BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya. “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”. Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR ketika ditanya: ”Itu niat
Ilustrasi dari Google.com |
1. Pengertian Sejarah
Menurut Kuntowijoyo (dalam Yudiono,
2010:21), mengatakan bahwa sejarah masih merupakan barang mewah yang sedikit
peminatnya. Sedangkan moedjanto mengatakan bahwa di dunia ini masih ada
ilmuwan social dan humaniora, bahkan ilmuwan eksakta, yang mempunyai keyakinan
bahwa dunia tidak hanya memerlukan insinyur, 8industriawan dan banker.
Mereka berkeyakinan bahwa tertib dunia masa sekarang dan masa depan manusia
memerlukan
berbagai disiplin ilmu, termasuk sejarah. Disiplin sejarah, bersama dengan berbagai disiplin humaniora yang lain, serta disiplin-disiplin social, diperlukan demi pemanusiaan (hominisasi) dan pembudayaan (humanisasi) umat manusia. Dalam Mengerti Sejarah (Gottschalk, 1975) dijelaskan secara panjang lebar pengertian sejarah (history) yang berasal dari kata benda Yunani istoria yang berarti ‘ilmu’. Oleh filsuf Aristoteles, kata tersebut diartikan sebagai suatu pertelaan sistematis mengenai seperangkat gejala alam, entah susunan kronologi merupakan faktor atau tidak di dalam pertelaan. Pengetahuan itu masih tetap hidup dalam bahasa inggris dengan sebutan natural history. Namun, dalam perkembangan kemudian, kata latin scientia lebih sering dipergunakan untuk menyebut pertelaan sistematik nonkronologis mengenai gejala alam, sedangkan istoria biasanya dipergunakan untuk pertelaan mengenai gejala-gejala (terutama hal-ihwal manusioa) dalam urutan kronologis.
berbagai disiplin ilmu, termasuk sejarah. Disiplin sejarah, bersama dengan berbagai disiplin humaniora yang lain, serta disiplin-disiplin social, diperlukan demi pemanusiaan (hominisasi) dan pembudayaan (humanisasi) umat manusia. Dalam Mengerti Sejarah (Gottschalk, 1975) dijelaskan secara panjang lebar pengertian sejarah (history) yang berasal dari kata benda Yunani istoria yang berarti ‘ilmu’. Oleh filsuf Aristoteles, kata tersebut diartikan sebagai suatu pertelaan sistematis mengenai seperangkat gejala alam, entah susunan kronologi merupakan faktor atau tidak di dalam pertelaan. Pengetahuan itu masih tetap hidup dalam bahasa inggris dengan sebutan natural history. Namun, dalam perkembangan kemudian, kata latin scientia lebih sering dipergunakan untuk menyebut pertelaan sistematik nonkronologis mengenai gejala alam, sedangkan istoria biasanya dipergunakan untuk pertelaan mengenai gejala-gejala (terutama hal-ihwal manusioa) dalam urutan kronologis.
Kini history berarti masa
lampau umat manusia. Dalam bahasa jerman terdapat geschichte, dari kat
geschehen (=terjadi) yang seloanjutnya sering dipakai untuk pengertian
pelajaran sejarah. Dalam pengertian itu, tergambar ketidakmungkinan masa
lampau 7umat manusia untuk direkonstruksi. Sebab, pengalaman manusia di
masa lampau sangat banyak untuk diingat kembali, direkam, dicatat, apalagi
direkonstruksi. Dengan kata lain, masa lampau manusia untuk sebagian
besar tidak dapat ditampilkan kembali. Dalam kehidupan semua orang,
pastilah ada peristiwa, orang, kata-kata, pikiran-pikiran, tempat-tempat, dan
bayangan-bayangan yang ketika terjadi sama sekali tidak menimbulkan kesan atau
yang kini telah dilupakan.
2. Sejarah Sastra
Secara sederhana dapat dikatakan
bahwa sejarah sastra merupakan cabang ilmu sastra yang mempelajari pertumbuhan
dan perkembangan sastra suatu bangsa. Misalnya, sejarah sastra Indonesia,
sejarah sastra Jawa, dan sejarah sastra Inggris. Dengan pengertian dasar itu,
tampak bahwa objek sejarah sastra adalah segala peristiwa yang terjadi pada
rentang masa pertumbuhan dan perkembangan suatu bangsa. Telah disinggung di
depan bahwa sejarah sastra itu bisa menyangkut karya sastra, pengarang,
penerbit, pengajaran, kritik, dan lain-lain.
Dalam Pengantar Ilmu Sastara (Luxemburg,
1982: 200-212) dijelaskan bahwa dalam sejarah sastra dibahas periode-periode
kesusastraan, aliran-aliran, jenis-jenis, pengarang-pengarang, dan juga reaksi
pembaca. Semua itu dapat dihubungkan dengan perkembangan di luar bidang
sastra seperti, sosial dan filsafat. Jadi, sejarah sastra meliputi penulisan
perkembangan sastra dalam arussejarah dan di dalam konteksnya. Perhatian para
ahli sastra di Eropa terhadap sejarah sastra muncul pada abad ke-19, berawal
dari perhatian ilmuwan pada zaman Romantuik yang menghubungkan segala sesuatu
dengan masa lampau suatu bangsa. Adapun dasarnya adalah filsafat
positivisme yang bertolak pada prinsip kausalitas, yaitu segala sesuatu
dapat diterangkan bila sebabnya dapat dilacak kembali. Dalam hal sastra,
sebuah karya sastra dapat diterangkan atau ditelaah secara tuntas apabila
diketahui asal-usulnya yang bersumber pada riwayat hidup pengarang dan zaman
yang melingkunginya.
Tokoh yang berpengaruh besar
terhadap pandangan tersebut adalah Hypolite Taine (1828-181893). Pandangannya
menegaskan bahwa seorang pengarang dipengaruhi oleh ras, lingkungan, dan momen
atau saat. Ras ialah apa yang diwarisi manusia dalam jiwa dan raganya,
lingkungan meliputi keadaan alam dan sosial, sedangkan momen ialah situasi
sosio-pulitik pada zaman tertentu. Apabila ketiga fakta itu diketahui dengan
baik maka dimungkinkan simpulan mengenai iklim suatu kebudayaan yang melahirkan
seorang pengarang beserta karyanya.
Ahli sejarah sastra Jerman, Wilhelm
Scherer (1841-1886) mempergunakan tiga faktor penentu, yaitu das Ererbte (warisan),
das Erlebte (pengalaman), dan das Erlernte (hasil proses
belajar). Penerapannya menuntut kerja sama yang erat antara ahli fisiologi,
psikologi, linguistic, dan sejarah kebudayaan. Dia menegaskan bahwa seorang penulis
sejarah sastra harus mampu menyelami seluruh kehidupan manusia, baik jasmani
maupun rohani, dalam kebertautan yang kausal.
3. Sejarah Sastara Indonesia
Perhatian masyarakat sastra
Indonesia terhadap masalah sejarah kebudayaan, termasuk sastra, telah tampak
sejak awal pertumbuhan sastra Indonesia di tahun 1930-an sebagaimana terbaca
dalam Polemik Kebuadayaan suntingan Achdiat K.Mihardja (1977). Polemic
yang berkembang antara tokoh-tokoh S.Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane,
Poerbatjaraka, M.Amir, Ki Hadjar Dewantara, Adinegoro dan lain-lain memang
tidak secara khusus memperdebatkan konsep kesusastraan Indonesia, tetapi telah
memperlihatkan kesadaran mereka terhadap sejarah kebudayaan Indonesia.
Takdir Alisjahbana berpendapat bahwa
sebutan Indonesia telah dipergunakan secara luas dan kabur sehingga tidak
secara tegas menunjuka pada semangat keindonesiaan yang baru sebagai awal
pembangunan kebudayaan Indonesia Raya. Menurut Takdir, semangat
keindonesiaan yang baru seharusnya berkiblat ke Barat dengan menyerap semangat
atau jiwa intelektulnya agar wajahnya berbeda dengan masyarakat kebudayaan
pra-Indonesia. Namun, pendapat yang teoretis itu sudah ada sejak sekian abad
yang silam dalam adat dan seni. Yang belum terbentuk adalah natie atau
bangsa Indonesia, tetapi perasaan kebangsaan itu sebenarnya sudah ada.
Menurut Sanusi Pane, kebudayaan
Barat yang mengutamakan intelektualitas untuk kehidupan jasmani tidak dengan
sendirinya istimewa karena terbentuk oleh tantangan alam yang keras
sehingga orang harus berpikir dan bekerja keras. Sementara itu, kebudayaan
Timur pun memiliki keunggulan, yaitu mengutamakan kehidupan rohani, karena
kehidupan jasmani telah dimanjakan oleh alam yang serba memberikan kemudahan.
Oleh karena itu, kebudayaan Indonesia baru dapat dibentuk dengan mempertemukan
semangat intelektualitas Barat dengan semangat Kerohanian Timur.
Poerbatjaraka berpendapat bahwa
sambungan kesejarahan itu sudah ada dan tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu,
diperlukan penyelidikan tentang jalannya sejarah sehingga orang dapat menengok
ke belakang sebagai landasan melihat keadaan zaman yang bersangkutan dan
selanjutnya mengatur hari-hari yang akan datang.
Hingga sekarang sejarah sastara
Indonesia telah berlangsung relative panjagn dengan perkembangan yang terbilang
pesat dan dinamik sehingga dapat ditulis secara panjang lebar. Hal itu dapat
dipandang sebagai tantangan besar ahli sastra Indonesia.akan tetapi, pada
kenyataannya buku-buku sejarah sastra Indonesia masihrelatif sangat sedikit
dibandingkan dengan buku-buku kritik, esai, dan apresiasi sastra.
Sejumlah buku sejarah sastra Indonesia tercata secara kronologis sebagai
berikut:
1. Pokok
dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru oleh A.Teeuw (1952),
2. Sejarah
sastra Indonesia oleh Bakri Siregar (1964),
3. Kesusastraan
Baru Indoneisa oleh Zuber Usman (1964),
4. Ikhtisar
Sejarah Sastra Indonesia oleh Ajip Rosidi (1969),
5. Modern
Indonesia Literature I-II oleh A.Teeuw (1979),
6. Sastra
Baru Indonesia oleh A.Teeuw (1980),
7. Sari
Kesusastaraan Indonesia oleh J.S. Badudu (1981),
8. Ikhtisar
Kesusastraan Indonesia Modern oleh Pamusuk Eneste (1988),
9. Lintasan
Sejarah Sastra Indonesia 1 oleh Jakob Sumardjo (1992), dan
10. Sejarah Sastar
Indonesia Modern oleh Sarwadi (2004).
Di balik semua itu, barangkali sudah
ditulis telaah sejarah sastra Indonesia dalam skripsi, tesis dan disertasi.
Akan tetapi, datanya masih sulit diandalkan sebagai rujukan untuk kepentingan
pelajaran ini apabila belum terbit sebagai buku umum. Yang jelas, berbagai
hasil penelitian itu merupakan bahan yang penting untuk penyusunan sejarah
sastra Indonesia secara menyeluruh. Adapun sejumlah buku yang telah
memperlihatkan persoalan-persoalan tertentu dalam sejarah sastra Indonesia
antara lain sebagai berikut:
1. Bentuk
Lakon dalam Sastra Indonesia oleh Boen S.Oemarjati (1971),
2. Cerita
Pendek Indonesia Mutakhir Sebuah Pembicaraan oleh Korrie Layun Rampan
(1973),
3. Kapankah
Kesusastraan Indonesia Lahir? Oleh Ajip Rosidi (1985),
4. Masalah
Angkatan dan Periodisasi Sejarah Sastra Indonesia oleh Ajip Rosidi (1973),
5. Pengadilan
Puisi oleh Pamusik Eneste (1986),
6. Perkembangan
Novel-Novel Indonesia oleh Umar junus (1974),
7. Perkembangan
Puisi Indonesia dan Melayu Modern oleh Umar Junus (1984),
8. Perkembangan
Teater Modern dan Sastara Drama Indonesia oleh Jakob Sumardjo (1997),
9. Prahara
Budaya oleh D.S.Moeljanto dan Taufiq Ismail (1995),
10. Puisi Indonesia Kini
Sebuah Perkenalan oleh Korrie layun Rampan (1980),
11. Sejarah Pertumbuhan
Sastra Indonesia di Jawa Baratm oleh Diana N.Muis,dkk. (200),
12. Sejarah dan
Perkembangan Sastra Indonesia di Maluku oleh T.Tomasoa dkk. (2000),
13. Sejarah Pertumbuhan
Sastra Indonesia di Sumatra Utara oleh Aiyub dkk. (2000), dan
14. Wajah Sastra Indonesia
di Surabaya 1856-1994 oleh Suripan Sadi Hutomo (1995).
4. Periodisasi
Sejarah Sastra Indonesia
Masalah periodisasi sejarah sastra
Indonesia secara eksplisit telah diperlihatkan oleh Ajip Rosidi dalam Ikhtisar
Sejarah Sastra Indonesia (1969), Jakob Sumardjo dalam Lintasan
Sejarah Sastra Indonesia 1 (1992), dan Rahmat Joko Pradopo dalam Beberapa
Teori Sastra, Metode Kritik, dan penerapannya (1995).
Secara garis besar Ajib Rosidi
(1969: 13) membagi sejarah sastra Indonesia sebagai berikut:
I. Masa
Kelahiran atau Masa Kebangkitan yang mencakup kurun waktu 1900-1945 yang dapat
dibagi lagi menjadi beberapa period, yaitu
1. Period
awal hingga 1933
2. Period
1933-1942
3. Period
1942-1945
II. Masa
Perkembangan (1945-1968) yang dapat dibagi-bagi menjadi beberapa period,
yaitu
1. Period
1945-1953
2. Period
1953-1961
3. Period
1061-1968
Menurut Ajip, warna yang menonjol
pada periode awal (1900-1933) adalah persoalan adat yang sedang menghadapai
akulturasi sehingga menimbulkan berbagai problem bagi kelangsungan eksistensi
masing-masing, sedangkan periode 1933-1942 diwarnai pencarian tempat di tengah
pertarungan kebudayaan Timur dan Barat dengan pandangan romantic-idealis.
