Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:...

JAHIDIN NASUTION, Parende Onang-Onang di Sumatra Barat



Oleh: Denni Meilizon

Jahidin Nasution
TERIK sekali siang hari itu. Fatamorgana membayang dari permukaan jalan beraspal. Di kiri dan kanan jalan itu berjajar tak teratur rumah-rumah penduduk. Sedang di selang selinginya terkadang kita bersua kolam ikan dan petak-petak sawah. Nyiur melambai dan angin gering bertiup lambat. Kampung yang berada di pinggir sungai Batahan itu tak dinyana merupakan “benteng penjaga” tradisi seni dan budaya suku Mandailing di Sumatra Barat.
Tepat di ujung kampung bernama Jorong Silayang -sebuah wilayah yang berdekatan dengan batas wilayah Propinsi Sumatra Barat bagian utara- sebuah rumah bersahaja tegak berdiri dan nampak bagai terjepit di sela rumah jiran tetangga. Posisi rumah itu tepat di samping sebuah sekolah dasar dan dihuni sepasang suami istri yang sudah mulai beranjak usia. Dari jauh saja, kita sudah mendengar lamat-lamat bunyi gendang tetabuhan dan canang dipukul ritmis. Alunan suling berirama khas membuat bulu roma orang yang paham dapat tegak merinding.

