Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

MENGEJAR NOMOR ANTRIAN


Poto Ilustrasi (doc pribadi Joni Anwar)

Pagi hari, aku sudah ke sana. Mantap niat untuk melengkapi administrasi kependudukan putraku, Lintang. Aku butuh selembar Akte Kelahiran demi  untuk melengkapi persyaratan urusan-urusanku yang lainnya. seberkas formulir kutulisi. Hari sudah merambat pukul 11.00 siang. Selesai? Belum.  Aku mesti antri dulu untuk kemudian menunggu panggilan buat diproses. Kuminta nomor antrian itu. Ruangan ini panas sekali, padahal kulihat sudah dua unit Air Conditioner melekat di dinding paling atas. Tapi ruangan ini ramai sekali, peluh akhirnya mengalir juga.

"Nomor antriannya nanti saja, pukul tengah dua,” kata petugas di meja dekat pintu.
Lho.. ada apa ini? ada dua unit mesin antrian kulihat teronggok bisu di sudut kanan dan kiri ruangan. Kulirik sebentar, Bahh ! rupanya mati. Gelap kedua layarnya. Jadi, rupanya antrian di sini masih pakai sistim zaman purba ketika kuda makan loyang.
"kami mau istirahat, pukul setengah dua nanti kita buka lagi,” lanjut petugas tadi.

Gumam dan cerepetan kecewa kudengar dari sekelilingku, dan juga dari mulutku tentu saja. Tapi, harap maklum sajalah kawan,  pelayanan di sini toh lebih baik daripada saat aku mengurus dokumen yang sama 4 tahun yang lalu untuk putriku, Alya. Tapi yang manual ini yang membuatku eneg dan mual. Maka kuputuskan saja pukul 13.30 siang nanti aku ke sini lagi, sekarang mendingan lebih baik balik ke kantor untuk  sholat,  makan dan melanjutkan pekerjaan yang terpaksa kutinggalkan tadi. Inilah akibatnya bila mengharap yang  gratisan dan ternyata kawan, gratis itu mengorbankan hal lainnya, harga diri dan waktumu yang berharga,  sebab di kota ini kalau mau urusan tanpa bayar itu berarti engkau mesti berjibaku lahir dan bathin selama sekian hari masa yang dituliskan dalam peraturan urus mengurus hak dan kewajiban masyarakat berderai seperti kita ini.

Pukul 13.30 WIB. Udara menggelagak di luar sana. Debu yang berangin mengirim ancaman berupa gersang yang menghunjam ke dada. Untung saja kulit kita tak bisa bicara. Aku kembali ke kantor tadi. Mengurus urusan dokumen kependudukan putraku, sebagaimana sudah kuceritakan padamu, kawan.  Peluh kuseka dengan punggung telapak tangan.
“Semoga hari ini selesai,” gumamku dalam hati.
Maka, seperti gestur tadi pagi, aku kembali melangkah mantap ke dalam ruangan ber AC dua buah tadi. Panasnya tetap sama, ramainya juga sama. Di dekat pintu tadi, tempat petugas pemegang kartu antrian itu aku menuju. Ada beberapa orang yang sudah menunggu pula, menunggu untuk diberikan kartu antrian. Tapi, mana petugasnya? kami saling tanya.
"Katanya setengah dua kita dapat kartu antrian, ini dia entah ke mana,” kata salah seorang yang berdiri disampingku. Berpakaian loreng hijau. Tegak disampingnya, berdiri seorang perempuan muda sambil menggendong bayi, mungkin istrinya.

Dilayar TV angka antrian bersileweran  tanpa suara. Kalaupun ada terdengar suara orang menyebut nomor antrian, maka itu adalah suara petugas yang di tempatkan di sebelah sudut ruangan ini, spesialisasinya adalah untuk menyebutkan angka yang tertera di layar televisi tadi. Tentunya yang berhak masuk ruangan yang menggelegak macam pasar ini adalah mereka yang sudah memegang kartu antrian. Sementara kami yang belum kebagian masih sibuk mencari tahu kemana raibnya petugas antrian yang tak tahu adat itu. kudekap dokumen persyaratan untuk Akte Kelahiran anakku, erat. Aku butuh nomor antrian.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.