Perubahan terjadi pada periode
1942-1945 atau masa pendudukan Jepang yang melahirkan warna pelarian,
kegelisahan, dan peralihan, sedangkan warna perjuangan dan pernyataan diri di
tengah kebudayaan dunia tampak pada periode 1945-1953 dan selanjutnya warna
pencarian identitas diri dan sekaligus penilaian kembali terhadap warisan
leluhur tampak menonjol pada periode 1953-1961. Pada periode 1961-1968 tampak
menonjol warna perlawanan dan perjuangan mempertahankan martabat, sedangkan
sesudahnya tampak warna percobaan dan penggalian berbagai kemungkinan
pengucapan sastra.
Pada kenyataanya telah tercatat lima
angkatan yang muncul dengan rentang waktu 10 – 15 tahun sehingga dapat disusun
perodisasi sejarah sastra Indonesia modern sebagai berikut:
1. Sastra
Awal (1900 – an ),
2. Sastra
Balai Pustaka (1920 – 1942)
3. Sastra
Pujangga Baru (1930 – 1942)
4. Sastra
Angkatan 45 (1942 – 1955)
5. Sastra
Generasi Kisah (1955 – 1965)
6. Sastra
Generasi Horison (1966)
Dikatakan oleh Jakob bahwa penamaan
itu didasarkan pada nama badan penerbitan yang menyiarkan karya para sastrawan,
seperti Penerbit Balai Pustaka, majalah Pujangga Baru, majalah Kisah,
dan majalah Horison, kecuali angkatan 45 yang menggunakan tahun revolusi
Indonesia. Ada juga penamaan angkatan 66 yang dicetuskan H.B.Jassin dengan
merujuk gerakan politik yang penting di Indonesia pada sekitar tahun 1966.
Penulisan sejarah sastra Indonesia
dapat dilakukan dengan dua cara atau metode, yaitu (1) menerapkan teori
estetika resepsi atau estetika tanggapan, dan (2) menerapkan teori penyusunan
rangkaian perkembangan sastra dari periode atau angkatan ke angkatan. Di
samping itu, sejarah sastra Indonesia dapat juga dilakukan secara sinkronis dan
diakronis. Yang sinkronis berarti penulisan sejarah sastra dalam salah satu
tingkat perkembangan atau periodenya, sedangkan yang diakronis berarti
penulisan sejarah dalam berbagai tingkat perkembangan, dari kelahiran hingga
perkembangannya yang terakhir. Kemungkinan lain adalah penulisan sejarah sastra
dari sudut perkembangan jenis-jenis sastra, baik prosa maupun puisi.
Setelah meninjau periodisasi sejarah
sastra Indonesia dari H.B.Jassin, Boejoeng Saleh, Nugroho Notosusanto, Bakri
Siregar, dan Ajip Rosidi, maka tawaran Rachmat Djoko Pradopo mengenai
periodisasi sejarah sastra Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Periode
Balai
Pustaka
: 1920-1940
2. Periode
Pujangga
Baru :
1930-1945
3. Periode
Angkatan
45
: 1940-1955
4. Periode
Angkatan
50
: 1950-1970
5. Periode
Angkatan
70
: 1965-1984
Dari pendapat para pakar di atas,
maka dapat disimpulkan periodisasi sastra sebagai berikut:
1. Angkatan
balai pustaka,
2. Angkatan
pujangga baru,
3. Angkatan
’45,
4. Angkatan
50-an.
5. Angkatan
60-an,
6. Angkatan
kontemporer (70-an--sekarang).
A. Angkatan Balai Pustaka
Nama penerbit balai pustaka sudah
tidak asing lagi bagi masyarakat terpelajar Indonesia karena sekarang balai
pustaka merupakan salah satu penerbit besar yang banyak memproduksi berbagai
jenis buku. Nama tersebut telah bertahan selama lebih dari 90 tahun,
kalau dihitung dari berdirinya pada tahun 1917 yang merupakan pengukuhan Komisi
untuk Sekolah Bumiputra dan Bacaan Rakyat (commissie voor de inlandsche
school en volkslectuur) yang didirikan oleh pemerintah colonial belanda
pada 14 september 1908. Jelas bahwa badan penerbit itu merupakan organ
pemerintah colonial yang semangatnya boleh dikatakan berseberangan dengan
penerbit-penerbit swasta, baik yang semata-mata bervisi komersial maupun
bervisi kebangsaan. Akan tetapi, mengingat sejarahnya yang panjang itu
maka sepantasnya menjadi bagian khusus dalam pengkajian aatau telaah sejarah
sastra Indonesia.
Secara teoretis dapat dikatakan
banyak masalah yang dapa diungkapkan ari balai pustaka selama ini, antara lain
visi dan misi, status, program kerja, para tokoh, kebijakan redaksi,
pengarang, distribusi, dan produksi. Telaah semacam itu dapat
dijadikan pengkajian sejarah mikro yang pasti relevan dengan sejarah makro
sastra Indonesia. Ditambah dengan pengkajian berbagai gejala yang
berkembang di sekitarnya pastilah memperluas wawasan pengetahuan
masyarakat. Mungkin saja kemudian berkembang pendapat bahwa balai pustaka
ternyata bukan satu-satunya penerbit pada tahun 1920-an membuka tradisi sastra
modern, atau justru dilupakan saja karena berjejak colonial.
Ciri-ciri umum roman angkatan balai
pustaka:
1. Bersifat
kedaerahan, karena mengungkapkan persoalan yang hanya berlaku di daerah
tertentu, khususnya Sumatra barat.
2. Bersufat
romantic-sentimental, karena ternyata banyak roman yang mematikan
tokoh-tokohnya atau mengalami penderitaan yang luar biasa.
3. Bergata
bahasa seragam, karena dikemas oleh redaksi balai pustaka, sehingga gaya
bahsanya tidak berkembang.
4. Bertema
sosial, karena belum terbuka kesempatan mempersoalkan masalah polotik, watak,
agama, dan lain-lain.
Sejumlah tokoh dan karyanya dalam
angkatan balai pustaka, yaitu:
1. Abdul
Muis
Abdul muis (lahir di solok, Sumatra
barat, tahun 1886, meninggal di bandung 17 juli 1959), Pendidikan terakhirnya
adalah di Stovia (sekolah kedokteran, sekarang Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia), Jakarta akan tetapi tidak tamat. Ia juga pernah menjadi anggota
Volksraad yang didirikan pada tahun 1916 oleh pemerintah penjajahan Belanda. Ia
dimakamkan di TMP Cikutra – Bandung dan dikukuhkan sebagai pahlawan nasional
oleh Presiden RI, Soekarno, pada 30 Agustus 1959 (Surat Keputusan Presiden
Republik Indonesia No. 218 Tahun 1959, tanggal 30 Agustus 1959).
Karir yang pernah dia jalani :Dia pernah bekerja
sebagai klerk di Departemen Buderwijs en Eredienst dan menjadi wartawan di
Bandung pada surat kabar Belanda, Preanger Bode, harian Kaum Muda dan majalah
Neraca pimpinan Haji Agus Salim. Selain itu ia juga pernah aktif dalam Syarikat
Islam dan pernah menjadi anggota Dewan Rakyat yang pertama (1920-1923). Setelah
kemerdekaan, ia turut membantu mendirikan Persatuan Perjuangan Priangan.
Riwayat Perjuangan melawan penjajah antara lain :
a. Mengecam tulisan orang-orang
Belanda yang sangat menghina bangsa Indonesia melalui tulisannya di harian
berbahasa Belanda, De Express
b. Pada tahun 1913, menentang
rencana pemerintah Belanda dalam mengadakan perayaan peringatan seratus tahun
kemerdekaan Belanda dari Perancis melalui Komite Bumiputera bersama dengan Ki
Hadjar Dewantara
c. Pada tahun 1922, memimpin
pemogokan kaum buruh di daerah Yogyakarta sehingga ia diasingkan ke Garut, Jawa
Barat
d. Mempengaruhi tokoh-tokoh Belanda dalam
pendirian Technische Hooge School – Institute Teknologi Bandung (ITB)
Karya-karyanya
yang terkenal :
a. Salah Asuhan (novel, 1928,
difilmkan Asrul Sani, 1972)
b. Pertemuan Jodoh (novel, 1933)
c. Surapati (novel, 1950)
d. Robert Anak Surapati(novel, 1953)
Novel asing
yang pernah diterjemahkan oleh Abdul Muis antara lain :
a. Don Kisot
(karya Cerpantes, 1923)
b. Tom Sawyer Anak
Amerika (karya Mark Twain, 1928)
c. Sebatang Kara
(karya Hector Melot, 1932)
d. Tanah Airku (karya C.
Swaan Koopman, 1950)
2. Marah
rusli
Marah Rusli, sang sastrawan itu, bernama lengkap Marah
Rusli bin Abu Bakar. Ia dilahirkan di Padang pada tanggal 7 Agustus 1889.
Ayahnya, Sultan Abu Bakar, adalah seorang bangsawan dengan gelar Sultan
Pangeran. Ayahnya bekerja sebagai demang. Marah Rusli mengawini gadis Sunda
kelahiran Bogor pada tahun 1911. Mereka dikaruniai tiga orang anak, dua orang
laki-laki dan seorang perempuan. Perkawinan Marah Rusli dengan gadis Sunda
bukanlah perkawinan yang diinginkan oleh orang tua Marah Rusli, tetapi Marah
Rusli kokoh pada sikapnya, dan ia tetap mempertahankan perkawinannya.
Meski lebih terkenal sebagai sastrawan, Marah Rusli
sebenarnya adalah dokter hewan. Berbeda dengan Taufiq Ismail dan Asrul Sani
yang memang benar-benar meninggalkan profesinya sebagai dokter hewan karena
memilih menjadi penyair, Marah Rusli tetap menekuni profesinya sebagai dokter
hewan hingga pensiun pada tahun 1952 dengan jabatan terakhir Dokter Hewan
Kepala. Kesukaan Marah Rusli terhadap kesusastraan sudah tumbuh sejak ia masih
kecil. Ia sangat senang mendengarkan cerita-cerita dari tukang kaba, tukang
dongeng di Sumatera Barat yang berkeliling kampung menjual ceritanya, dan
membaca buku-buku sastra. Marah Rusli meninggal pada tanggal 17 Januari 1968 di
Bandung dan dimakamkan di Bogor, Jawa Barat. Dalam sejarah sastra
Indonesia, Marah Rusli tercatat sebagai pengarang roman yang pertama dan diberi
gelar oleh H.B. Jassin sebagai Bapak Roman Modern Indonesia. Sebelum muncul
bentuk roman di Indonesia, bentuk prosa yang biasanya digunakan adalah
hikayat. Marah Rusli berpendidikan tinggi dan buku-buku bacaannya banyak
yang berasal dari Barat yang menggambarkan kemajuan zaman. Ia kemudian melihat
bahwa adat yang melingkupinya tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Hal
itu melahirkan pemberontakan dalam hatinya yang dituangkannya ke dalam
karyanya, Siti Nurbaya. Ia ingin melepaskan masyarakatnya dari belenggu adat
yang tidak memberi kesempatan bagi yang muda untuk menyatakan pendapat atau
keinginannya.
Dalam Siti Nurbaya, telah diletakkan landasan
pemikiran yang mengarah pada emansipasi wanita. Cerita itu membuat wanita mulai
memikirkan akan hak-haknya, apakah ia hanya menyerah karena tuntutan adat (dan
tekanan orang tua) ataukah ia harus mempertahankan yang diinginkannya.
Ceritanya menggugah dan meninggalkan kesan yang mendalam kepada pembacanya.
Kesan itulah yang terus melekat hingga sampai kini. Setelah lebih delapan puluh
tahun novel itu dilahirkan, Siti Nurbaya tetap diingat dan dibicarakan.
Selain Siti Nurbaya, Marah Rusli juga menulis beberapa
roman lainnya. Akan tetapi, Siti Nurbaya itulah yang terbaik. Roman itu
mendapat hadiah tahunan dalam bidang sastra dari Pemerintah Republik Indonesia
pada tahun 1969 dan diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia.Karya-karyanya yang
terkenal antara lain :
a) Siti Nurbaya. Jakarta : Balai
Pustaka. 1920 mendapat hadiah dari Pemerintah RI tahun 1969.
b) La Hami. Jakarta : Balai Pustaka. 1924.
c) Anak dan Kemenakan. Jakarta :
Balai Pustaka. 1956.
d) Memang Jodoh (naskah roman dan
otobiografis)
e) Tesna Zahera (naskah Roman)
3. Merari
Siregar
Merari Siregar (lahir di Sipirok, Sumatera Utara pada
13 Juli 1896 dan wafat di Kalianget, Madura, Jawa Timur pada 23 April 1941)
adalah sastrawan Indonesia angkatan Balai Pustaka.
Setelah lulus sekolah Merari Siregar bekerja sebagai
guru bantu di Medan. Kemudian dia pindah ke Jakarta dan bekerja di Rumah Sakit
CBZ (sekarang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo). Terakhir pengarang ini pindah ke
Kalianget, Madura, tempat ia bekerja di Opium end Zouregie sampai akhir
hayatnya.
Karya-karyanya yang terkenal adalah
a) Azab dan Sengsara. Jakarta: Balai
Pustaka. Cet. 1 tahun 1920,Cet.4 1965.
b) Binasa Karena Gadis Priangan. Jakarta:
Balai Pustaka 1931.
c) Cerita tentang Busuk dan Wanginya
Kota Betawi. Jakarta: Balai Pustaka 1924.
d) Cinta dan Hawa Nafsu. Jakarta: t.th.
e) Si Jamin dan si Johan. Jakarta:
Balai Pustaka 1918.
4. Nur
Sutan Iskandar
Nur Sutan Iskandar (Sungai Batang,
Sumatera Barat, 3 November 1893 – Jakarta, 28 November 1975) adalah sastrawan
Angkatan Balai Pustaka.
