Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

NASI YANG BISA MARAH



gambar ilustrasi dari google.com




"Pedas sekali, Bu! Tak maulah terusin makannya."

"Pedas sikitpun itu, lauknya kan sudah dibasuh tadi
."

"Tak mau lagi, Bu!"

"Ganti nasi baru sajalah!"


Denting piring, aroma gulai, asap dapur dan suara lemari es menjadi latar percakapan Ibu dengan Iqlimiya, anak gadis lima tahun itu. Sambil memasrahkan seluruh bobot tubuhnya di atas ubin dapur, gadis itu masih mengumbar muka jelek karena pikirannya sedang menerka-nerka dan melayang menuju suara kawan-kawannya yang sedang bemain
Senggek** di beranda rumah. Tak ada niatnya untuk menuruti ajakan Ibu untuk makan siang walau pagi tadipun sebetulnya Iqlimiya hanya sarapan dengan kerupuk rasa cokelat yang berenang dalam mangkuk penuh susu cair.

"Mia tak mau, Bu!
," jeritnya lagi sambil mendorong piring berisi nasi yang baru disalin Ibu menggantikan nasi yang katanya pedas tadi.

"Eeiits...! Engkau belum ada makan nasi sebutirpun hari ini, Nak," bujuk perempuan separuh baya itu.

Ditinggalkannya tungku yang kini sedang menjerang air, lalu duduk di hadapan gadis kecil itu.

"Ayo Ibu suapin ya sayang, anak cantik itu mestilah makan nasi, kalau tidak nasinya bisa marah sama Bapak dan Ibu," ujarnya lembut sambil menyuapkan nasi itu ke mulut Iqlimiya.

"Nasinya bisa marah, Bu?"

"Bisalah
."

"Kenapa nasi bisa marah, Bu?"

"
Sebab sudah penat dia menunggu untuk Mia makan. Kalau nasinya marah dia akan berdoa kepada Tuhan."

"Berdoa?", tanya gadis itu sambil membuka mulutnya lebar-lebar menerima suapan Ibu.

"Iya, Nak. Doanya bisa membuat Tuhan marah juga kepada Bapak dan Ibu. Karena Tuhan marah, tak dikasihnya kita rezeki, tak jadi nanti Mia punya sepeda baru. Apa Mia mau?," jawab
Ibu dengan tersenyum sambil tangannya menyuapi gadis kecil itu. Tangannya berlahan-lahan pindah bergantian antara piring kemudian ke mulut Iqlimiya.

"Nah, ini suapan terakhir. Wah, anak Ibu kiranya lapar ya?"
"Mau tambah?"

"Mau, Bu...
! mau. Biar nasinya tak marah ke Bapak dan Ibu," jawab Iqlimiya. Matanya jenaka, dia masih ingin mendengar cerita Ibu tentang nasi yang bisa marah.

Ibu beranjak menuju meja makan, sesendok nasi pindah ke dalam piring. Sambil menunggu Ibu, Iqlimiya memeluk cangkir plastiknya lalu kemudian menghabiskan air yang ada di dalamnya. Suara ribut kawan-kawan yang sedang asyik main
Senggek di beranda depan sudah tak dihiraukannya lagi. Pikiran kecilnya kini dibalut penasaran dengan cerita nasi yang bisa marah. Ibu tahu itu. Dia pun tahu watak anak gadisnya, suka dengan cerita dan rasa penasarannya sangat tinggi akan sesuatu hal yang baru.

"Ayo Bu!, cerita lagi..," rengeknya manja.

"Tapi janji ya makanmu mesti habis",
jawab Ibu sambil menyuapi gadis kecil itu lagi.

Hanya anggukan pendek, sebab mulut Iqlimiya kini penuh dengan nasi suapan Ibunya. Air di atas tungku berbunyi menggelegak pertanda sudah matang. Ibu beranjak memadamkan api, lalu kembali duduk di hadapan anak gadisnya itu.

"Dahulu kala...," katanya memulai cerita dengan setengah berbisik. Tangannya tangkas memasukkan nasi ke dalam mulut Iqlimiya yang secara otomatis terbuka lebar.

"Ketika bulan masih dekat dengan tanah, manusia belum makan nasi. Tak ada yang mengenal bentuk nasi waktu itu. Mereka merebus daun-daunan atau memakan buah-buahan serta ubi mentah untuk makanan sehari-hari
."

Huup! Nasi sesuap masuk ke dalam mulut.

"Beberapa waktu berlalu, tanpa ada yang menyadari, bulan rupanya semakin berjarak dengan tanah. Semakin tinggi, tinggi dan berlahan semakin meninggi
."

Iqlimiya terdiam. Ruang dapur pun terdiam. Ada sunyi tercipta. Seakan-akan ikut mendengarkan cerita dari Ibu.

