Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

KACAMATA BARU



Gambar Ilustrasi dari Google.com


"Wah, dah pakai kacamata pula kau, Den?,” kata seorang Uni-uni menghentikan langkahku.

"Eh, iya Ni...,” jawabku ringkas.

"Sejak kapan? kenapa? apa matamu sudah sakit?.”
"he-he-he...”
"Lho, kok malah cengengesan?”


"Ya, begitulah, Ni. Kalau aku beritahu, aku yakin Uni juga akhirnya akan tertawa," jawabku.

"Jadi, memang mesti berkacamata ya," kejarnya lagi. Wah ngotot juga si Uni ini pikirku.

"Semua ini gara-gara spanduk dan poster," jawabku. Airmukanya mengernyit. Malah makin membuat dia penasaran.

" Spanduk? Poster? apa hubungannya, Den?," sergahnya.

"Ya, aku memutuskan untuk berkacamata karena terganggu dengan begitu banyaknya akhir-akhir ini poster dan spanduk bertebaran di se antero kota Padang. Di mana-mana ada spanduk. Di mana-mana tertempel poster. Jalan-jalan kota Padang penuh dengan spanduk beragam-ragam. Agar tak sesat aku membaca pesan di spanduk dan poster itu, maka kuputuskan untuk memakai kacamata saja," terangku dengan serius.

"Ha-ha-ha-ha...” (nah betulkan, sekarang dia malah yang tertawa)
"Kan betul kataku, Uni malah tertawa.”

"Iya, nih, aneh aja rasanya. Ah, kau pun betul-betul alasan yang aneh, jujur ‘ga kepikiran ada hubungan berkacamata dengan spanduk.. hi-hi-hi-hi-hi," katanya sambil tertawa geli.

" Ni, Spanduk dan poster itu modalnya ‘ga kecil lho. Tujuan dipajang itu kan untuk kita baca, kasihan yang memodali kalau tak ada yang baca. Apalagi pose poto yang dipajang juga sudah sedemikian gagah-gagah dan cantik-cantik... hehehehe," lanjutku.

"Uni yakin, mereka tak pernah kepikiran bahwa gara-gara spanduk dan poster mereka, ada pula orang yang terpaksa memakai kacamata kayak kau ini," ujarnya masih memasang senyuman. Rupanya masih geli ia.
"Wah, ga tahu juga ya.. Mmhh, mungkin memang nggak. Malah saya ragu juga apa mereka tahu apa yang sedang mereka bicarakan di spanduk dan posternya itu, jangankan memikirkan kacamata," jawabku lagi.

"Nah, dengan memakai kacamata ini, akhirnya saya mengerti kenapa spanduk-spanduk dan poster itu mesti di pajang ramai-ramai. Menurut saya, semakin ramai spanduk dan posternya itu tandanya dia ini belum ada konstribusi apapun dalam kehidupan bermasyarakat yang nantinya akan menjadi objek sebagai pemilih. Coba kalau sudah dikenal dan dekat di hati masyarakat, tak perlu spanduk-spanduk itu. Lha, dia kan sudah nyata bekerja melayani kepentingan rakyat kok, bukan cuma berpose di spanduk dan poster-poster sambil menangkupkan kedua tangan di dada atau mengepalkan tinju setinggi-tingginya," jelasku.

"Pembicaraan tentang kacamata ini membuatku berpikir kembali untuk tidak memakai kacamata," lanjutku.

"Maksudnya?,” tanya Uni itu. Bingung dia dengan kalimat saya yang terakhir.

"Ya, sebenarnya untuk menakar orang-orang yang menawarkan diri melalui spanduk dan poster itu tidaklah membutuhkan kacamata seperti anggapan saya tadi. Sudah terang benderang kok, tanpa kacamata sekalipun, bahwa yang banyak omong di spanduk dan poster maka mereka adalah orang-orang baru yang tergiur untuk meraih kekuasaan dan materi. Lihatlah betapa getolnya mereka jual diri. Tiap pergantian tanggal selalu ada ucapan selamat ini itu. Akhirnya spanduk yang lama beum diturunkan, datang lagi spanduk yang baru, dengan tema yang baru menyesuaikan dengan situasi cahaya matahari hari itu. Saking semangatnya dia jual diri, mungkin saja spanduk-spanduk yang dipajangnya seantero kota ada yang robek-robek mengganggu aktivitas masyarakat tanpa diketahuinya. Belum apa-apa sudah disumpahi masyarakat, Bahh !! terangku panjang lebar.

"Jadi, kacamatamu mau kau copot saja, Den. begitu maksudnya?”

"Iya, Ni. Saya copot saja, biar ku gantung dan letakkan saja di atas dada," jawabku.

"Nah, makin pusing saya, kamu ini ada-ada saja... apa pula maksudnya?, tanyanya lagi.

" Ya, untuk saat ini, lebih baik isi dada kita yang di kacai. Biarkan hati dan nurani kita yang berkaca. Sebab disitulah letaknya kejujuran itu. Apakah perlu kita memilih orang-orang yang mendatangi pemilihnya dengan spanduk-spanduk dan poster-poster? Lalu, ke mana dia selama ini ketika masyarakat dihimpit beban berupa-rupa permasalahan kehidupan? Apakah dan di mana dia melakukan orasi dan berjuang di garis terdepan untuk membela kepentingan rakyat? Mana itu tulisan-tulisannya yang menunjukkan bahwa dia itu intelek dan menguasai permasalah masyarakat secara ilmiah juga teori? Ahh.. Spanduk dan poster itu tak lebih hanyalah bukti bahwa dia sendiri enggan menjadi masyarakat, nyaman menjadi spanduk, poster atau baliho, jadi itulah kenapa isi dada kita sekarang yang musti diberikan kaca," terangku lagi.
"Wah, makin berat cara berpikirnya, Den. Pusing Uni jadinya," ujarnya sambil mengibaskan tangan dan beranjak pergi.

"Nah, itu makanya saya awalnya tadi ketawa mendengar keingintahuan Uni perihal kacamata ini, hal ringan begini kok di bilang berat.. santai aja kaliii... wakakakawkkakakaakkaa..," pungkasku sambil tertawa.
Uni itu cuma memberiku senyuman, segaris tipis agak miring dibibirnya, mirip orang meringis. Aku tahu dia mungkin agak tersinggung dengan penjelasanku yang terakhir itu, sebab suaminya adalah calon anggota legislatif dari sebuah partai yang getol akhir-akhir ini beriklan di media apa saja, namun apa peduliku? kalau dia tersinggung berarti apa yang kukatakan memang betul kalau begitu.

Ah.. kacamata...kacamata ! Oh iya, apa merek kacamata anda?
Padang, Juni 2013 (revisi 29 November 2013)
DENNI MEILIZON

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.