Nur Sutan Iskandar memiliki nama asli
Muhammad Nur. Seperti umumnya lelaki Minangkabau lainnya Muhammad Nur mendapat
gelar ketika menikah. Gelar Sutan Iskandar yang diperolehnya kemudian dipadukan
dengan nama aslinya dan Muhammad Nur pun lebih dikenal sebagai Nur Sutan
Iskandar sampai sekarang.
Setelah menamatkan sekolah rakyat
pada tahun 1909 Nur Sutan Iskandar bekerja sebagai guru bantu. Pada tahun 1919
ia hijrah ke Jakarta. Di sana ia bekerja di Balai Pustaka, pertama kali sebagai
korektor naskah karangan sampai akhirnya menjabat sebagai Pemimpin Redaksi
Balai Pustaka (1925-1942). Kemudian ia diangkat menjadi Kepala Pengarang Balai
Pustaka, yang dijabatnya 1942-1945.
Nur Sutan Iskandar tercatat sebagai
sastrawan terproduktif di angkatannya. Selain mengarang karya asli ia juga
menyadur dan menerjemahkan buku-buku karya pengarang asing seperti Alexandre
Dumas, H. Rider Haggard dan Arthur Conan Doyle. Karya-karyanya yang terkenal
antara lain :
a)
Apa Dayaku karena Aku Perempuan (Jakarta: Balai Pustaka, 1923)
b)
Cinta yang Membawa Maut (Jakarta: Balai Pustaka, 1926)
c)
Salah Pilih (Jakarta: Balai Pustaka, 1928)
d)
Abu Nawas (Jakarta: Balai Pustaka, 1929)
e)
Karena Mentua (Jakarta: Balai Pustaka, 1932)
f)
Tuba Dibalas dengan Susu (Jakarta: Balai Pustaka, 1933)
g)
Dewi Rimba (Jakarta: Balai Pustaka, 1935)
h)
Hulubalang Raja (Jakarta: Balai Pustaka, 1934)
i)
Katak Hendak Jadi Lembu (Jakarta: Balai Pustaka, 1935)
j)
Neraka Dunia (Jakarta: Balai Pustaka, 1937)
k)
Cinta dan Kewajiban (Jakarta: Balai Pustaka, 1941)
l)
Jangir Bali (Jakarta: Balai Pustaka, 1942)
m)
Cinta Tanah Air (Jakarta: Balai Pustaka, 1944)
n)
Cobaan (Turun ke Desa) (Jakarta: Balai Pustaka, 1946)
o)
Mutiara (Jakarta: Balai Pustaka, 1946)
p)
Pengalaman Masa Kecil (Jakarta: Balai Pustaka, 1949)
q)
Ujian Masa (Jakarta: JB Wolters, 1952, cetakan ulang)
r)
Megah Cerah: Bacaan untuk Murid Sekolah Rakyat Kelas II (Jakarta: JB Wolters,
1952)
s)
Megah Cerah: Bacaan untuk Murid Sekolah Rakyat Kelas III (Jakarta: JB Wolters,
1952)
t)
Peribahasa (Karya bersama dengan K. Sutan Pamuncak dan Aman Datuk Majoindo.
Jakarta: JB Wolters, 1946)
u)
Sesalam Kawin (t.t.)
5. Tulis
Sutan Sati
Tulis Sutan Sati (Bukittinggi, Sumatra Barat, 1898 –
1942) adalah penyair dan sastrawan Indonesia Angkatan Balai Pustaka.
Karya-karyanya yang terkenal antara lain :
a. Tak Disangka
(1923)
b. Sengsara Membawa
Nikmat (1928)
c. Syair Rosina
(1933)
d. Tjerita Si Umbut Muda
(1935)
e. Tidak Membalas
Guna
f. Memutuskan
Pertalian (1978)
g. Sabai nan Aluih:
cerita Minangkabau lama (1954)
Muhammad Yamin dilahirkan di Sawahlunto, Sumatera
Barat, pada tanggal 23 Agustus 1903. Ia menikah dengan Raden Ajeng Sundari
Mertoatmadjo. Salah seorang anaknya yang dikenal, yaitu Rahadijan Yamin. Ia
meninggal dunia pada tanggal 17 Oktober 1962 di Jakarta. Di zaman penjajahan,
Yamin termasuk segelintir orang yang beruntung karena dapat menikmati
pendidikan menengah dan tinggi. Lewat pendidikan itulah, Yamin sempat menyerap
kesusastraan asing, khususnya kesusastraan Belanda.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tradisi sastra
Belanda diserap Yamin sebagai seorang intelektual sehingga ia tidak menyerap
mentah-mentah apa yang didapatnya itu. Dia menerima konsep sastra Barat, dan
memadukannya dengan gagasan budaya yang nasionalis.
Pendidikan yang sempat diterima Yamin, antara lain, Hollands
inlands School (HIS) di Palembang, tercatat sebagai peserta kursus pada
Lembaga Pendidikan Peternakan dan Pertanian di Cisarua, Bogor, Algemene
Middelbare School (AMS) ‘Sekolah Menengah Umum’ di Yogya, dan HIS di Jakarta.
Yamin menempuh pendidikan di AMS setelah menyelesaikan sekolahnya di Bogor yang
dijalaninya selama lima tahun. Studi di AMS Yogya sebetulnya merupakan
persiapan Yamin untuk mempelajari kesusastraan Timur di Leiden. Di AMS, ia
mempelajari bahasa Yunani, bahasa Latin, bahasa Kaei, dan sejarah purbakala.
Dalam waktu tiga tahun saja ia berhasil menguasai keempat mata pelajaran
tersebut, suatu prestasi yang jarang dicapai oleh otak manusia biasa. Dalam
mempelajari bahasa Yunani, Yamin banyak mendapat bantuan dari pastor-pastor di
Seminari Yogya, sedangkan dalam bahasa Latin ia dibantu Prof. H. Kraemer dan
Ds. Backer.
Setamat AMS Yogya, Yamin bersiap-siap berangkat ke
Leiden. Akan tetapi, sebelum sempat berangkat sebuah telegram dari Sawahlunto
mengabarkan bahwa ayahnya meninggal dunia. Karena itu, kandaslah cita-cita
Yamin untuk belajar di Eropa sebab uang peninggalan ayahnya hanya cukup untuk
belajar lima tahun di sana. Padahal, belajar kesusastraan Timur membutuhkan
waktu tujuh tahun. Dengan hati masgul Yamin melanjutkan kuliah di Recht
Hogeschool (RHS) di Jakarta dan berhasil mendapatkan gelar Meester in de
Rechten ‘Sarjana Hukum’ pada tahun 1932.
Sebelum tamat dari pendidikan tinggi, Yamin telah
aktif berkecimpung dalam perjuangan kemerdekaan. Berbagai organisaasi yang
berdiri dalam rangka mencapai Indonesia merdeka yang pernah dipimpin Yamin,
antara lain, adalah, Yong Sumatramen Bond ‘Organisasi Pemuda Sumatera’
(1926–1928). Dalam Kongres Pemuda II (28 Oktober 1928) secara bersama
disepakati penggunaan bahasa Indonesia. Organisasi lain adalah Partindo
(1932–1938).
Pada tahun 1938—1942 Yamin tercatat sebagai anggota
Pertindo, merangkap sebagai anggota Volksraad ‘Dewan Perwakilan Rakyat’.
Setelah kemerdekaan Indonesia terwujud, jabatan-jabatan yang pernah dipangku
Yamin dalam pemerintahan, antara lain, adalah Menteri Kehakiman (1951), Menteri
Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan (1953–1955), Ketua Dewan Perancang
Nasional (1962), dan Ketua Dewan Pengawas IKBN Antara (1961–1962).
Dari riwayat pendidikannya dan dari keterlibatannya
dalam organisasi politik maupun perjuangan kemerdekaan, tampaklah bahwa Yamin
termasuk seorang yang berwawasan luas. Walaupun pendidikannya pendidikan Barat,
ia tidak pernah menerima mentah-mentah apa yang diperolehnya itu sehingga ia
tidak menjadi kebarat-baratan. Ia tetap membawakan nasionalisme dan rasa cinta
tanah air dalam karya-karyanya. Barangkali halini merupakan pengaruh lingkungan
keluarganya karena ayah ibu Yamin adalah keturunan kepala adat di Minangkabau.
Ketika kecil pun, Yamin oleh orang tuanya diberi pendidikan adat dan agama
hingga tahun 1914. Dengan demikian, dapat dipahami apabila Yamin tidak
terhanyut begitu saja oleh hal-hal yang pernah diterimanya, baik itu berupa
karya-karya sastra Barat yang pernah dinikmatinya maupun sistem pendidikan
Barat yang pernah dialaminya.
Umar Junus dalam bukunya Perkembangan Puisi Indonesia
dan Melayu Modern (1981) menyatakan bahwa puisi Yamin terasa masih berkisah,
bahkan bentul-betul terasa sebagai sebuah kisah. Dengan demikian, puisi Yamin
memang dekat sekali dengan syair yang memang merupakan puisi untuk mengisahkan
sesuatu.”Puisi Yamin itu dapat dirasakan sebagai syair dalam bentuk yang bukan
syair”, demikian Umar Junus. Karena itu, sajak-sajak Yamin dapat dikatakan
lebih merupakan suatu pembaruan syair daripada suatu bentuk puisi baru. Akan
tetapi, pada puisi Yamin seringkali bagian pertamanya merupakan lukisan alam,
yang membawa pembaca kepada suasana pantun sehingga puisi Yamin tidak dapat
dianggap sebagai syair baru begitu saja. Umar Junus menduga bahwa dalam
penulisan sajak-sajaknya, Yamin menggunakan pantun, syair, dan puisi Barat
sebagai sumber. Perpaduan ketiga bentuk itu adalah hal umum terjadi terjadi
pada awal perkembangan puisi modern di Indonesia.
Jika Umar Junus melihat adanya kedekatan untuk soneta
yang dipergunakan Yamin dengan bentuk pantun dan syair, sebetulnya hal itu
tidak dapat dipisahkan dari tradisi sastra yang melingkungi Yamin pada waktu
masih amat dipengaruhi pantun dan syair. Soneta yang dikenal Yamin melalui
kesusastraan Belanda ternyata hanya menyentuh Yamin pada segi isi dan
semangatnya saja. Karena itu, Junus menangkap kesan berkisah dari sajak-sajak
Yamin itu terpancar sifat melankolik, yang kebetulan merupakan sifat dan
pembawaan soneta. Sifat soneta yang melankolik dan kecenderungan berkisah yang
terdapat didalamnya tidak berbeda jauh dengan yang terdapat dalam pantun dan
syair. Dua hal yang disebut terakhir, yakni sifat melankolik dan kecenderungan
berkisah, kebetulan sesuai untuk gejolak perasaan Yamin pada masa remajanya.
Karena itu, soneta yang baru saja dikenal Yamin dan yang kemudian digunakannya
sebagai bentuk pengungkapan estetiknyha mengesankan bukan bentuk soneta yang
murni.
7. Suman
Hasibuan
Suman Hasibuan (lahir di Bengkalis, Riau, 4 April 1904
– wafat di Pekanbaru, Riau, 8 Mei 1999 pada umur 95 tahun) adalah sastrawan
Indonesia. Hasil karya dari Suman Hasibuan antara lain adalah “Mencari Pencuri
Anak Perawan”, “Kawan Bergelut” (kumpulan cerpen), “Tebusan Darah”, “Kasih Tak
Terlerai”, dan “Percobaan Setia”. Ia digolongkan sebagai sastrawan dari
Angkatan Balai Pustaka. Karya-karyanya yang terkenal antara lain :
a) “Pertjobaan Setia”
(1940)
b) “Mentjari Pentjuri
Anak Perawan” (1932)
c) “Kasih Ta’ Terlarai”
(1961)
d) “Kawan Bergelut” (kumpulan
cerpen)
e) “Tebusan Darah”
8. Adinegoro
Adinegoro (lahir di Talawi, Sumatera Barat, 14 Agustus
1904 – wafat di Jakarta, 8 Januari 1967 pada umur 62 tahun) adalah sastrawan
Indonesia dan wartawan kawakan. Ia berpendidikan STOVIA (1918-1925) dan pernah
memperdalam pengetahuan mengenai jurnalistik, geografi, kartografi, dan
geopolitik di Jerman dan Belanda (1926-1930). Nama aslinya sebenarnya
bukan Adinegoro, melainkan Djamaluddin gelar Datuk Madjo Sutan. Ia adalah adik sastrawan
Muhammad Yamin. Mereka saudara satu bapak, tetapi lain ibu. Ayah Adinegoro
bernama Usman gelar Baginda Chatib dan ibunya bernama Sadarijah, sedangkan nama
ibu Muhammad Yamin adalah Rohimah. Ia memiliki seorang istri bernama Alidas
yang berdarah Sulit Air ,Solok, Sumatera Barat.
Dua buah novel Adinegoro yang terkenal (keduanya
dibuat pada tahun 1928), yang membuat namanya sejajar dengan nama-nama novelis
besar Indonesia lainnya, adalah Asmara Jaya dan Darah Muda. Ajip Rosidi dalam
buku Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (1982), mengatakan bahwa Adinegoro
merupakan pengarang Indonesia yang berani melangkah lebih jauh menentang adat
kuno yang berlaku dalam perkawinan. Dalam kedua romannya Adinegoro bukan hanya
menentang adat kuno tersebut, melainkan juga dengan berani memenangkan pihak
kaum muda yang menentang adat kuno itu yang dijalankan oleh pihak kaum tua.