"Ketika manusia akhirnya sadar kalau bulan sudah bertengger sangat tinggi, mereka ketakutan, cemas dan kemudian berdoa. Semua orang menengadahkan tangan untuk berdoa
."

Sesaat Ibu menghentikan ceritanya untuk menyodorkan cangkir minum ke mulut Iqlimiya.

"Doa mereka adalah agar bulan tidak pergi. Sebab bila bulan pergi, malam
tiada cantik lagi, tak ada hiasan. Jangan sampai bulan seperti bintang, yang hanya titik-titik kecil di langit malam."

"Tiba-tiba ada suara terdengar dari puncak gunung di belakang kerumunan manusia yang sedang khusyuk berdoa
."

"Suara apa, Bu?"

Ibu tidak menjawab. Melainkan tangannya kembali menjejalkan nasi ke mulut Iqlimiya. Suapan terakhir rupanya.

"Nah, engkau minumlah dahulu," ujarnya masih tidak menghiraukan
tanya penasaran anaknya.

Dengan bersigegas Iqlimiya menghabiskan air minum dalam cangkir. Tak sabar dia menanti kelanjutan cerita Ibu.

"Itu suara gunung, Nak"

Ibu lalu berdiri sambil mengangkat kedua tangannya.

"Hei, manusia. Biarlah bulan itu naik menuju singgasananya agar sebuah biji tanaman dari kebun surga bisa turun ke bumi.
Nanti biji itu mesti kalian tanam mulai dari badanku sampai ke tepian sungai," ujar suara itu bertalu-talu.

"Makanlah hasil panen tumbuhan surga itu. Jadikanlah pengobat lapar perut kalian, sebab ia adalah tumbuhan yang disemaikan di kebun-kebun surga!"

"Jangan sesekali kalian
bikin ia menangis dan marah. Sebab ia akan bisa berdoa kepada Tuhan untuk menghilangkan rezeki Bapak dan Ibu kalian, namun ia juga akan berdoa untuk kebaikan kalian, bila ia kalian makan dengan senang hati dan penuh rasa syukur!"

"Bu, kenapa Tuhan mendengar doanya?," tanya Iqlimiya.

gambar ilustrasi dari Google.com
"Sebab ia disemaikan oleh Tuhan sendiri, anakku", jawab Ibu sambil duduk mengemasi piring bekas makan di hadapan anaknya, lalu meletakkannya ke dalam baskom besar berisi perkakas dapur yang juga sudah kotor.

"Nak, tumbuhan itu adalah padi. kalau sudah kita masak, ia akan menjadi nasi seperti yang selalu kita makan," jelas Ibu.

Hening. Iqlimiya diam. Sementara Ibu kini menyalin air yang dijerang di atas tungku ke dalam termos.

"Bu, Mia tak mau makan nasi lagi, sebab nasi itu jahat, Bu!," kata anak gadis itu sambil menangis.

"Lho, kok nasinya jahat, Nak," tanya ibu tak percaya dengan kalimat Iqlimiya yang diluar perkiraan itu.

"Iya, lah Bu. Nasinya jahat. Suka marah kepada Bapak dan ibu
."

"Mia benci pada nasi itu...!"

Setelah berkata demikian, Iqlimiya berdiri, lalu beranjak meninggalkan remah-remah nasi yang luluh dari pakaiannya.Tinggallah Ibu dalam diam dan termangu dengan seribu tanya di benaknya. Menyadari watak anak gadisnya itu, Ibu kemudian geleng-geleng kepala.

Ruang dapur pun terdiam,
Ada sunyi tercipta. Seakan benar-benar takut jikalau remah-remah nasi di atas ubin betul-betul marah.

Padang, Januari 2014
DENNI MEILIZON



**Senggek (Permainan anak di Pasaman Barat) : sebuah permainan dengan mempergunakan batu-batu kecil beberapa buah dan satu batu yang besar sedikit dari batu yang lainnya. Batu besar itu dianggap sebagi induk dan batu yang kecil dianggap anak-anaknya. Dimainkan secara berkelompok, biasanya oleh anak perempuan.



BIODATA PENULIS

 DENNI MEILIZON, pegiat FAM Indonesia dan penyair. Lahir di Silaping Pasaman Barat 6 Mei 1983. Aktif menulis puisi dan prosa. Kumpulan puisinya sudah diterbitkan dalam bentuk buku puisi berjudul “Kidung Pengelana Hujan” (2012), “Siluet Tarian Indang” (2013) dan “Rembang Dendang”(2013). Karya-karyanya juga di muat pada media massa cetak dan online serta terkumpul dalam beberapa buku antologi puisi seperti; “Simponi Secangkir Cinta”, “Puisi Menolak Korupsi”, “Bukittinggi Ambo di Siko”, “Tersembunyi”, Airmata Syuhada”, dll. Berdomisi di Lubuk Minturun, Kota Padang.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.