedalaman emosi setiap manusia, menjadi pengingat dan memandang kehidupan dari berbagai sisi yang berbeda. Manusia sebagai makhluk Tuhan sangat menyukai keindahan. Karena keindahan itu pulalah seni dan budaya terbentuk sebagai embrio murni pembangun peradaban. Dua hal tersebut kemudian melahirkan bahasa yang merupakan induk dari SASTRA. Sastra merupakan ungkapan keindahan yang dituliskan dalam bentuk cerita. Sedangkan Seni Rupa merupakan keindahan yang dilukiskan ke dalam bentuk objek berupa gambar-gambar. Menurut Gus Tf. Sakai, keindahan kemudian melahirkan dua macam teks yang saling terpisah secara stru

Dari Kritik “Dagang Sapi” Hingga Kritik Sastra Ilmiah *)

Oleh : Dasril Ahmad SEJAK doeloe Sumatera Barat yang dikenal sebagai gudangnya sastrawan (beken) di Indonesia, tampaknya tak berlaku untuk bidang kritik sastra. Masyarakat Sumatera Barat (baca : Minangkabau) yang memang gemar ma-ota/bercerita secara lisan di kedai-kedai, tampaknya enggan menjelaskan pengertian, makna dan bobot dari ceritanya itu kepada orang lain, sebagaimana kaedah sebuah kritik sastra. Namun yang menggembirakan adalah, ternyata masyarakat Minangkabau tak hanya mampu menghidupkan tradisinya bercerita secara lisan, tetapi juga punya hasrat tinggi untuk menulis dalam bentuk karya sastra.