Di samping kedua novel itu, Adinegoro juga menulis novel lainnya, yaitu Melawat ke Barat, yang merupakan kisah perjalanannya ke Eropa. Kisah perjalanan ini diterbitkan pada tahun 1930. Selain itu, ia juga terlibat dalam polemik kebudayaan yang terjadi sekitar tahun 1935. Esainya, yang merupakan tanggapan polemik waktu itu, berjudul “Kritik atas Kritik” terhimpun dalam Polemik Kebudayaan yang disunting oleh Achdiat K. Mihardja (1977). Dalam esainya itu, Adinegoro beranggapan bahwa suatu kultur tidak dapat dipindah-pindahkan karena pada tiap bangsa telah melekat tabiat dan pembawaan khas, yang tak dapat ditiru oleh orang lain. Ia memberikan perbandingan yang menyatakan bahwa suatu pohon rambutan tidak akan menghasilkan buah mangga, dan demikian pun sebaliknya. Karyanya antara lain:
Di samping kedua novel itu, Adinegoro juga menulis novel lainnya, yaitu Melawat ke Barat, yang merupakan kisah perjalanannya ke Eropa. Kisah perjalanan ini diterbitkan pada tahun 1930. Selain itu, ia juga terlibat dalam polemik kebudayaan yang terjadi sekitar tahun 1935. Esainya, yang merupakan tanggapan polemik waktu itu, berjudul “Kritik atas Kritik” terhimpun dalam Polemik Kebudayaan yang disunting oleh Achdiat K. Mihardja (1977). Dalam esainya itu, Adinegoro beranggapan bahwa suatu kultur tidak dapat dipindah-pindahkan karena pada tiap bangsa telah melekat tabiat dan pembawaan khas, yang tak dapat ditiru oleh orang lain. Ia memberikan perbandingan yang menyatakan bahwa suatu pohon rambutan tidak akan menghasilkan buah mangga, dan demikian pun sebaliknya. Karyanya antara lain:
a. Buku
a) Revolusi dan
Kebudayaan (1954)
b) Ensiklopedi Umum
dalam Bahasa Indonesia (1954),
c) Ilmu Karang-mengarang
d) Falsafah Ratu Dunia
b. Novel
a) Darah Muda. Batavia
Centrum : Balai Pustaka. 1931
b) Asmara Jaya. Batavia
Centrum : Balai Pustaka. 1932.
c) Melawat ke Barat.
Jakarta : Balai Pustaka. 1950.
c. Cerita pendek
a) Bayati es
Kopyor.
b) Etsuko. Varia.
c) Lukisan Rumah
Kami.
d) Nyanyian Bulan April.
B. Angkatan Pujangga Baru
1. Latar belakang terbitnya
Pujangga Baru
Buku Pujangga
Baru, Prosa dan Puisi yang disusun oleh H.B Jasin adalah sebuah bunga
rampai (antologia) dari para pengarang dan penyair yang oleh penyusunnya
digolongkan ke dalam Angkatan Pujangga Baru Seperti diketahui, oleh para ahli
dan parapenyusun buku-buku pelajaran sastra Indonesia, perkembangan sastra
Indonesia dibagi-bagimenjadi angkatan-angkatan. Angkatan Pujangga Baru biasanya
ditempatkan sebagaiangkatan kedua, yaitu setelah angkatan Balai Pustaka dan
mendahului kelahiran angkatan‘45. Tetapi kita lihat pembagian sejarah sastra
Indonesia dalam angkatan-angkatan ini, tidaklah disertai dengan alasan-alasan
yang bisa kita terima. Tidak sedikit pula para sastrawan yang menolak atau
tidak mau dimasukan dalam sesuatu angkatan, mereka memilih masuk angkatan yang
disukainya. Misalnya Achdiat K. Mihardja pernah menyatakan bahwa ia lebih suka
digolongkan kepada angkatan Pujangga Baru, padahal para ahli telah
menggolongkannya kepada angkatan ‘45.
Pujangga
Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai
Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap
karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra
Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik dan elitis.
Ketika
sastra Indonesia dikuasai oleh angkatan Pujangga Baru, masa-masa tersebut lebih
dikenal sebagai Masa Angkatan Pujangga Baru. Masa ini dimulai dengan
terbitnya majalah Pujangga Baru pada Mei 1933. Majalah inilah yang
merupakan terompet serta penyambung lidah para pujangga baru. Penerbitan
majalah tersebut dipimpin oleh tiga serangkai pujangga baru, yaitu Amir Hamzah,
Armijn Pane, dan Sutan Takdir Alisjahbana.
Dalam
manivestasi pujangga baru dinyatakan bahwa fungsi kesusastraan itu, selain
melukiskan atau menggambarkan tinggi rendahnya suatu bangsa, juga mendorong
bangsa tersebut ke arah kemajuan.
Sebenarnya
para pujangga baru serta beberapa orang pujangga Siti Nurbaya sangat
dipengaruhi oleh para pujangga Belanda angkatan 1880 (De Tachtigers).
Hal ini tak
mengherankan sebab pada jaman itu banyak para pemuda Indonesia yang
berpendidikan barat, bukan saja mengenal, bahkan mendalami bahasa serta
kesusastraan Belanda. Di antara para pujangga Belanda angkatan 80-an, dapat
kita sebut misalnya Willem Kloos dan Jacques Perk. J.E. Tatengkeng, seorang
pujangga baru kelahiran Sangihe yang beragama Protestan dan merupakan penyair
religius sangat dipengaruhi oleh Willem Kloos.
Lain halnya
dengan Hamka. Ia pengarang prosa religius yang bernafaskan Islam, lebih
dipengaruhi oleh pujangga Mesir yang kenamaan, yaitu Al-Manfaluthi, sedangkan
Sanusi Pane lebih banyak dipengaruhi oleh India daripada oleh Barat, sehingga
ia dikenal sebagai seorang pengarang mistikus ke-Timuran.
Pujangga
religius Islam yang terkenal dengan sebutan Raja Penyair Pujangga Baru adalah
Amir Hamzah. Ia sangat dipengaruhi agama Islam serta adat istiadat Melayu. Jiwa
Barat itu rupanya jelas sekali terlihat pada diri Sutan Takdir Alisyahbana.
Lebih jelas lagi tampak pada Armijn Pane, yang boleh kita anggap sebagai
perintis kesusastraan modern.
Pada Armijn
Pane rupanya pengaruh Barat itu menguasai dirinya secara lahir batin. Masih
banyak lagi para pujangga baru lainnya seperti Rustam Effendi, A.M. Daeng
Myala, Adinegoro, A. Hasjemi, Mozasa, Aoh Kartahadimadja, dan Karim Halim.
Mereka datang dari segala penjuru tanah air dengan segala corak ragam gaya dan
bentuk jiwa serta seninya.
Mereka
berlomba-lomba, namun tetap satu dalam cita-cita dan semangat mereka, yaitu
semangat membangun kebudayaan Indonesia yang baru dan maju. Itulah sebabnya
mereka dapat bekerjasama, misalnya saja dalam memelihara dan memajukan
penerbitan majalah Pujangga Baru.
2. Karakteristik
Karya Angkatan Pujangga Baru
a. Dinamis
b. Bercorak
romantik/idealistis, masih secorak dengan angkatan sebelumnya, hanya saja
kalau romantik angkatan Siti Nurbaya
bersifat fasip, sedangkan angkatan Pujangga Baru aktif
romantik. Hal ini berarti bahwa cita-cita atau ide baru dapat mengalahkan atau
menggantikan apa yang sudah dianggap tidak berlaku lagi.
c. Angkatan
Pujangga Baru menggunakan bahasa Melayu
modern dan sudah meninggalkan bahasa klise.
Mereka berusaha membuat ungkapan dan gaya
bahasa sendiri. Pilihan kata, Penggabungan
ungkapan serta irama sangat dipentingkan oleh
Pujangga Baru sehingga dianggap terlalu dicari-cari.
Ditilik bentuknya, karya angkatan Pujangga Baru
mempunyai ciri-ciri:
a. Bentuk
puisi yang memegang peranan penting adalah
soneta, disamping itu ikatan-ikatan lain seperti
quatrain dan quint pun banyak dipergunakan.
Sajak jumlah suku kata dan syarat-syarat
puisi lainnya sudah tidak mengikat lagi,
kadang-kadang para Pujangga Baru mengubah
sajak atau puisi yang pendek-pendek, cukup
beberapa bait saja. Sajak-sajak yang agak
panjang hanya ada beberapa buah, misalnya ”Batu Belah” dan ”Hang
Tuah” karya Amir Hamjah.
b. Tema
dalam karya prosa (roman) bukan lagi
pertentangan faham kaum muda dengan adat
lama seperti angkatan Siti Nurbaya,
melainkan perjuangan kemerdekaan dan pergerakan
kebangsaan, misalnya pada roman Layar Terkembang karya
Sutan Takdir Alisyahbana
c. Bentuk
karya drama pun banyak dihasilkan pada
masa Pujangga Baru dengan tema kesadaran
nasional. Bahannya ada yang diambil dari
sejarah dan ada pula yang semata-mata pantasi pengarang
sendiri yang menggambarkan jiwa dinamis.
3. Pengarang
Angkatan Pujangga Baru dan Karyanya
1. Sutan Takdir
Alisjahbana
Orang besar ini dilahirkan di
Natal (Tapanuli) pada 11-02-1908. Setelah
menamatkan HIS di Bengkulu ia memasuki
Kweekschool di Bukitinggi dan kemudian HKS
di Bandung. Setelah itu ia
belajar untuk Hoof Dacte di Jakarta
dan juga belajar pada Sekolah Hakim Tinggi. Selain itu belajar pula
tentang filsafat dan kebudayaan pada Fakultas sastra.
Pendidikan yang beraneka ragam yang pernah
dialaminya serta cita-cita dan keinginan yang keras
itu, menyebabkan keahlian yang bermacam-macam
pula pada dirinya. Karangannya mempunyai bahasa
yang sederhana tetapi tepat. Karya-karyanya antara
lain:
a. Tak Putus Dirundung Malang (roman, 1929)
b. Dian Tak Kunjung Padam (roman, 1932)
c. Anak Perawan Disarang Penyamun (roman, 1941)
d. Layar Terkembang (roman tendenz, 1936)
e. Tebaran Mega (kumpulan puisi/prosa lirik,
1936)
f. Melawat Ke Tanah Sriwijaya (kisah, 1931/1952)
g. Puisi Lama (1942)
h. Puisi Baru (1946)
2. Amir Hamzah
Amir Hamzah yang
bergelar Pangeran Indera Putra, lahir pada
28-2-1911 di Tanjungpura (Langkat), dan meninggal pada bulan Maret 1946.
Ia keturunan bangsawan, kemenakan dan menantu Sultan Langkat, serta hidup
ditengah-tengah keluarga yang taat beragama Islam. Ia mengunjungi HIS di
Tanjungpura, Mulo di Medan, dan Jakarta AMS, AI (bagian Sastra Timur) di Solo.
Ia menuntut ilmu pada Sekolah Hakim Tinggi sampai kandidat. Amir Hamzah lebih
banyak mengubah puisi sehingga mendapat sebutan “Raja Penyair” Pujangga Baru.
Karya-karyanya antara lain:
a.
Nyanyi Sunyi (kumpulan sajak, 1937)
b.
Buah Rindu (kumpulan sajak, 1941)
c.
Setanggi Timur (kumpulan sajak, 1939)
d.
Bhagawad Gita (terjemahan salah satu bagian mahabarata)
3. Sanusi Pane
Sanusi Pane lahir di
Muara Sipongi, 14-11-1905. Ia mengunjungi
SR di Padang Sidempuan, Sibolga, dan
Tanjungbalai, kemudian HIS Adabiyah di
Padang, dan melanjutkan pelajarannya ke Mulo
Padang dan Jakarta, serta pendidikannya pada
Kweekschool Gunung Sahari Jakarata pada
tahun 1925. Pada tahun 1928, ia pergi
ke India untuk memperdalam pengetahuannya tentang kebudayaan India.
Sekembalinya dari India ia memimpin majalah Timbul. Di samping sebagai guru
pada Perguruan Jakarta, ia menjabat pemimpin surat kabar Kebangunan dan kepala
pengarang Balai Pustaka sampai tahun 1941. Pada jaman pendududkan Jepang
menjadi pegawai tinggi Pusat Kebudayaan Jakarta dan kemudian bekerja pada
Jawatan Pendidikan Masyarakat di Jakarta. Karya-karyanya antara lain:
a.
Pancaran Cinta (kumpulan prosa lirik, 1926)
b.
Puspa Mega (kumpulan puisi, 1927)
c.
Madah Kelana (kumpulan puisi, 1931)
d.
Kertajaya (sandiwara, 1932)
e.
Sandyakalaning Majapahit (sandiwara, 1933)
f.
Manusia Baru (Sandiwara, 1940)
4. Muhamad Yamin, SH.
Prof. Muhammad Yamin, SH.
dilahirkan di Sawahlunto, Sumbar, 23 agustus
1905. Setelah menamatkan Volkschool, HIS
dan Normaalschool, ia mengunjungi sekolah-sekolah vak seperti
sekolah pertanian dan peternakan di Bogor.
Kemudian menamatkan AMS di Jogyakarta pada tahun 1927. Akhirnya ia memasuki
Sekolah Hakim di Jakarta hingga bergelar pada
tahun 1932. Pekerjaan dan keahlian Yamin
beraneka ragam, lebih-lebih setelah Proklamasi Kemerdekaan 19’45, ia memegang
jabatan-jabatan penting dalam kenegaraan hingga akhir hayatnya (26 Oktober
1962). Ia pun tidak pernah absen dalam revolusi. Karya-karyanya antara
lain:
a.
Tanah Air (kumpulan puisi, 1922)
b.
Indonesia Tumpah Darahku (kumpulan puisi, 1928)
c.
Menanti Surat dari Raja (sandiwara, terjemahan Rabindranath Tagore)
d.
Di Dalam dan Di Luar Lingkungan Rumah Tangga (Terjemahan dari Rabindranath
Tagore)
e.
Ken Arok dan Ken Dedes (sandiwara, 1934)
f.
Gajah Mada (roman sejarah, 1934)
g.
Dipenogoro (roman sejarah, 1950)
h.
Julius Caesar (terjemahan dari karya Shakespeare)
i.
6000 Tahun Sang Merah Putih (1954)
j.
