Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

Kontradiksi & Ironi kehidupan Sastrawan Nh. Dini Dan Anak nya Pierre L. Padang Coffin (Sutradara Despicable Me 1 & 2)

Menurut TEMPO.CO, http://www.tempo.co/read/news/2013/07/05/111493810/Sutradara-Film-Despicable-Me-Keturunan-Indonesia Pierre Coffin, sutradara film animasi ternama – Despicable Me 1 & 2, ternyata merupakan keturunan Indonesia. Coffin itu merupakan putra dari penulis sastra Indonesia, Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin.

Nurhayati Srihardini Siti Nukatin, atau yang lebih dikenal dengan nama pena “Nh. Dini“, adalah novelis dan feminis Indonesia. Pierre Coffin yang lahir pada 1 November 1967, merupakan anak dari pasangan Yves Coffin, seorang diplomat asal Perancis dan Nh. Dini. Semasa kecilnya, Pierre selalu mengikuti ayahnya yang berpindah tugas  dari satu negara ke negara lainnya seperti Jepang, Perancis, Amerika Serikat dan lain-lain. Namun Pada 1984, kedua orangtua Pierre memutuskan untuk bercerai.  Saat itu, sang ibu pun memutuskan kembali ke Indonesia, sementara Coffin ikut ayahnya menetap di Prancis.

Karir Pierre di dunia animasi Hollywood dimulai saat ia menjalani pelatihan di Gobelin, Paris dan bekerja untuk Amblimation di London. Ia lalu mendapat kesempatan untuk bekerja dalam film yang diproduseri Steven Spielberg, “We’re Back! A Dinosaur’s Story” di 1993.  Karirnya di dunia film animasi semakin terbuka lebar saat ia mengarahkan “Despicable Me” bersama Chris Renaoud. Setelah sukses dengan Despicable Me yang diliris pada 2010, film produksi Illumination Picture dengan Universal Studio yang disutradarai oleh Pierre Coffin ini juga telah merilis sekuel keduanya pada tanggal 3 Juli 2013. Dibandingkan dengan film sebelumnya, Despicable Me 2 menunjukkan beberapa adegan dan aksi yang lebih menonjol dari para pemainnya.

Namun keberhasilan dan ketenaran semakin membuat jarak dan sangat kontradiktif antara Pierre Coffin dengan Ibu kandung nya – Nh. Dini yang hidup sangat sederhana dan berjuang melawan sakit penyakit yang di derita nya lama, di Sleman, Yogyakarta. Tahun 1996-2000, ia sempat menjual-jual barang. Dulu, sewaktu masih di Prancis, ia sering dititipi tanaman, kucing, hamster, kalau pemiliknya pergi liburan. Ketika mereka pulang, ia mendapat jam tangan dan giwang emas sebagai upah menjaga hewan peliharaan mereka. Barang-barang inilah yang ia jual untuk hidup sampai tahun 2000. Nh Dini kemudian sakit keras, hepatitis-B, selama 14 hari. Biaya pengobatannya dibantu oleh Gubernur Jawa Tengah waktu itu – Mardiyanto. Karena ia sakit, ia juga menjalani USG, yang hasilnya menyatakan ada batu di empedunya. Biaya operasi sebesar Rp. 7.000.000,- serta biaya lain-lain memaksa ia harus membayar biaya total sebesar Rp. 11.000.000,-
Dewan Kesenian Jawa Tengah, mengorganisasi dompet kesehatan Nh Dini. Hatinya semakin tersentuh ketika mengetahui ada guru-guru SD yang ikut menyumbang, baik sebesar Rp. 10.000,- atau Rp. 25.000,-  Setelah ia sembuh, Nh Dini, mengirimi mereka surat satu per satu. Ia sadar bahwa banyak orang yang peduli kepadanya. Sejak 16 Desember 2003, ia kemudian menetap di Sleman, Yogyakarta. Ia yang semula menetap di Semarang, kini tinggal di kompleks Graha Wredha Mulya, Sinduadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta. Kanjeng Ratu Hemas, istri Sultan Hamengku Buwono X yang mendengar kepindahannya, menyarankan Dini membawa serta perpustakaannya. Padahal empat ribu buku dari tujuh ribu buku perpustakaannya, sudah ia hibahkan ke Rotary Club Semarang. Kepeduliannya, mengundang anak-anak di lingkungan untuk menyukai bacaan beragam bertema tanah air, dunia luar, dan fiksi. Ia ingin anak-anak di lingkungannya membaca sebanyak-banyaknya buku-buku dongeng, cerita rakyat, tokoh nasional, geografi atau lingkungan Indonesia, cerita rekaan dan petualangan, cerita tentang tokoh internasional, serta pengetahuan umum. Semua buku ia seleksi dengan hati-hati. Jadi, Pondok Baca Nh Dini yang lahir di Pondok Sekayu, Semarang pada 1986 itu, sekarang diteruskan di aula Graha Wredha Mulya. Ia senantiasa berpesan agar anak-anak muda sekarang banyak membaca dan tidak hanya keluyuran. Ia juga sangat senang kalau ada pemuda yang mau jadi pengarang, tidak hanya jadi dokter atau pedagang. Lebih baik lagi jika menjadi pengarang namun mempunyai pekerjaan lain.

Inilah ironi kehidupan. Sang anak terkenal -  mendunia, namun Sang Ibu hidup terasing, terpinggirkan karena ketidakberdayaan untuk bertahan hidup dengan segala keterbatasan, kesederhanaan dan sakit penyakit yang di deritanya.

Berharap melalui tulisan ini dapat menggugah dan menggerakan kita semua untuk mempertemukan Pierre Coffin dengan Ibu nya, menggalang bantuan untuk membantu biaya pengobatan sang Peraih penghargaan SEA Write Award, penulis karya sastra Pada Sebuah Kapal (1972), La Barka (1975) atau Namaku Hiroko (1977), Orang-orang Tran (1983), Pertemuan Dua Hati (1986), Hati yang Damai (1998), dan untuk terus melestarikan karya-karya sastra Nasional, kekayaan bangsa…
(Informasi, data dan sumber penulisan : dari berbagai sumber)
“Hormatilah ayahmu dan ibumu dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”

http://energygiver.wordpress.com/renungan/kontradiksi-ironi-kehidupan-sastrawan-nh-dini-dan-anak-nya-pierre-l-padang-coffin-sutradara-despicable-me-1-2/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.