Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

MENULIS CERPEN



Oleh: Denni Meilizon**


TULISAN ini akan saya mulai dengan sebuah pertanyaan, “Apa yang dimaksud dengan Cerita Pendek?”

Sebuah cerita ditulis sebab dibutuhkan oleh manusia sebagai makhluk sosial. Cerita dibaca sebagai cermin yang memantulkan aneka ragam permasalahan yang dialami manusia dalam kehidupan. Sebagai produk humanisme, cerita menjadi wahana untuk menakar kedalaman emosi setiap manusia, menjadi pengingat dan memandang kehidupan dari berbagai sisi yang berbeda.

Manusia sebagai makhluk Tuhan sangat menyukai keindahan. Karena keindahan itu pulalah seni dan budaya terbentuk sebagai embrio murni pembangun peradaban. Dua hal tersebut kemudian melahirkan bahasa yang merupakan induk dari SASTRA. Sastra merupakan ungkapan keindahan yang dituliskan dalam bentuk cerita. Sedangkan Seni Rupa merupakan keindahan yang dilukiskan ke dalam bentuk objek berupa gambar-gambar. Menurut Gus Tf. Sakai, keindahan kemudian melahirkan dua macam teks yang saling terpisah secara struktural yakni teks seni dan teks diskursif (dirumuskan). Teks seni dihasilkan oleh gerak pola yang tercipta sebagai aktifitas otak kanan sedangkan teks diskursif dihasilkan oleh aktifitas otak kiri. 

Teks seni adalah wahana untuk menghidupkan kreatifitas manusia. Pembentukannya menggunakan seluruh indera yang kita miliki. Sebab itu seni dideskripsikan dengan panca indera dengan mengedepankan kepekaan. Kepekaan diperoleh dari latihan yang terus menerus sebab kepekaan tidak akan diperoleh tanpa latihan. Tanpa dilatih maka kepekaan dan bakat akan mati. Sedangkan teks diskursif menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), didefenisikan sebagai teks yang mengaitkan fakta secara bernalar; (arti). Contoh teks diskursif adalah uraian ilmiah. Teks seni melahirkan puisi sedangkan teks diskursif melahirkan essai. Prosa lahir diantara teks essai dengan teks puisi. 

Dalam perkembangan berikutnya, cerita pendekpun lahir. Tidak ada catatan yang pasti kapan tradisi menulis cerita pendek ini lahir. Namun, dapat ditelusuri kalau cerita pendek sebelum dituliskan tentunya berasal dari sebuah kebiasaan kuno yang dilakukan manusia dalam keseharian. Kebiasaan itu berupa kegiatan berkomunikasi lisan dan saling menceritakan kehidupan masing-masing kepada orang-orang disekitarnya. Sebuah kebiasaan turun temurun yang dimiliki oleh manusia sebagai makhluk sosial. Untuk Indonesia, kelahiran cerita pendek merujuk kepada sebuah cerita pendek karangan M. Kasim dengan kumpulan cerpennya dalam Teman Duduk (1936) dan Suman Hs. dengan Kawan Bergelut (1938). Namun, bukan tidak mungkin kalau sejarah cerita pendek Indonesia sudah diawali jauh sebelum itu, mungkin sejak paruh akhir 1800-an dan awal 1900-an.

Cerita pendek zaman lawas berfungsi sebagai pelarian dari penderitaan manusia. Dengan dituliskan, maka penderitaan dapat ditertawakan, dibuat gembira dan dirasakan bersama-sama. Kisah penderitaan manusia disukai dengan cara seperti itu. 
 
Hingga hari ini, belum ada definisi yang baku (disepakati) tentang apa itu cerita pendek. Namun demikian, sudah banyak tulisan-tulisan dapat dibaca yang membahas cerita pendek. Sumardjo dalam bukunya Catatan Kecil Tentang Menulis Cerpen yang menuliskan; cerita pendek adalah fiksi pendek yang selesai dibaca dalam “sekali duduk”. Cerita pendek hanya memiliki satu arti, satu krisis, dan satu efek untuk pembacanya. Untuk ukuran Indonesia cerpen terdiri dari 4 sampai dengan 15 halaman folio ketik. (1917: 184). Senada dengan pendapat di atas, dalam Kamus Istilah Sastra (1990: 15-16), Sudjiman menuliskan pengertian; cerita pendek (short story) adalah kisahan pendek (kurang dari 10.000 kata) yang dimaksudkan memberikan kesan tunggal yang dominan. Cerita pendek memusatkan diri pada satu tokoh dalam satu situasi pada satu ketika. Meskipun persyaratan itu tidak terpenuhi, cerita pendek tetap memperlihatkan kepaduan sebagai patokan. Cerita pendek yang efektif terdiri dari tokoh atau sekelompok tokoh yang ditampilkan pada satu latar atau latar belakang dan lewat lakuan lahir atau batin terlibat dalam satu situasi.

Menurut teorinya, cerita pendek dibangun dari sebuah titik fokus yang menjadi konflik kemudian diramu menjadi satu kesatuan yang utuh ataupun potongan-potongan kisah yang saling berkaitan (fragmen). Cerita pendek bercirikan kepada fokusnya yang hanya membahas satu hal (persoalan) saja. Menurut Yanuza Nugroho, sebuah cerita pendek ibarat sesosok tubuh lengkap. Sebab itu ketika menulis cerita pendek, kepala mestilah sesuai dengan tubuh (maksudnya: kalau kepalanya manusia maka tubuhnyapun harus tubuh manusia, jangan tubuh binatang). Deskripasikanlah apa yang terdapat diantara kepala dan apa-apa saja yang dimiliki oleh tubuh. Bagaimana pola laku organ-organnya. Apa yang ada di atasnya.