Tan Malaka (19’45)
k.
Kalau Dewi Tara Sudah Berkata (sandiwara, 1957)
5. J.E. Tatengkeng
Lahir di Kalongan, Sangihe,
19 Oktober 1907. Pendidikannya dimulai dari
SD kemudian pindah ke HIS Tahuna. Kemudian pindah ke Bandung, lalu ke KHS
Kristen di Solo. Ia pernah menjadi kepala
NS Tahuna pada tahun 1947. Karya-karyanya
bercorak religius. Dia juga sering melukiskan Tuhan yang bersifat Universal.
Karyanya antara lain Rindu Dendam (kumpulan sajak, 1934).
6. Hamka
Hamka adalah singkatan dari
Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Ia
lahir di Maninjau, Sumatera Barat, 16 Februari 1908. Dia putera Dr. H.
Abdul Karim Amrullah, seorang teolog Islam serta
pelopor pergerakan berhaluan Islam modern
dan tokoh yang ingin membersihkan agama
Islam dari khurafat dan bid’ah. Pendidikan
Hamka hanya sampai kelas dua SD, kemudian
mengaji di langgar dan madsrasah. Ia pernah
mendapat didikan dan bimbingan dari H.O.S
Tjokroaminoto. Prosa Hamka bernafaskan religius menurut
konsepsi Islam. Ia pujangga Islam yang produktif. Karyanya antara lain:
a.
Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938)
b.
Di Dalam Lembah kehidupan (kumpulan cerpen, 1941)
c.
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk (roman, 1939)
d.
Kenang-Kenangan Hidup (autobiografi, 1951)
e.
Ayahku (biografi)
f.
Karena Fitnah (roman, 1938)
g.
Merantau ke Deli (kisah;1939)
h.
Tuan Direktur (1939)
i.
Menunggu Beduk Berbunyi (roman, 1950)
j.
Keadilan Illahi
k.
Lembaga Budi
l.
Lembaga Hidup
m.
Revolusi Agama
7. M.R. Dajoh
Marius Ramis Dajoh lahir
di Airmadidi, Minahasa, 2 November 1909. Ia
berpendidikan SR, HIS Sirmadidi, HKS Bandung,
dan Normaalcursus di Malang. Pada masa Jepang
menjabatat kepala bagian sandiwara di kantor Pusat Kebudayaan. Kemudian
pindah ke Radio Makasar. Dalam karya
Prosanya sering menggambarkan pahlawan-pahlawan yang berani,
sedang dalam puisinya sering meratapi kesengsaraan masyarakat. Karyanya antara
lain:
a.
Pahlawan Minahasa (roman; 1935) .
b.
Peperangan Orang Minahasa dengan Orang Spanyol (roman, 1931).
c.
Syair Untuk Aih (sajaka, 1935).
8. Ipih
Ipih atau H.R. adalah
nama samaran dari Asmara Hadi. Dia
lahir di Talo, Bengkulu, tanggal 5
September 1914. Pendidikannya di HIS
Bengkulu, Mulo Jakarta, Bandung, serta Mulo
Taman Siswa Bandung. Lebih dari setahun
ia ikut dengan Ir. Soekarno di Endeh.
Setelah menjadi guru, ia menjadi wartawan
dan pernah memimpin harian Pikiran Rakyat di Bandung. Dalam
karyanya terbayang semangat gembira dengan napas kebangsaan dan perjuangan.
Karya-karyanya antara lain:
a.
Di Dalam Lingkungan Kawat Berduri (catatan, 1941)
b.
Sajak-sajak dalam majalah
9. Armijn Pane
Armijn Pane adalah adik
dari Sanusi Pane. Lahir di Muarasipongi,
Tapanuli Selatan, 18 Agustus 1908. Ia
berpendidikan HIS, ELS, Stofia Jakarta pada
tahun 1923, dan pindah ke Nias, Surabaya, dan menamatkan di Solo.
Kemudian menjadi guru bahasa dan sejarah di Kediri
dan Jakarta serta pada tahun 1936
bekerja di Balai Pustaka. Pada masa
pendudukan Jepang menjadi Kepala Bagian
Kesusastraan di Kantor Pusat Kebudayaan Jakarta, serta
memimpin majalah Kebudayaan Timur. Karyanya antara lain:
a.
Belenggu (roman jiwa, 1940)
b.
Kisah Antara Manusia (kumpulan cerita pendek, 1953)
c.
Nyai Lenggang Kencana (sandiwara, 1937)
d.
iwa Berjiwa (kumpulan sajak, 1939)
e.
Ratna (sandiwara, 1943)
f.
Lukisan Masa (sandiwara, 1957)
g.
Habis Gelap Terbitlah Terang (uraian dan terjemahan surat-surat R.A Kartini,
1938)
10.
Rustam Effendi
Lahir di Padang, 18 Mei
1905. Dia aktif dalam bidang politik
serta pernah menjadi anggota Majelis Perwakilan
Belanda sebagai utusan Partai Komunis. Dalam
karyanya banyak dipengaruhi oleh bahasa daerahnya, juga sering mencari
istilah-istilah dari Bahasa Arab dan Sansakerta. Karyanya antara lain:
a.
Percikan Permenungan (kumpulan sajak, 1922)
b.
Bebasari (sandiwara bersajak, 1922)
11.
A. Hasjmy
A. Hasjmy nama sebenarnya adalah Muhammad Ali Hasjmy.
Lahir di Seulimeun, Aceh, 28 Maret 1912. Ia berpendidikan SR dan Madrasah
Pendidkan Islam. Pada tahun 1936 menjadi guru di Perguruan Islam
Seulimeun. Karya-karyanya antara lain:
a.
Kisah Seorang Pengembara (kumpulan sajak, 1936)
b.
Dewan Sajak (kumpulan sajak, 1940)
12.
Imam Supardi
Karya-karyanya
antara lain:
a.
Kintamani (roman)
b.
Wishnu Wardhana (drama, 1937)
Sastrawan dan penyair lainnya dari angkatan Pujangga
Baru:
13.
Mozasa, singkatan dari Mohamad Zain Saidi
14.
Yogi, nama samaran A. Rivai, kumpulan sajaknya Puspa Aneka
15.
A.M. DG. Myala, nama sebenarnya A.M Tahir
16.
Intojo alias Rhamedin Or Mandank
C. Angkatan ‘45
1. Sejarah Lahirnya Angkatan ‘45
Jika diruntut berdasarkan
periodesasinya, sastra Indonesia Angkatan ‘45
bisa dikatakan sebagai angkatan ketiga dalam
lingkup sastra baru Indonesia,
setelah angkatan Balai Pustaka dan
angkatan Pujangga Baru. Munculnya karya-karya
sastra Angkatan ‘45 yang dipelopori oleh
Chairil Anwar ini memberi warna baru
pada khazanah kesusastraan Indonesia. Bahkan ada
orang yang berpendapat bahwa sastra
Indonesia baru lahir dengan adanya karya-karya Chairil Anwar,
sedangkan karya-karya pengarang terdahulu seperti Amir Hamzah, Sanusi Pane,
St.Takdir Alisjahbana, dan lain-lainnya dianggap sebagai karya sastra Melayu.
Pada mulanya angkatan ini disebut dengan
berbagai nama, ada yang menyebut Angkatan
Sesudah Perang, Angkatan Chairil Anwar,
Angkatan Kemerdekaan, dan lain-lain. Baru pada
tahun 1948, Rosihan Anwar menyebut angkatan
ini dengan nama Angkatan ‘45. Nama ini segera menjadi
populer dan dipergunakan oleh semua pihak sebagai nama resmi. Meskipun
namanya sudah ada, tetapi sendi-sendi dan landasan ideal angkatan ini
belum dirumuskan. Baru pada tahun 1950
“Surat Kepercayaan Gelanggang” dibuat dan diumumkan.
Ketika itu Chairil Anwar sudah meninggal. Surat kepecayaan itu ialah semacam
pernyataan sikap yang menjadi dasar pegangan perkumpulan “Selayang
Seniman Merdeka”. Masa Chairil Anwar masih hidup. Angkatan ‘45
lebih realistik dibandingkan dengan Angkatan Pujangga Baru yang romantik
idealistik. Semangat patriotik yang ada pada sebagian besar sastrawan Angkatan
‘45 tercermin dari sebagian besar
karya-karya yang dihasilkan oleh parasastrawan
tersebut. Beberapa karya Angkatan ‘45 ini mencerminkan perjuangan menuntut
kemerdekaan. Banyak pula di antaranya yang selalu mendapatkan kecaman, di
antaranya Pramoedya Ananta Toer. Pramoedya dengan
keprofesionalannya masih eksis menghasilkan
karya-karya terutama mengenai perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia.
Bahkan sampai saat ini karya-karya Pramoedya masih digandrungi khususnya oleh
penikmat sastra. Sebegitu banyak orang yang
memproklamasikan kelahiran dan membela hak hidup
Angkatan ‘45, sebanyak itu pulalah yang
menentangnya. Armijn Pane berpendapat bahwa Angkatan ‘45 ini
hanyalah lanjutan belaka dari apa yang sudah dirintis oleh angkatan
sebelumnya, yaitu Angkatan Pujangga Baru.
Sutan Takdir Alisyahbana pun berpendapat demikian.
2. Beberapa Pendapat Tentang Angkatan ‘45
1. Armijn Pane:
Pujangga Baru menentang adanya Angkatan ‘45
dan menganggap bahwa tak ada yang disebut
Angkatan ‘45.
2. Sutan Takdir
Alisyahbana: Angkatan ‘45 merupakan sambungan dari Pujangga Baru.
3. Teeuw:
Memang berbeda Angkatan ‘45 dengan Angkatan
Pujangga Baru, tetapi ada garis penghubung,
misalnya Armijn Pane dengan Belenggu-nya.
(puncak-puncak kesusastraan Indonesia).
4. Sitor
Situmorang: Pujangga Baru masih terikat oleh zamannya, yaitu zaman penjajahan,
sedangkan Angkatan ‘45 dalam soal kebudayaan
tidak membedakan antara Barat dan Timur, tetapi
yang penting hakikat manusia. Perjuangan Pujangga Baru baru mencapai kepastian
dan ilmu pengetahuan.
5. Pramoedya
Ananta Toer: Angkatan Pujangga Baru banyak ilmu
pengetahuannya tetapi tidak banyak mempunyai
penghidupan (pengalaman). Angkatan ‘45 kurang dalam
ilmu pengetahuan (karena perang) tetapi
sadar akan kehidupan.
3. Karakteristik Karya Angkatan ‘45
a. Bercorak
lebih realistik dibanding karya Angkatan
Pujangga Baru yang romantik-idealistik.
b. Pengalaman
hidup dan gejolak sosial-politik-budaya mewarnai
karya sastrawan Angkatan ’45.
c. Bahasanya
lugas, hidup dan berjiwa serta bernilai sastra.
d. Sastrawannya lebih berjiwa
patriotik.
e. Bergaya
ekspresi dan revolusioner (H.B.Yassin).
f. Bertujuan
universal nasionalis.
g. Bersifat
praktis.
h. Sikap
sastrawannya “tidak berteriak tetapi melaksanakan” .
4. Sastrawan Angkatan
‘45 dan Karyanya
1. Chairil Anwar
Chairil Anwar lahir di Medan, 22 Juli
1922. Sekolahnya hanya sampai MULO (SMP) dan itu pun
tidak tamat. Kemudian ia pindah ke Jakarta. Ia merupakan orang yang banyak
membaca dan belajar sendiri, sehingga tulisan-tulisannya matang dan padat
berisi. Chairil Anwar berusaha memperbarui
penulisan puisi. Puisi yang diubahnya berbentuk
bebas, sehingga disebut puisi bebas. Ia
diakui sebagai pelopor Angkatan ‘45 di
bidang sebagai alat untuk mencapai isi. Chairil Anwar
termasuk penyair yang penuh vitalitas
(semangat hidup yang menyala-nyala) dan
individualistis (kuat rasa akunya). Puisi
gubahannya berirama keras (bersemangat), tetapi ada juga yang
bernafas ketuhanan seperti “Isa” dan “Do’a”. Karya-karya Chairil Anwar
antara lain:
a. Deru Campur
Debu (kumpulan puisi)
b. Tiga Menguak Takdir
(kumpulan puisi karya bersama Rivai Apin dan Asrul Sani)
c. Kerikil Tajam
dan Yang Terhempas dan Yang Putus (kumpulan puisi)
d. Pulanglah Dia Si Anak
Hilang (terjemahan dari karya Andre Gide)
e. Kena
Gempur (terjemahan dari karya Steinbeck)
2. Asrul Sani
Asrul Sani lahir di Rao, Sumatera Barat, 10 Juni 1926. Ia seorang dokter hewan.
Pernah memimpin majalah Gema dan harian
Suara Bogor. Tulisannya berpegang pada moral
dan keluhuran jiwa. Asrul Sani adalah
seorang sarjana kedokteran hewan, yang kemudian
menjadi direktur Akademi Teater Nasional
Indonesia (ATNI) dan menjadi ketua Lembaga
Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (LESBUMI),
juga pernah duduk sebagai anggota DPRGR/MPRS
wakil seniman. Asrul Sani juga dikenal sebagai
penulis skenario film hingga sekarang. Karya-karya Asrul Sani antara
lain:
a. Sahabat Saya
Cordiaz (cerpen)
b. Bola Lampu (cerpen)
c. Anak Laut
(sajak)
d. On Test (sajak)
e. Surat dari Ibu
(sajak)
3. Sitor Situmorang
Lahir di Tapanuli Utara, 21 Oktober
1924. Ia cukup lama bermukim di Prancis.
Sitor juga diakui sebagai kritikus sastra
Indonesia. Karya-karya Sitor Situmorang antara lain:
a. Surat Kertas
Hijau (1954)
b. Jalan Mutiara
(kumpulan drama)
c. Dalam Sajak
(1955)
d. Wajah Tak Bernama
(1956)
e. Zaman
Baru (kumpulan sajak)
f. Pertempuran dan
Salju di Paris
g. Peta Pelajaran (1976)
h. Dinding Waktu (1976)
i. Angin
Danau (1982)
j. Danau
Toba (1982)
4. Idrus
Lahir di Padang, 21 September 1921. Idrus dianggap
sebagai salah seorang tokoh pelopor Angkatan ‘45 di
bidang prosa, walaupun ia selalu menolak
penamaan itu. Karyanya bersifat realis-naturalis (berdasarkan kenyataan
dalam alam kehidupan) dengan sindiran tajam. Karya-karyanya antara lain:
a. Dari Ave Maria
ke Jalan Lain ke Roma (novel)
b. A K I (novel)
c. Hikayat Puteri
Penelope (novel, terjemahan)
d. Anak Buta (cerpen)
e. Perempuan dan
Kebangsaan
f. Jibaku Aceh
(drama)
g. Dokter Bisma
(drama)
h. Keluarga Surono
( drama )
i. Kereta
Api Baja (terjemahan dari karya Vsevold Iyanov, sastrawan Rusia)
5. Hamzah Fansuri
Dalam karya-karyanya tampak pengaruh dari kakaknya, Amir Hamzah dan R. Tarogo.
