BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya. “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”. Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR ketika ditanya:...
(Sebuah Catatan Terhadap Buku Puisi “Sajak-Sajak di Buang Sayang”)
Oleh: Denni Meilizon
SETIAP pembahasan modern tentang proses kreatif pasti menyorot peran
alam bawah sadar dan alam sadar pengarang. Pengarang sering kali
membicarakan hal-hal teknis alih-alih membicarakan bakat bawaan yang ia
miliki di mana keseluruhan pengalaman yang kemudian menjadi bahan sebuah
karya menjadi semacam cermin yang memantulkan kembali sisi personal
dari pribadi mereka. Apakah dibutuhkan analisa psikologi dalam menilai
sebuah proses kreatif? Menurut Jhon Keats (1935, hlm 227), seorang
penyair sesungguhnya tidak memiliki identitas diri. Diri bagi penyair
adalah segala sesuatu dan sekaligus tidak ada. Seorang penyair adalah
sesuatu yang paling tidak puitis di seluruh semesta. Karena tidak punya
identitas, maka ia secara terus menerus menciptakan dan mengisi jasad
lain. T.S Eliot (1918) memberikan kepada kita sebuah pandangan bahwa
sejatinya seorang penyair hanya mengulangi kembali dan mempertahankan
hubungan masa kanak-kanaknya dengan masa muda sementara ia melangkah ke
masa depan. Pendapat Eliot jelas dipengaruhi oleh tesis Carl Jung ketika
menyampaikan bahwa dalam alam bahwa sadar manusia, daerah masa lalu,
masa kanak-kanak dan masa bayi yang tertekan ke bawah sadar, ada
kesadaran kolektif berupa citraan masa lalu dan jauh sebelum masa lalu
itu ada.
Sebab itulah kita seharusnya tidaklah harus mengagumi semua puisi ataupun malah mencercanya. Yang paling penting dinyatakan adalah dalam puisi ditemukan nilai yang benar-benar ada atau secara potensial ada dalam karya sastra itu. Menilai sisi estetika sebuah puisi akan membawa kita kepada pandangan subjektif. Untuk menghindari hal tersebut alangkah lebih baik kita pahami saja kalau nilai estetis terletak pada puisi, sebab ia terbuka untuk dinilai semua orang. Sebagaimana kita mengetahui konsep warna dan rasa.
Berdasarkan konsep di atas kita kemudian dapat membaca puisi-puisi Muhammad Subhan yang dikumpulkan dalam buku “Sajak-Sajak di Buang Sayang” (FAM Publising, 2015). Dalam halaman pengantar, penyair mengakui akan ketidak percayaan dirinya manakala akan mempublikasikan puisi-puisinya. Sebagaimana laiknya sebuah penilaian terhadap puisi, sisi emosi penyair bukanlah menjadi fokus pembicaraan. Karya-karya yang ditulisnyalah yang menjadi pusat perbincangan. Dari titik tolak itu kita pun mendapatkan berbagai hal yang bisa dibagi dalam berbagai pokok bahasan. Apalagi dalam sekumpulan puisi yang dirangkum dalam buku “Sajak-Sajak di Buang Sayang” tidak mengarahkan kita kepada tema-tema tertentu. Puisi-puisi di dalamnya ditulis bebas, dengan beragam tema.
Ada hal yang sangat menarik kita dapati dalam buku ini. Kita menemukan beberapa puisi yang mengangkat tema-tema lokal. Beberapa puisi mengantarkan kita ke beberapa tempat persinggahan. Kota-kota yang agaknya pernah menjadi latar belakang kenangan dan imajinasi penyair dalam membangun proses kreatifnya. Dan kita tentunya tidak mau tersesat ke dalam berbagai tempat yang dipuisikan itu sebagaimana diungkapkan larik berikut, “seperti pelaut kehilangan kompas/kita terombang-ambing dalam pelukan gelombang” (Tersesat, Hlm. 116). Saya berpikir kemudian, mungkin saja Muhammad Subhan begitu intens merekam perjalanan hidupnya sehingga dengan amat gamblang kita dibawanya berkelana ke pedalaman Pasaman Barat dengan larik-larik yang rancak seperti ini, “Pasaman, aku membingkaimu dalam lukisan Van Gogh”//… Pasaman, aku mencarimu di lukisan lain/kutemukan wajahmu di kanvas Affandi”// (Pasaman Barat, hlm. 19). Muhammad Subhan tentu saja sangat bisa menggambarkan tentang ladang sawit, tanah-tanah subur, sawah membelah, senandung biduk di pantai Sasak hingga bagaimana malam membalut kota Simpang Empat.