Sebetulnya tidaklah susah benar mencari alamat rumah itu. Nama Jahidin Nasution cukup membuat orang – orang yang kita temui langsung mengarahkan kita kepada alamat tersebut. Kesohoran nama beliau sebagai parende “Onang-onang” (sebuah lagu berformat pantun sebagai pengiring tari Tortor) dan pengajar kesenian dan budaya Mandailing khususnya di Pasaman Barat, sudah tidak dapat dibantah memang. Untuk saat ini, terutama bagi komunitas masyarakat Mandailing di Pasaman Barat, Jahidin bak air penawar dahaga di terik matahari. Apalagi, tidaklah banyak saat ini penerus paronang-onang di Pasaman Barat. Sedangkan umur Jahidin sudah masuk 71 tahun. Untung saja, beliau toh tidak pelit ilmu. Jahidin menyadari bahwa jika suatu saat harus ada yang ia tinggalkan untuk generasi penerus. Kepiawaiannya dalam kesenian Mandailing dan pengetahuannya akan adat budaya Mandailing harus dilestarikan dengan cara diajarkan. Bagi Sumatra Barat, kekayaan seni tradisi di Pasaman Barat tentu adalah asset besar kebudayaan yang patut dilestarikan.
 Jahidin mulai mendalami kesenian sejak umur 10 tahun. Awalnya ia mengikuti kelompok kesenian pesisir di daerah utara. Dari sanalah ia belajar beberapa tarian pesisir dan komposisi musik pengiringnya. Namun lambat laun seiring usia, ia kemudian tertarik untuk mempelajari kesenian Mandailing. Ada rasa ketertarikan yang menurut uraiannya tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata kepada hal itu. Rasa itu begitu kuat bagai mengalir deras dalam darahnya. Sejak itu Jahidin memang memilih fokus kepada kepada kesenian tradisi khas Mandailing dan menyerahkan hidupnya untuk menghidupi jalan pilihannya sampai usia tua.
Di Pasaman (Barat dan Timur) kita bisa menemukan kelompok-kelompok kesenian Mandailing ini. Namun, setelah diusut ternyata sosok Jahidin Nasution tetap saja menjadi tokoh penggerak hampir di setiap kelompok kesenian tersebut. Hal ini tentu bukan berita yang baik. Apalagi mengingat usia beliau yang sudah tidak muda tentu membatasi mobilitas beliau. Apalagi, sebuah kelompok seni tradisi Mandailing yang berdomisili di Kota Padang pun ternyata setia memakai jasa dan tenaganya pula.
Salah satu tarian yang dikenal masyarakat adalah Tortor. Kesenian Tortor ini biasanya ditampilkan pada upacara perkawinan adat dan penyambutan tamu. Menurut Jahidin merujuk kepada upacara perkawinan di Silaping Kecamatan Ranah Batahan Pasaman Barat, Tortor ini hanya dapat dipergunakan oleh keturunan Raja-raja (bermarga Nasution) dan Ninik mamak. Masyarakat umum juga dapat menggunakan Tortor sebagai hiburan pada upacara perkawinannya, tetapi mereka harus memenuhi syarat yaitu dengan cara Maminjam Alaman Na Bolak atau Maminjam Tano (Meminjam pekarangan yang luas atau meminjam tanah) memotong seekor kambing dan memasang bendera napitu (bendera tujuh) warna atau yang disebut bendera tonggol. Kesenian ini terdiri dari 3 (tiga) bagian yaitu: tarian (tari Tortor), musik (gondang dua), dan nyanyian (onang-onang atau ende-ende). Tortor adalah tarian yang diringi oleh permainan alat-alat musik seperti: gondang dua, gong, canang, suling, dan simbal serta dipadukan dengan onang-onang. Bagi masyarakat di Pasaman Barat, Tarian ini disukai oleh orang yang bukan suku Mandailing, sebab tarian ini mempunyai ciri khas yang unik dan mudah dipelajari.
Adapun Onang-onang merupakan nyanyian berpantun yang mengikuti irama khas tertentu berisikan amanat, puji-pujian dan pesan moral. Mungkin saja dulu ia terkait erat sebagai media komunikasi kepada masyarakat dari penguasa di tanah Mandailing (juga Batak umumnya). Selain itu kita juga mengenal Gondang Sambilan sebagai bentuk seni lainnya. Perpindahan massal orang Mandailing dari daerah-daerah Mandailing Natal dan Tapanuli secara bertahap, akibat penyakit, peperangan ataupun meletusnya gunung Sorik Marapi tentu mengikut sertakan seni dan adat budayanya, kemudian melalui proses sosial dan politik berakulturasilah dengan budaya masyarakat pesisir dan Minangkabau, menghasilkan produk seni dan budaya berciri khas baru.
Jahidin Nasution bolehlah kita sebut sebagai tokoh seniman tradisi di Sumatra Barat karena jangkauan wilayah proses berkeseniannya begitu luas, tidak cuma lokal Pasaman saja. Ia juga pernah diundang untuk tampir selama beberapa kali ke Malaysia dan Brunei Darussalam oleh komunitas halak Mandailing yang sudah menjadi warga Negara di sana. Sejatinya ia sering sekali tampil di kota Padang maupun daerah lain di Sumatra Barat, terutama jika ada keluarga keturunan Mandailing menggelar pesta perkawinan atau perhelatan lainnya.
Kegigihannya bertahan dan kekonsistenannya dalam berkarya selayaknya patut kita hargai dan apresiasi. Amat tidak mudah menjadi seorang idealis di bidang seni budaya tradisi di tanah rantau. Dibutuhkan kebijaksanan, pemahaman dan kesabaran untuk dapat berjalan beriringan dengan seni dan adat budaya mapan yang telah terlebih dahulu mengisi keseharian masyarakat.
Kendala Jahidin Nasution dan kelompok seni Mandailing di Pasaman Barat saat ini juga mencakup persediaan peralatan musik pengiring. Banyak peralatan saat ini dibuat dengan tangan sendiri. Kekurangan alat ketika dimainkan dicoba diupayakan dengan improvisasi. Toh, berkesenian itu bukan soal kelengkapan sarana dan prasana belaka. Dibalik keterbatasan namun dapat memberikan hiburan dan kebahagiaan di tengah masyarakat itulah seni yang azali. Jahidin berharap demikian kelak perjuangannya bisa diteruskan dengan lebih layak. Diajarkan di sekolah-sekolah terutama di Pasaman/Pasaman Barat khususnya.
Azan Ashar berkumandang dari Mesjid yang berada tiga rumah dari kediaman seniman tua ini. Mesjid itu agaknya baru saja selesai direnovasi. Jahidin nampak sudah gelisah dan ingin mengakhiri perbincangan. Sebelumnya memang ia mengatakan bahwa syarat untuk menjadi seorang parende Onang-onang salah satunya adalah menjaga ibadah terutama salat lima waktu, disamping tentu saja melaksanakan kewajiban agama serta menaati aturan norma, nilai dan juga undang-undang/peraturan Pemerintah.
Selepas salat Ashar biasanya anak-anak dan remaja akan datang belajar ke rumah ini hingga magrib menjelang. Kepada mereka jualah asa dan harap dititipkan. “Semoga pemerintah mau membantu anak-anak ini dengan peralatan yang lebih memadai agar mereka lebih bergairah dalam mendalami serta belajar kesenian dan adat budaya ini,” ujar Jahidin sambil berjabat tangan dan tersenyum. Senyum yang pucat dan getir namun jabatan tangannya mengalirkan semangat untuk terus bergerak, menantang. Ois Onang baya Onang…[]

  



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihat...

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.