Cerita pendek yang baik didapatkan dari naskah yang berbeda dari yang pernah ada. Naskah berbeda didapatkan dari membaca. Dengan membaca kita tahu naskah apa yang sudah ditulis dan naskah mana yang belum ditulis. Karena cerita pendek merupakan prosa maka ianya harus dibentuk dengan memakai ungkapan yang tidak umum. Menurut Putu Fajar Arcana, kata-kata sebagai bahan baku menulis cerita pendek harus dihidupkan agar bias menjadi karya. Penulis harus memberikan intensi kepada satu ataupun dua kata sehingga kata-kata itu bisa memberikan dimensi baru. Dimensi baru itulah yang akan memberi perbedaan kepada naskah cerita pendek.

Setidaknya ada tiga hal yang wajib dilakukan apabila menulis cerita pendek. Pertama, penulis harus memancing ide. Ide didapat dari hal-hal kecil disekitar kita. Diksi dapat dipungut di jalana atau di mana saja. Kedua, melakukan observasi (pengamatan). Ketiga menguasai teknik menulis.

Sederhananya, menulis cerita merupakan urusan mencari konflik. Konflik dibangun dan dihancurkan. Dari konfliklah cerita pendek mendapatkan ruhnya. Bicara konflik, kita akan menemukan berbagai pertentangan, perbedaan dan juga sesuatu yang tidak mungkin ataupun juga sesuatu yang tidak normal. Konflik merupakan perbedaan kebiasaan, ruang, situasi, waktu juga pemahaman. Bentuklah cerita dengan menggunakan bahan baku dari segala arah (sudut). Kata bisa dikendalikan melalui penguasaanakan bentuk, warna, bau dan rasa. Rumuskanlah cerita dengan idiom-idiom yang unik berkarakter kuat. Membaca kamus-kamus berbagai bahasa sangat disarankan. Kata-kata secara “naluriah” akan mencari pasangannya yang sepadan. Sebab itu penulis harus menjaga, menyaring dan memilih. Kata-kata mati, yang membunuh rasa dalam sebuah cerita pendek harus segera dibuang.

Sebagai sebuah cerita yang ditulis pendek, paragraph pertama sangat menentukan isi keseluruhan cerita (apakah akan terus dibaca atau tidak). Dua alinea pertama harus dapat menguasai emosi pembaca. Gunakan kalimat-kalimat aktif (libatkan pembaca dalam cerita). Sodorkanlah masalah, berikan harapan kepada pembaca dengan mengusung gagasan. Sudut pandang harus jelas. Jujurlah, ceritakan hal-hal yang berhubungan dengan pengalaman pribadi. Berceritalah dengan sederhana.

Tugas mengarang adalah tugas mencipta. Maka jangan mengulangi apa yang sudah ditulis orang lain. Sekali lagi, jujurlah dalam bercerita. Sebagai nilai tambah atas sebuah cerita, khusus untuk pemuatan di media massa, sangat dihargai apabila cerita pendek tersebut ditulis dengan menggunakan olahan-olahan dari filosofi lokal. Pergunakan kekayaan filosofi lokal itu dengan menggunakan bahasa-bahasa penceritaan baru. Kunci utama pemuatan di media massa adalah pemakaian bahasa yang tidak rumit dan juga tidak “jorok” (sesuai dengan EYD/tata bahasa yang benar).

Cerita pendek akan lebih bernas apabila penulis berhasil mendapatkan judul yang baik bagi ceritanya. Syarat sebuah judul yang baik adalah jangan memberikan kesimpulan apapun melalui judul itu. Berikanlah judul yang pendek, kata-kata unik dan menarik perhatian. Biasanya bisa diperoleh melalui kata-kata di dalam cerita atau boleh diambil dari tempat lain asal ada kesesuaian dengan isi cerita.

Setelah cerita pendek tercipta, segeralah lakukan pendokumentasian atas karya Anda itu. Kirimkan ke media massa yang menyediakan halaman/ruang untuk sastra. Atau cara lainnya bisa Anda bukukan. Kumpulkan cerita pendek karya Anda dan terbitkan buku Anda. Cerita ditulis bukan untuk disimpan. Cerita ditulis untuk diceritakan kepada orang lain.

Jangan menulis cerita kalau Anda tak berniat untuk membagikan cerita Anda itu kepada orang lain!

Lubuk Minturun, 12 Mei 2015

Daftar bacaan:
3.    Makalah-makalah  “Workshop Menulis Cerpen Kompas 2015” Padang Panjang 11 Mei 2015


***
PENULIS Lahir di Pasaman Barat tanggal 06 Mei. Bergiat di komunitas Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia. Menulis diberbagai media massa cetak dan online (Cerpen, Essai dan Puisi). Menerbitkan buku-buku tunggal (kumpulan puisi) serta antologi bersama. Alumni Workshop Cerpen KOMPAS 2015. Saat ini tinggal di Kota Padang.  

Komentar

  1. Bro... kemarin workshop cerpen Kompas dimentorin siapa? Btw, Fanpage FBnya sertakan pula di blogmu ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam, Bro..

      Di Padang Panjang, dimentorin oleh Mas Yanusa Nugroho dan Bang Gus TF. Sakai.

      Oh iya. Terimakasih sarannya. Akan saya sertakan.

      Salam.

      Hapus

Posting Komentar

Selamat datang dan membaca tulisan dalam Blog ini. Silakan tinggalkan komentar sebagai tanda sudah berkunjung, salam dan bahagia selalu.

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.