Karya-karyanya antara lain:
a. Teropong
(cerpen)
b. Bingkai Retak
(cerpen)
c. Sine Nomine
(cerpen)
d. Buku dan Penulis
(kritik)
e. Laut
(sajak)
f. Pancaran Hidup
(sajak)
6. Rivai Apin
Penyair yang seangkatan Chairil Anwar, yang
bersama-sama mendirikan “Gelanggang Seniman Merdeka”
ialah Asrul Sani dan Rival Apin.
Ketiga penyair itu, Chairil-Asrul-Rivai, dianggap sebagai trio
pembaharu puisi Indonesia, pelopor Angkatan ‘45. Ketiga
penyair itu menerbitkan kumpulan sajak
bersama, Tiga Menguak Takdir. Rivai Apin
menulis tidak selancar Asrul Sani. Selain
menulis sajak, ia pun menulis cerpen, esai,
kritik, skenario film, menerjemahkan, dan
lain-lain. Tahun 1954 ia sempat mengejutkan
kawan-kawannya, ketika keluar dari redaksi
Gelanggang dan beberapa waktu kemudian ia
masuk ke lingkungan Lembaga Kebudayaan
Rakyat (Lekra), serta beberapa waktu sempat memimpin majalah
kebudayaan Zaman Baru yang menjadi organ kebudayaan PKI.
Setelah terjadi G 30 S/PKI, Rivai
termasuk tokoh Lekra yang karya-karyanya
dilarang.
7. Achdiat Karta Mihardja
Ia menguasai ilmu politik,
tasawuf, filsafat, dan kemasyarakatan. Pernah menjadi
staf Kedubes RI di Canberra, Australia. Karya-karyanya antara lain:
a. Atheis (roman)
b. Bentrokan Dalam
Asmara (drama).
c. Polemik
Kebudayaan (esai)
d. Keretakan dan
Ketegangan (kumpulan cerpen)
e. Kesan dan
Kenangan (kumpulan cerpen)
8. Pramoedya Ananta Toer
Lahir di Blora, 2 Februari 1925. Meskipun sudah mulai
mengarang sejak jaman Jepang dan pada awal
revolusi telah menerbitkan buku Kranji dan
Bekasi Jatuh (1947), namun baru menarik
perhatian dunia sastra Indonesia pada tahun
1949, yaitu ketika cerpennya Blora, yang
ditulis dalam penjara diumumkan, serta
ketika romannya Perburuan (1950) mendapat hadiah
sayembara mengarang yang diselenggarakan oleh Balai
Pustaka. Karya-karyanya antara lain:
a. Bukan Pasar
Malam (1951)
b. Di Tepi Kali Bekasi
(1951)
c. Gadis Pantai
Keluarga Gerilja (1951)
d. Mereka yang
Dilumpuhkan (1951)
e. Perburuan
(1950)
f. Tjerita dari
Blora (1963)
9. Mukhtar Lubis
Lahir di Padang, 7 Maret 1922. Sejak jaman Jepang ia
sudah bekerja di bidang penerangan. Idenya bersifat
kritik-demokrasi-konstruktif (membangun). Di bidang
kewartawanan ia pernah mendapat hadiah
Ramon Magsay-say dari Filipina. Karyanya
banyak menggambarkan perjuangan pada masa
revolusi, terutama aksi polisional Belanda.
Karya-karyanya antara lain:
a. Tak Ada Esok
(roman)
b. Jalan Tak Ada Ujung (roman
jiwa)
c. Tanah Gersang
(novel)
d. Si Jamal
(cerpen)
e. Perempuan
(cerpen)
f. Kisah dari
Eropah (terjemahan)
g. Manusia
Indonesia
h. Maut dan Cinta
(novel)
i. Penyamun
Dalam Rimba (novel)
10.
Utuy Tatang Sontani
Pada saat-saat pertama Jepang menginjakan kaki di bumi
Indonesia, pengarang kelahiran Cianjur tahun 1920 ini, telah mulai menulis
beberapa buah buku dalam bahasa Sunda, di antaranya sebuah roman yang berjudul
Tambera (1943). Karya-karyanya antara lain:
a. Suling (1948)
b. Bunga Rumah Makan
(1948)
c. Awal dan Mira
(1952)
d. Manusia Iseng
e. Sayang Ada
Orang Lain
f. Di Langit Ada
Bintang
g. Saat yang
Genting
h. Selamat Jalan Anak
Kufur
11.
Usmar Ismail
Selain dikenal sebagai sastrawan, Usmar
Ismail juga dikenal sebagai sutradara film.
Tahun 1950 ia mendirikan Perfini. Karyanya
bernafas ketuhanan sejalan dengan pendapatnya bahwa
seni harus mengabdi kepada kepentingan nusa, bangsa, dan agama.
Karya-karyanya antara lain:
a. Permintaan
Terakhir (cerpen)
b. Asokamala Dewi
(cerpen)
c. Puntung Berasap
(kumpulan puisi)
d. Sedih dan Gembira
(kumpulan drama yang terdiri atas: “Citra”, “Api”, dan “Liburan Seniman”)
e. Mutiara dari
Nusa Laut (drama)
f. Tempat Yang
Kosong
g. Mekar Melati
h. Pesanku (sandiwara
radio)
i. Ayahku
Pulang (saudara dari cerita Jepang)
12.
El Hakim
El Hakim merupakan nama samaran dari Dr. Abu Hanifah. Karyanya bernuansa
ketuhanan dan kesusilaan. Di bidang
kebudayaan ia berpendapat bahwa Timur yang
idealis harus berkombinasi dengan Barat, tanpa menghilangkan
ketimurannya. Karya-karyanya antara lain:
a. Taufan di Atas
Asia (kumpulan)
b. Dokter Rimbu (roman)
c. Kita Berjuang
d. Soal Agama Dalam
Negara Modern
13.
Maria Amin
Hasil karya pengarang wanita ini bercorak
simbolik. Karyany-karyanya antara lain:
a. Tinjaulah Dunia
Sana
b. Penuh Rahasia ( puisi
)
c. Kapal Udara (
puisi )
14.
Rosihan Anwar
Rosihan Anwar dikenal juga
sebagai jurnalis (wartawan). Banyak tulisannya
tentang tanggapan sosial, yaitu mengupas
masalah yang timbul dalam kehidupan. Ia pernah
memimpin harian Merdeka Asia Raya dan
Mingguan Siasat. Karya-karyanya antara lain:
a. Radio
Masyarakat (cerpen)
b. Raja Kecil, Bajak
Laut di Selat Malaka (roman)
c. Manusia Baru
(sajak)
d. Lukisan (sajak)
e. Seruan Nafas
(sajak)
15.
Waluyati
Dalam Angkatan ‘45 ada seorang penyair wanita bernama
Waluyati yang lahir di Sukabumi, 1924. Puisi-puisinya
dimuat dalam Pujani (1951), Gema tanah
Air (H.B. Jassin, 1975), dan Seserpih
Pinang Sepucuk Sirih (Toeti Heraty, 1979).
Karya-karyanya antara lain:
a. Berpisah
b. Siapa?
5. Fenomena Karya Angkatan ‘‘45
Dalam menuangkan
karyanya, Chairail Anwar menggunakan
bahasa Indonesia yang terbebas dari pola
bahasa Melayu. Ia menciptakan bahasa yang
lebih demokratis. Sebagai contoh, ia tidak
lagi menyatakan “beta” seperti dalam puisi
salah satu penyair Pujangga Baru, tetapi menyebut dirinya “aku”.
Hal ini dapat kita lihat dalam sajak Aku yang benar-benar bercorak baru. Meski
puisinya banyak diilhami puisi asing, namun puisi-puisinya memiliki gaya khas
yang hanya dimiliki oleh Chairil Anwar.
D. Angkatan ‘50
1. Sejarah Lahirnya Periode ‘50
Slamet Muljono pernah menyebut
bahwa sastrawan Angkatan ‘50 hanyalah pelanjut
(successor) saja, dari angkatan sebelumnya (’45). Tinjauan yang
mendalam dan menyeluruh membuktikan bahwa
masa ini pun memperlihatkan ciri-cirinya, yaitu:
a. Berisi
kebebasan sastrawan yang lebih luas di atas kebiasaan (tradisi) yang diletakan
pada tahun 1945.
b. Masa ‘50
memberikan pernyataan tentang aspirasi (tujuan yang terakhir dicapai nasional
lebih lanjut). Periode ‘50 tidak hanya pengekor
(epigon) dari angkatan ‘45, melainkan merupakan
survival, setelah melalui masa-masa kegonjangan. Adapun ciri-cirinya yang
lebih rinci adalah sebagai berikut:
1. Pusat kegiatan
sastra makin banyak jumlahnya dan makin
meluas daerahnya hampir di seluruh Indonesia, tidak hanya berpusat
di Jakarta dan Yogyakarta.
2. Terdapat pengungkapan
yang lebih mendalam terhadap kebudayaan
daerah dalam menuju perwujudan sastra nasional Indonesia.
3. Penilaian keindahan dalam sastra
tidak lagi didasarkan kepada kekuasaan asing, tetapi lebih kepada
peleburan (kristalisasi) antara ilmu dan
pengetahuan asing dengan perasaan dan ukuran nasional.
2. Ciri-ciri Periode 50-an
Angkatan 50-an ditandai dengan
terbitnya majalah sastra Kisah asuhan H.B.
Jasin. Ciri angkatan ini adalah karya sastra yang didominasi oleh cerita pendek
dan kumpulan puisi. Majalah tersebut bertahan sampai tahun 1956 dan diteruskan
dengan majalah sastra lainnya. Kemudian angkatan ini dikenal dengan karyanya
berupa sastra majalah Pada angkatan ini muncul gerakan
komunis dikalangan sastrawan yang bergabung dalam
Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), yang
berkonsep sastra realisme sosialis. Timbullah
perpecahan antara sastrawan sehingga menyebabkan
mandegnya perkembangan sastra, karena masuk ke
dalam politik praktis, sampai berakhir pada
tahun 1965 dengan pecahnya G30 S/PKI di Indonesia.
Adapun ciri-ciri dari periode ini antara lain:
a. Umumnya karya
sastrawan sekitar tahun 1950-1960-an;
b. Sampai tahun
1950-1955, sastrawan angkatan ‘45 juga masih menerbitkan karyanya;
c. Corak karya
cukup beragam, karena pengaruh faktor politik/idiologi partai;
d. Terjadi peristiwa G
30 S/PKI sehingga sastrawan Lekra disingkirkan.
3. Masalah yang Dihadapi Periode 50
a. Angkatan ’50
mengalami kendala dalam menerbitkan karya-karyanya, dikarenakan Balai Pustaka
sebagai penerbit utama buku-buku sastra, kedudukannya tidak menentu. Penerbit
ini bernaung dibawah P dan K dan pergantian status yang dilakukan hanya dalam
waktu yang singkat dan tidak menentu,
di tambah penempatan pemimpin yang bukan
ahli, sehingga tidak dapat mengelola anggaran
yang tersedia yang berakibat macetnya
produksi karya.
b. Setelah
Balai Pustaka yang mengalami kesulitan
penerbitan, penerbit yang lainnya pun
mengalami nasib serupa, seperti penerbit seperti Pembangunan dan Tintamas.
c. Oleh sebab itu,
karya-karya sastra hanya banyak bermunculan di majalah-majalah seperti Gelanggang/Siasat,
Mimbar Indonesia, Zenith, dan Pudjangga Baru. Oleh sebab itu pula karya yang
banyak ditampilkan terutama sajak, cerpen, dan karangan-karangan lain yang
pendek-pendek, sesuai dengan kebutuhan
majalah-majalah tersebut, maka tak anehlah kalau para
pengarang pun lantas hanya mengarang cerpen, sajak dan
karangan-karangan lain yang pendek-pendek.
Keadaan seperti itulah yang menyebabkan
lahirnya istilah sastra majalah. Istilah ini
dilansir dan diperkenelkan oleh Nugroho
Notosusanto dalam tulisannya Situasi 1954 yang dimuat di majalah Kompas
yang dipimpinnya.
4. Sastrawan Periode ‘50 dan Karyanya
1. Ajip Rosidi
Lahir di Jatiwangi,
Majalengka, 1938. Sejak berumur 13 tahun
sudah menulis di majalah-majalah sekolah, kemudian di majalah orang
dewasa. Karya-karyanya antara lain:
a. Cari Mauatan
(kumpulan sajak, 1956)
b. Ditengah keluarga
(1956)
c. Pertemuan
Kembali (1960)
d. Sebuah Rumah Buat
Hari Tua
e. Tahun-Tahun
Kematian (1955)
f. Ketemu di
Jalan$ (kumpulan sajak bersama Sobrone Aidit dan Adnan, 1956)
g. Perjalanan Pengantin
(prosa,1958)
h. Pesta (kumpulan
sajak, 1956)
2. Ali Akbar Navis
Lahir di Padang Panjang, 17 November 1924. Sejak tahun
1950 mulai terlibat dalam kegiatan sastra. Ia keluaran INS Kayu Taman.