Sebagaimana ia begitu lancar mengungkapkan tentang Batang Tongar dalam larik-larik berikut, “rindu riak-kecipak jernih airmu/membelah kampung kami//rimba yang tenang/siamang adalah pengingat waktu/pagi dan petang”//. Ungkapan sejenis kita temukan antara lain dalam puisi Rimbo Panti, “nyanyian siamang adalah lagu di kampung kami/dari puncak talamau dia turun ke kajai”/ (hlm. 76). Atau mungkin dalam puisi Kampung Pasir, “tak ada lagi bendi ke talu/hari pekan semarak di pasar kajai/anak aceh datang mencari ibu/tanah leluhur di kaki talamau”//. Sekali lagi kita menemukan ingatan-ingatan masa lalu sangat kentara dalam puisi-puisi ini.
Beberapa tempat seperti berlompatan dalam puisi-puisi Muhammad Subhan. Penyair memang pernah begitu lama tinggal di Aceh. Sebut saja larik tentang “di puncak bukit gle jong, kami ikut/menaiki 99 anak tangga, merapal doa-doa/dalam ziarah purba”// (Seumelueng, hlm. 65). Subhan bercerita tentang “takengon, aceh tengah, dua kali aku sempat/menapaki subur tanahmu”// (Kebung Jeruk di Takengon, hlm. 44), “senja itu kita memesan secangkir kopi/di ulee lheu, pantai kenangan”// (Ulee Lheu, hlm. 93), “sabang, dulu sekali. Di dermaga balohan/ketika senja tenggalam ditelan mulut laut”// (Balohan, hlm. 95).
Masih banyak puisi-puisi lain yang ditulis oleh penyair dalam rangka membungkus kenangan demi kenangan perjalanan hidupnya. Seperti puisi Kampung Inggris (hlm. 97), Bukittinggi (hlm. 105), Pasar Apung (hlm. 103) lalu Suatu Pagi di Pasar Padang Panjang (hlm. 143) untuk sekedar menyebutkan beberapa.
Sebagai seorang penyair, Muhammad Subhan sudah membawa kita ikut dalam baluran cerita yang ia petakan melalui larik demi larik puisinya. Ia membagi pengalaman bathin yang membangun proses kreatif kepenulisannya. Sebab itulah kehadiran buku puisi ini menjadi penting dalam khazanah sastra tanah air. Sebab ia mencatat jejak Muhammad Subhan, salah seorang penulis produktif yang dimiliki Indonesia.
Lubuk Minturun, Mei 2015
Dimuat koran RAKYAT SUMBAR, Sabtu 23 Mei 2015
Oleh: Denni Meilizon

Sebab itulah kita seharusnya tidaklah harus mengagumi semua puisi ataupun malah mencercanya. Yang paling penting dinyatakan adalah dalam puisi ditemukan nilai yang benar-benar ada atau secara potensial ada dalam karya sastra itu. Menilai sisi estetika sebuah puisi akan membawa kita kepada pandangan subjektif. Untuk menghindari hal tersebut alangkah lebih baik kita pahami saja kalau nilai estetis terletak pada puisi, sebab ia terbuka untuk dinilai semua orang. Sebagaimana kita mengetahui konsep warna dan rasa.
Berdasarkan konsep di atas kita kemudian dapat membaca puisi-puisi Muhammad Subhan yang dikumpulkan dalam buku “Sajak-Sajak di Buang Sayang” (FAM Publising, 2015). Dalam halaman pengantar, penyair mengakui akan ketidak percayaan dirinya manakala akan mempublikasikan puisi-puisinya. Sebagaimana laiknya sebuah penilaian terhadap puisi, sisi emosi penyair bukanlah menjadi fokus pembicaraan. Karya-karya yang ditulisnyalah yang menjadi pusat perbincangan. Dari titik tolak itu kita pun mendapatkan berbagai hal yang bisa dibagi dalam berbagai pokok bahasan. Apalagi dalam sekumpulan puisi yang dirangkum dalam buku “Sajak-Sajak di Buang Sayang” tidak mengarahkan kita kepada tema-tema tertentu. Puisi-puisi di dalamnya ditulis bebas, dengan beragam tema.
