Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

IBU TUA PENJUAL LEMANG DAN PEMBELINYA



Dawai rabab menyayatkan goresan jiwa mengantarkan sebuah kisah
Ketika dirunut pada untaian nada perjalanan seorang ibu tua
Yang tertatih melangkahkan asa menyusuri negeri-negeri asing
Meninggalkan kampung halaman demi melampiaskan kerinduan pada anak hilang
Anak sibiran tulang pengobat risau hati ayah dan bunda
Sedari muda mentah meninggalkan peluk dan belai orangtua
Dibalut luka kesedihan, merana dan papa
Akibat salah mengurai marah sang ayah
Ketika bekal nasi buat ayahanda di ladang dibawa lalai
 

Pada suatu tengah hari terang, si buyung tak terima berang ayahanda
Badan dibawa lari kaki melangkah, hingga beberapa purnama tiada berpesan ataupun jua berpangkal tinggal

Nyanyian rabab penyampai kisah
Tentang Ibu tua penjuang lemang
Yang melangkah dari pagi buta hingga rembang petang tergerai
Menjaja dagangan dari pasar ke pasar, dari pintu ke pintu
Sambil menanyakan keberadaan sibuyung buah hati anak tersayang
Sejak beberapa purnama tak tentu rimbanya
Entah masih hidup ataukah telah berkalang tanah
Ayah sudah ringkih didera sesal alang kepalang
Bunda merana diharu biru kerinduan, pun oleh desakan bathin luka dirahim
tempat si anak sembilan bulan sepuluh hari bernaung
Tak ada lagi puput serunai menghibur hati itu, Ah !
Rabab mengalirkan cerita ini menyanyat-nyayat hati duhai nestapanya

Dawai rabab kembali menukik tinggi menggapai sisa kisah si ibu tua
Ketika suatu hari lemang dibeli seorang pembeli
Untuk dihidangkan kepada suami tercinta
Lidah mengecap rasa yang sama, sama rasa dengan lemang buatan tangan bunda tersayang
Duhai istriku, dimana engkau beli lemang ini kanda terkenang ayah bunda dibuatnya
Tolonglah hamba duhai istriku, bawalah penjual lemang ini kerumah kita esok hari
Mungkin penjual lemang itu tahu dimana ayah bunda kanda kini bermukim

Berlahan gesekan dawai rabab menyudahi kisah ini
Kisah si Ibu tua penjual lemang dan pembelinya
Ketika dihari pertemuan anak beranak itu
Badan ringkih itu menggigil saat kedua kakinya disujudi oleh sang anak
sampai pula perjalanan ibu tua mendapati buah rahimnya
Anak kandung sibiran tulang, kini sudah ditemukan dalam kisah
Kisah yang didendangkan dalam nyanyian penyampai rabab.

**Rabab adalah sebentuk kesenian tradisional anak nagari Minangkabau berisi nyanyian berkisah.

Dimuat pada HARIAN RIAU HARI INI Edisi Rabu 8 Januari 2014 pada Kolom TERAJU

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.