Karya-karyanya antara lain:
a. Bianglala
(kumpulan cerita pendek, 1963)
b. Hujan Panas (kumpulan
cerita pendek, 1963)
c. Robohnya Surau
Kami (kumpulan cerita pendek, 1950)
d. Kemarau (novel, 1967)
3. Bokor Hutasuhut
Karyanya seperti Datang Malam (1963)
4. Enday Rasyidin
Karyanya Surat Cinta
5. NH. Dini
NH. Dini, nama lengkapnya
Nurhayati Suhardini, lahir 29 Pebruari
1936. Setelah menamatkan SMA 1956, lalu
masuk kursus stewardess, kemudian bekerja
di GIA Jakarta. Karya-karyanya banyak mengisahkan kebiasaan barat
yang bertentangan dengan timur. Karya-karyanya antara lain:
a. Dua Dunia
(1950)
b. Hati yang Damai
(1960)
6. Nugroho Notosusanto
Lahir di Rembang, 15
Juni 1931. Dia bergerak dalam
kemasyarakatan dan pernah menjadi Tentara Pelajar, lulusan Fakultas
sastra UI Jakarta. Karya-karyanya antara lain:
a. Hujan Kepagian
(kumpulan cerita pendek, 1958)
b. Rasa Sayange (1961)
c. Tiga Kota
(1959)
d. Hujan Tanahku Hijau
Bajuku (kumpulan cerita pendek, 1963)
7. Ramadhan K.H
Lahirkan di Bandung, 16
Maret 1927. Namanya mulai muncul sekitar
tahun 1952. Karyanya berupa sajak, cerita
pendek, dan terjemahan-terjemahan karya Lorca,
pengarang Spanyol. Karya-karyanya antara lain:
a. Api dan
Sirangka
b. Priangan si Jelita
(kumpulan sajak, 1958, mendapat hadiah BMKM)
c. Yerna
(terjemahan dari Lorca, 1959)
8. Sitor Situmorang
Lahir di Tapanuli, 21 Oktober 1924. Dia adalah
angkatan ‘45, yang tetap produktif menghasikan karya di tahun 50-an. Karya-karyanya
antara lain:
a. Pertempuran dan
Salju di Paris (1956, mendapat hadiah dari BMKM)
b. Jalan Mutiara
(kumpulan tiga sandiwara, 1954)
c. Surat Kertas
Hijau (kumpulan sajak, 1953)
d. Wajah Tak Bernama
(kumpulan sajak, 1955)
e. Jaman Baru
(kumpulan sajak)
f. Dalam sajak
9. Subagio Sastrowardojo
Karyanya antara lain:
a. Simphoni
(sajak, 1957)
b. Kejantanan di Sumbing
(1965)
c. Perawan Tua
(cerpen)
d. Daerah perbatasan
e. Salju.
10.
Titis Basino
Karyanya antara lain: Dia, Hotel, Surat Keputusan
(cerpen, 1963).
11.
Toto Sudarto Bachtiar
Lahir di Palimanan, Cirebon,
12 Oktober 1929. Pendidikannya Cultuur-School di
Tasikmalaya tahun 1946, Mulo Bandung 1948,
SMA Bandung 1950, dan Fakultas Hukum UI.
Karya-karyanya antara lain:
a. Suara (kumpulan
sajak, 1950-1955)
b. Elsa (kumpulan sajak,
1958)
12.
Trisnojuwono
Lahir di Yoyakarta, 5 Desember 1929. Dia menamatkan
SMA tahun 1947. Sejak 1946 masuk Tentara Rajyat
Mataram, 1947-1948 anggota Corps Mahasiswa
di Magelang dan Jombang. Tahun 1950 masuk
tantara Siliwangi, Combat Intelligence, Kesatuan
Komando, Pasukan Payung AURI sampai dapat Brevet. Karya-karyanya antara
lain:
a. Laki-laki dan
Mesiu (kumpulan cerita pendek, 1951/1957)
b. Angin Laut (kumpulan
cerita pendek, 1958)
c. Di Medan Perang
(1962)
d. Pagar Kawat Berduri.
13.
Muhammad Ali
Lahir di Surabaya, 25 April 1927. Pandidikannya HIS
dan kursus-kursus bahasa pada masa Jepang. Dia bekerja
di Kotapraja Surabaya, menjadi redaktur
Mingguan Pemuda dan Mingguan Pahlawan (1949-1950). Ia mulai
bergerak di bidang Sastra tahun 1942. Karya-karyanya antara lain:
a. Siksa dan
Bayangan (Balai Buku Surabaya, 1955)
b. Persetujuan dengan
Iblis
c. Kubur Tak
Bertanda (1955)
d. Hitam Atas Putih
(1959)
14.
Alexander Leo
Lahir di Lahat, 1935. Pendidikannya SMA Malang 1945.
Kemudian bekerja di Balai Pustaka bagian redaksi. Karya-karyanya antara
lain:
a. Orang-orang
yang Kembali (kumpulan cerita pendek, 1956)
b. Mendung (Novel)
15.
Toha Muchtar
Karya-karyanya antara lain:
a. Pulang (novel,
1958)
b. Daerah Tak Bertuan (
1963)
c. Bukan Karena
Kau (1968)
d. Kabut Rendah (1968)
16.
Riono Praktikto
Lahir di Semarang, 27
Agustus 1932. Pendidikannya SMP 195, kemudian
masuk Fakultas Pengetahuan Tehnik bagian bangunan umum. Karyanya-karyanya
antara lain:
a. Api (kumpulan
cerita pendek, 1951)
b. Si Rangka (1958)
17.
Kirdjomuljo
Lahir di Yogyakarta, 1930. Sejak tahun 1958 termasuk
penyair produktif. Karyanya antara lain Romance Perjalanan (1955).
18.
Montinggo Busje
Karya-karyanya antara lain:
a. Malam Jahanam
(drama, mendapat hadiah ke-1 Departemen P &K)
b. Hari Ini Tak Ada
Cinta
c. Sejuta Matahari
d. Malam Penganten di
Bukit Kera (Novel)
19.
Misbah Jusa Biran
Karyanya antara lain Bung Besar (drama, mendapat
hadiah ke-2).
20.
Nasjah Jamin
Karya-karyanya antara lain:
a. Sekelumit
Nyanyian Sunda (drama, mendapat hadiah ke-3)
b. Hilanglah Si Anak
Hilang (novel, 1936)
c. Di Bawah Kaki
Pak Dirman (kumpulan cerita pendek, 1967)
21.
N. Susy Aminah Aziz
Lahir di Jakarta, 24 Oktober 1937. Sejak 1957 menulis
sajak dan cerita pendek dalam majalah-majalah di ibu kota. Ia juga deklamator
Tunas Mekar RRI Jakarta. Karya-karyanya antara lain:
a. Seraut Wajahku
(kumpulan sajak, 1961)
b. Tetesan Embun
(kumpulan sajak, 1961)
c. Mutiaraku
Hilang (novel biografi)
22.
Titie Said
Lahir di Bojonegoro, 11
Juni 1935. Ia pernah menjadi redaksi
majalah wanita. Karyanya antara lain Perjuanagan dan Hati Perempuan
(kumpulan cerita pendek, 1962)
23.
W.S. Rendra
Karya-karyanya antara lain:
a. Balada
Orang-orang Tercinta (1957)
b. Empat Kumpulan Sajak
(1961)
c. Ia Sudah
Bertualang dan Cerita-Cerita Pendek Lainya (1963)
24.
Iwan Simatupang
Lahir di Sibolga, 18
Januari 1928. Dia merupakan sastrawan
modern yang pernah dimiliki Indonesia. Iwan
sangat taat mempraktikan filsafat
eksistensialisme dalam karya-karyanya. Ia juga
dikenal sebagai penulis puisi, cerpen, esai,
dan drama. Iwan adalah sastrawan yang
mewakili paradigma postmodernisma dan menganut
civil society international. Dalam pandangan Iwan, penyakit kebudayaan
seperti etatisme, liberalisme, dan individualisme dapat
diselesaikan atau disembuhkan melalui pertolongan
orang luar (di antaranya satrawan-penulis) secara
proposional, sistematis, dan universal. Esainya
banyak menghiasi majalah-majalah kebudayaan seperti
Zenith (1951-1954), Kisah (1953-1957), Mimbar Indonesia,
Siasat, dan Sastra (1961-1964). Karya-karyanya antara lain:
a. Bulan Bujur
Sangkar
b. Taman Drama,
kemudian dibukukan menjadi Petang di Taman.
c. RT Nol /RW Nol
d. Lebih Hitam dari
Hitam (cerpen, 1959)
e. Ziarah, Kering
dan Merahnya Merah (1968).
E. Angkatan 60-an
Angkatan ini
ditandai dengan terbitnya majalah sastra Horison. Semangat avant-garde
sangat menonjol pada angkatan ini. Banyak karya sastra pada angkatan ini
yang sangat beragam dalam aliran sastra, antara lain munculnya karya sastra
beraliran surrealistik, arus kesadaran, arketip, absurd,
dan lain-lain pada masa angkatan ini di Indonesia. Penerbit Pustaka Jaya
sangat banyak membantu dalam menerbitkan karya karya sastra pada masa angkatan
ini. Sastrawan pada akhir angkatan yang lalu termasuk juga dalam kelompok
ini seperti Motinggo Busye, Purnawan Tjondronegoro, Djamil Suherman, Bur
Rasuanto, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono dan Satyagraha Hoerip Soeprobo
dan termasuk paus sastra Indonesia, H.B. Jassin.
Seorang
sastrawan pada angkatan 50-60-an yang mendapat tempat pada angkatan ini adalah
Iwan Simatupang. Pada masanya, karya sastranya berupa novel, cerpen dan
drama kurang mendapat perhatian bahkan sering menimbulkan kesalahpahaman; ia
lahir mendahului zamannya.
1. Sutardji Calzoum Bachri
Sutardji
Calzoum Bachri lahir di Rengat, Indragiri Hulu pada tanggal 24 Juni 1941 adalah
pujangga Indonesia terkemuka. Setelah lulus SMA Sutardji Calzoum Bachri
melanjutkan studinya ke Fakultas Sosial Politik Jurusan Administrasi Negara,
Universitas Padjadjaran, Bandung. Pada mulanya Sutardji Calzoum Bachri mulai
menulis dalam surat kabar dan mingguan di Bandung, kemudian sajak-sajaknyai
dimuat dalam majalah Horison dan Budaya Jaya serta ruang kebudayaan Sinar
Harapan dan Berita Buana.
Dari
sajak-sajaknya itu Sutardji memperlihatkan dirinya sebagai pembaharu perpuisian
Indonesia. Terutama karena konsepsinya tentang kata yang hendak dibebaskan dari
kungkungan pengertian dan dikembalikannya pada fungsi kata seperti dalam
mantra.
Pada musim
panas 1974, Sutardji Calzoum Bachri mengikuti Poetry Reading International di
Rotterdam. Kemudian ia mengikuti seminar International Writing Program
di Iowa City, Amerika Serikat dari Oktober 1974 sampai April 1975. Sutardji
juga memperkenalkan cara baru yang unik dan memikat dalam pembacaan puisi di
Indonesia. Sejumlah sajaknya telah diterjemahkan Harry Aveling ke dalam bahasa
Inggris dan diterbitkan dalam antologi Arjuna in Meditation (Calcutta,
India), Writing from the World (Amerika Serikat), Westerly Review
(Australia) dan dalam dua antologi berbahasa Belanda: Dichters in Rotterdam (Rotterdamse
Kunststichting, 1975) dan Ik wil nog duizend jaar leven, negen
moderne Indonesische dichters (1979). Pada tahun 1979, Sutardji dianugerah
hadiah South East Asia Writer Awards atas prestasinya dalam sastra di
Bangkok, Thailand.
O Amuk Kapak
merupakan penerbitan yang lengkap sajak-sajak Calzoum Bachri dari periode
penulisan 1966 sampai 1979. Tiga kumpulan sajak itu mencerminkan secara jelas
pembaharuan yang dilakukannya terhadap puisi Indonesia modern.
2. Abdul Hadi Widji Muthari
Abdul Hadi
Widji Muthari (lahir di Sumenep, Madura, Jawa Timur, 24 Juni 1946; umur 62
tahun) adalah salah satu sastrawan Indonesia. Sejak kecil ia telah mencintai
puisi. Penulisannya dimatangkan terutama oleh karya-karya Amir Hamzah dan
Chairil Anwar, ditambah dengan dorongan orang tua, kawan dan gurunya.
Beberapa karyanya :
1. Meditasi (1976)
2. Laut Belum
Pasang (1971)
3. Cermin (1975)
4. Potret Panjang
Seorang Pengunjung Pantai Sanur (1975)
5. Tergantung Pada
Angin (1977)
6. Anak Laut, Anak
Angin (1983)
3. Sapardi Djoko Damono
Prof. Dr.
Sapardi Djoko Damono (lahir di Surakarta, 20 Maret 1940; umur 68 tahun) adalah
seorang pujangga Indonesia terkemuka. Ia dikenal dari berbagai puisi-puisi yang
menggunakan kata-kata sederhana, sehingga beberapa di antaranya sangat
populer. Beberapa karyanya :
1. Dukamu Abadi –
(kumpulan puisi)
2. Mata Pisau dan
Akuarium – (kumpulan puisi)
3. Perahu Kertas –
(kumpulan puisi)
4. Sihir Hujan –
(kumpulan puisi)
5. Hujan Bulan Juni
– (kumpulan puisi)
6. Arloji –
(kumpulan puisi)
7. Ayat-ayat Api –
(kumpulan puisi)
4. Goenawan Soesatyo Mohammad
Goenawan
Soesatyo Mohamad (lahir di Karangasem, Batang, Jawa Tengah, 29 Juli 1941; umur
67 tahun) adalah seorang sastrawan Indonesia terkemuka. Ia juga salah seorang
pendiri Majalah Tempo. Penyair, esais, wartawan, yang sampai sekarang
menjadi pimpinan umum majalah Tempo ini termasuk penanda tangan Manifes
Kebudayaan. GM adalah juga penerima Anugerah Seni pemerintah RI, penerima
Hadiah A. Teeuw tahun 1992 dan Hadiah Sastra ASEAN tahun 1981.Di samping
prestasi-prestasi di atas, GM pernah menjadi wartawan Harian KAMMI, anggota
DKJ, pimred Express, pimred majalah Zaman, redaktur Horison, anggota Badan
Sensor Film.