Ada hal yang sangat menarik kita dapati dalam buku ini. Kita menemukan beberapa puisi yang mengangkat tema-tema lokal. Beberapa puisi mengantarkan kita ke beberapa tempat persinggahan. Kota-kota yang agaknya pernah menjadi latar belakang kenangan dan imajinasi penyair dalam membangun proses kreatifnya. Dan kita tentunya tidak mau tersesat ke dalam berbagai tempat yang dipuisikan itu sebagaimana diungkapkan larik berikut, “seperti pelaut kehilangan kompas/kita terombang-ambing dalam pelukan gelombang” (Tersesat, Hlm. 116). Saya berpikir kemudian, mungkin saja Muhammad Subhan begitu intens merekam perjalanan hidupnya sehingga dengan amat gamblang kita dibawanya berkelana ke pedalaman Pasaman Barat dengan larik-larik yang rancak seperti ini, “Pasaman, aku membingkaimu dalam lukisan Van Gogh”//… Pasaman, aku mencarimu di lukisan lain/kutemukan wajahmu di kanvas Affandi”// (Pasaman Barat, hlm. 19). Muhammad Subhan tentu saja sangat bisa menggambarkan tentang ladang sawit, tanah-tanah subur, sawah membelah, senandung biduk di pantai Sasak hingga bagaimana malam membalut kota Simpang Empat.
Sebagaimana ia begitu lancar mengungkapkan tentang Batang Tongar dalam larik-larik berikut, “rindu riak-kecipak jernih airmu/membelah kampung kami//rimba yang tenang/siamang adalah pengingat waktu/pagi dan petang”//. Ungkapan sejenis kita temukan antara lain dalam puisi Rimbo Panti, “nyanyian siamang adalah lagu di kampung kami/dari puncak talamau dia turun ke kajai”/ (hlm. 76). Atau mungkin dalam puisi Kampung Pasir, “tak ada lagi bendi ke talu/hari pekan semarak di pasar kajai/anak aceh datang mencari ibu/tanah leluhur di kaki talamau”//. Sekali lagi kita menemukan ingatan-ingatan masa lalu sangat kentara dalam puisi-puisi ini.
Beberapa tempat seperti berlompatan dalam puisi-puisi Muhammad Subhan. Penyair memang pernah begitu lama tinggal di Aceh. Sebut saja larik tentang “di puncak bukit gle jong, kami ikut/menaiki 99 anak tangga, merapal doa-doa/dalam ziarah purba”// (Seumelueng, hlm. 65). Subhan bercerita tentang “takengon, aceh tengah, dua kali aku sempat/menapaki subur tanahmu”// (Kebung Jeruk di Takengon, hlm. 44), “senja itu kita memesan secangkir kopi/di ulee lheu, pantai kenangan”// (Ulee Lheu, hlm. 93), “sabang, dulu sekali. Di dermaga balohan/ketika senja tenggalam ditelan mulut laut”// (Balohan, hlm. 95).
Masih banyak puisi-puisi lain yang ditulis oleh penyair dalam rangka membungkus kenangan demi kenangan perjalanan hidupnya. Seperti puisi Kampung Inggris (hlm. 97), Bukittinggi (hlm. 105), Pasar Apung (hlm. 103) lalu Suatu Pagi di Pasar Padang Panjang (hlm. 143) untuk sekedar menyebutkan beberapa.
Sebagai seorang penyair, Muhammad Subhan sudah membawa kita ikut dalam baluran cerita yang ia petakan melalui larik demi larik puisinya. Ia membagi pengalaman bathin yang membangun proses kreatif kepenulisannya. Sebab itulah kehadiran buku puisi ini menjadi penting dalam khazanah sastra tanah air. Sebab ia mencatat jejak Muhammad Subhan, salah seorang penulis produktif yang dimiliki Indonesia.
Lubuk Minturun, Mei 2015
Dimuat koran RAKYAT SUMBAR, Sabtu 23 Mei 2015
Komentar
Posting Komentar
Selamat datang dan membaca tulisan dalam Blog ini. Silakan tinggalkan komentar sebagai tanda sudah berkunjung, salam dan bahagia selalu.