Ia menulis
kumpulan sanjak Interlude, Parikesit (1971);kumpulan esai Seorang Penyair Muda
Sebagai Si Malinkundang (1972); Catatan Pinggir I (1982), Catatan Pinggir 2
(1989), Catatan Pinggir 3 yang dihimpun dari majalah Tempo. Karyanya yang
lain: Asmaradahana (kumpulan puisi, 1992); Seks, Sastra, Kita (kumpulan esai);
Revolusi Belum Selesai” (kumpulan esai); Misalkan Kita di Serayewo (antologi
puisi, 1998).
Goenawan
Mohamad adalah seorang intelektual yang punya wawasan yang begitu luas, mulai
pemain sepak bola, politik, ekonomi, seni dan budaya, dunia perfilman, dan
musik. Pandangannya sangat liberal dan terbuka. Seperti kata Romo
Magniz-Suseno, salah seorang koleganya, lawan utama Goenawan Mohamad adalah
pemikiran monodimensional. Beberapa karya Goenawan Mohammad antara lain :
1. Interlude
2. Parikesit
3. Potret Seorang
Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang – (kumpulan esai)
4. Asmaradana
5. Misalkan Kita
di Sarajevo
5. Iwan Martua Dongan Simatupang
Iwan Martua
Dongan Simatupang lahir di Sibolga, Sumatera Utara tanggal 18 Januari 1928. Ia
belajar di HBS di Medan, lalu melanjtukan ke sekolah kedokteran (NIAS) di
Surabaya tapi tidak selesai. Kemudian belajar antropologi dan filsafat di
Leiden dan Paris. Tulisan-tulisannya dimuat di majalah Siasat dan Mimbar
Indonesia mulai tahun 1952. Karya novel yang terkenal Merahnya Merah
(1968) mendapat hadiah sastra Nasional 1970, dan Ziarah (1970) mendapat hadiah
roman ASEAN terbaik 1977. Iwan Simatupang meninggal di Jakarta 4 Agustus
1970. Beberapa karyanya antara lain :
1. Ziarah
2. Kering
3. Merahnya Merah
4. Koong
5. RT Nol / RW Nol
– (drama)
6. Tegak Lurus
Dengan Langit
6. Taufiq Ismail
Taufiq
Ismail (lahir di Bukittinggi, 25 Juni 1935; umur 73 tahun) ialah seorang sastrawan
Indonesia. Pengkategoriannya sebagai penyair Angkatan ’66 oleh Hans Bague
Jassin merisaukannya, misalnya dia puas diri lantas proses penulisannya macet.
Ia menulis buku kumpulan puisi, seperti Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Tirani
dan Benteng, Tirani, Benteng, Buku Tamu Musim Perjuangan, Sajak Ladang Jagung,
Kenalkan, Saya Hewan, Puisi-puisi Langit, Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif
Lekra/PKI dkk, Ketika Kata Ketika Warna, Seulawah-Antologi Sastra Aceh, dan
lain-lain.
Penyair ini
terkenal dengan kumpulan sanjak Tirani dan Benteng, tertbit tahun 1966. Sanjak
berjudul Seorang Tukang Rambutan dan Istrinya, Karangan Bunga, Sebuah Jaket
Berlumur Darah, Kami adalah Pemilik Sah Republik Ini, Yang Kami Minta Hanyalah…
bisa dijumpai dalam buku-buku tersebut. Kumpulan sanjaknya yang lain, Sajak
Ladang Jagung (1973) terbit setelah ia pulang dari Amerika. Dalam buku
tersebut, kita bisa membaca Kembalikan Indonesia Padaku, Beri Daku Sumba,
Bagaimana Kalau ….. Sejak puluhan tahun yang lalu (1974) Taufiq bekerja sama
dengan Bimbo Group dalam penulisan lirik lagu. Kita bisa dengar nikmati lagu
dan lirik Aisyah Adinda Kita, Sajadah Panjang, Balada Nabi-nabi, Bermata tapi
Tak Melihat, Ibunda Swarga Kita, dan lain-lain dari dirinya. Taufiq Ismail juga
menulis Sajak-sajak Si Toni, Balai-balai, Membaca Tanda-tanda, Abad ke-15
Hijriah, Rasa Santun yang Tidur, Puisi-puisi Langit.
Pada awal
tahun 1994 diluncurkan buku antologi puisi berjudul Tirani dan Benteng cetak
ulang dua kumpulan puisinya yang terkenal itu. Buku tersebut diberi pengantar
oleh sang penyair secara cukup panjang dan mendalam. Di antara kata pengantar
dan dua kumpulan sanjak tersebut disertakan pula dalam buku ini Sajak-sajak
Menjelang Tirani dan Benteng. Pada tahun-tahun seputar Reformasi ditulisnya
puisi berjudul Takut 98 dan antologi puisi Malu Aku Jadi Orang Indonesia
(MAJOI) terbit tahun 1998. Bersama DS Mulyanto, rekan sastrawan Angkatan ’66,
Taufiq Ismail mengeditori buku tebal berjudul Prahara Budaya (antologi esai,
1995), bersama LK Ara dan Hasyim Ks menyusun buku tebal juga berjudul Seulaweh
Antologi Sastra Aceh (1995).
7.
Bur Rasuanto
Bur Rasuanto dilahirkan di Palembang, 6 April
1937, adalah pengarang, penyair, wartawan. Ia menulis kumpulan cerpen Bumi yang
Berpeluh (1963) dan Mereka Akan Bangkit (1963). Bur Rasuanto juga menulis roman
Sang Ayah (1969); Manusia Tanah Air (1969) dan novel Tuyet (1978).
8.
Subagio Sastrawardoyo
Subagio
Sastrawardoyo dilahirkan
di Madiun, 1 Febuari 1924, meninggal di Jakarta, 18 Juli 1995. Penyair,
pengarang, esais ini, pernah menjadi redaktur Balai Pustaka, dosen bahasa
Indonesia di Adelaide, dosen FS UGM, SESKOAD Bandung, Universitas Flinders,
Australia Selatan. I menulis kumpulan sanjak Simphoni (1957); Daerah
Perbatasan, Kroncong Motenggo (1975). Kumpulan esainya berjudul Bakat Alam dan
Intelektualisme (1972); ManusiaTerasing di Balik Simbolisme Sitor, Sosok
Pribadi dalam Sajak (1980); antologi puisi Hari dan Hara; kumcerpen Kejantanan
di Sumbing (1965). Cerpennya Kejantanan di Sumbing dan puisinya Dan Kematian
Makin Akrab meraih penghargaan majalah Kisah dan Horison.
9.
Titie Said Sadikun
Titie Said
Sadikun dilahirkan
di Bojonegoro, 11 Juli 1935. Pengarang dan wartawati yang pernah menjadi
redaktur majalah Wanita, Hidup, Kartini, Famili ini menulis kumpulan cerpen
Perjuangan dan Hati Perempuan (1962), novel Jangan Ambil Nyawaku (1977), Lembah
Duka, Fatimah yang difilmkan menjadi Budak Nafsu, Reinkarnasi, Langit Hitam di
Atas Ambarawa.
10.
Arifin C. Noer
Arifin C.
Noer dilahirkan
di Cirebon 10 Maret 1941, meninggal di Jakarta 28 Mei 1995. Penyair yang
juga dramawan dan sutradara film ini menulis sanjak Dalam Langgar, Dalam
Langgar Purwadinatan, naskah drama Telah Datang Ia, Telah Pergi Ia , Matahari
di Sebuah Jalan Kecil , Monolog Prita Istri Kita dan Kasir Kita (1972, Tengul
(1973), Kapai-kapai (1970), Mega-mega (1966), Umang-umang (1976), Sumur Tanpa
Dasar (1975), Orkes Madun, Aa Ii Uu, Dalam Bayangan Tuhan atawa Interogasi,
Ozon. Karya-karyanya yang lain: Nurul Aini (1963); Siti Aisah (1964); Puisi-puisi
yang Kehilangan Puisi-puisi (1967); Selamat pagi, Jajang (1979); Nyanyian Sepi
(1995); drama Lampu Neon (1963); Sepasang Pengantin (1968); Sandek,Pemuda
Pekerja (1979)
Selain
penyair dan dramawan yang memimpin Teater Kecil, Arifin C. Noer juga penulis
skenario dan sutradara film yang andal. Karya skenarionya antara lain: G 30
S/PKI; Serangan Fajar; Taksi; Taksi Juga; Bibir Mer.
Film-film
yang disutradarinya: Pemberang (1972); Rio Anakku (1973); Melawan badai (1974);
Petualang-petualang (1978); Suci Sang Primadona (1978); Harmonikaku (1979).
Pada tahun 1972 Arifin menerima Hadiah Seni dari Pemerintah RI dan pada tahun
1990 menerima Hadiah Sastra ASEAN.
11.
Hartoyo Andangjaya
Hartoyo
Andangjaya dilahirkan
di Solo 4 Juli 1930, meninggal di kota ini juga pada 30 Agustus 1990. Penyair
yang pernah menjadi guru SMP dan SMA di Solo dan Sumatra Barat ini menulis
sanjak-sanjak terkenal berjudul Perempuan-perempuan Perkasa, Rakyat, juga
Sebuah Lok Hitam, Buat Saudara Kandung. Sanjak-sanjak tersebut bisa dijumpai
dalam bukunya Buku Puisi (1973). Musyawarah Burung (1983) adalah karya
terjemahan liris prosaya tokoh sufi Fariduddin Attar. Seratusan puisi karya
penyair sufi terbesar sepanjang sejarah, Maulana Jalaluddin Rumi, diambil dari
Diwan Syamsi Tabriz, diterjemahkan dan dihimpunnya di bawah judul buku Kasidah
Cinta.
Hartoyo juga
menulis antologi puisi Simponi Puisi (bersama DS Mulyanto, 1954), Manifestasi
(bersama Goenawan Mohamad dan Taufiq Ismail, 1963), kumpulan syair Dari Sunyi
ke Bunyi (1991).Karya-karya terjemahannya: Tukang Kebun (Tagore, 1976), Kubur
Terhormat bagi Pelaut (antologi puisi J. Slauerhoff, 1977), Rahasia hati (novel
Natsume Suseki,1978); Puisi Arab Modern (1984).Hartoyo Andangjaya termasuk
penanda tangan Manifes Kebudayaan.
12.
Slamet Sukirnanto
Slamet
Sukirnanto dilahirkan
di Solo 3 Maret 1941. Penyair ini menulis buku kumpulan puisi Kidung
Putih(1967); Gema Otak Terbanting; Jaket Kuning (1967), Bunga Batu (1979),
Catatan Suasana (1982), Luka Bunga (1991). Bersama A. Hamid Jabbar, Slamet
mengeditori buku Parade Puisi Indonesia (1993). Dalam buku itu, termuat
sanjak-sanjaknya: Rumah, Rumah Anak-anak Jalanan, Kayuh Tasbihku, Gergaji, Aku
Tak Mau; Bersama Sutarji Calzoum Bachri dan Taufiq Ismail, Slamet menjadi
editor buku Mimbar Penyair Abad 21.
13.
Mohammad Diponegoro
Mohammad
Diponegoro dilahirkan
di Yogya 28 Juni 1928, meninggal di kota yang sama 9 Mei 1982. Pengarang,
dramawan, pendiri Teater Muslim, penyiar radio Australia ini menulis
cerpen Kisah Seorang Prajurit, roman Siklus, terjemahan puitis juz Amma
Pekabaran/Kabar Wigati (1977), kumpulan esai ketika ia menjadi redaktur Suara
Muhammadiyah berjudul Yuk, Nulis Cerpen, Yuk (1985). Mohammad Diponegoro juga menulis
antologi puisi bersama penyair lain bertajuk Manifestasi (1963), drama Surat
pada Gubernur, Iblis (1983), buku esai Percik-percik Pemikiran Iqbal (1984),
antologi cerpen Odah dan Cerita Lainnya (1986).
14.
Hariyadi Sulaiman Hartowardoyo
Hariyadi
Sulaiman Hartowardoyo dilahirkan
di Prambanan, 18 Maret 1930, meninggal di Jakarta, 9 April 1984, mengarang
roman Orang Buangan (1971), dan Perjanjian dengan Maut (1975), kumpulan sanjak
Luka Bayang (1964), menerjemahkan epos Mahabharata. Hariyadi juga menulis buku
astrologi Teropong Cinta (1984).
15.
Satyagraha Hurip
Satyagraha
Hurip dilahirkan
di Lamongan 7 April 1934, meninggal di Jakarta 14 Oktober 1998, mengarang
cerpen Pada Titik Kulminasi, kumcerpen Tentang Delapan Orang, novel Sepasang
Suami Istri (1964), Resi Bisma (1960), serta menyunting antologi esai Sejumlah
Masalah Sastra (1982). Karya-karyanya yang lain: Burung Api (cerita anak-anak,
1970); Sarinah Kembang Cikembang (kumcerpen, 1993). Satyagraha adalah editor
buku Cerita Pendek Indonesia I – IV (1979) dan penulis terjemahan Keperluan
Hidup Manusia (novel Leo Tolstoy, 1963).
Cerpen-cerpennya
dimuat di Kompas, Republik, Matra, antara lain: Surat Kepada Gubernur, Sang
Pengarang. Ia juga menulis kumpulan cerpen Gedono-Gedini (1990) dan Sesudah
Bersih Desa (1989).
16.
Titis Basino PI
Titis Basino
PI dilahirkan
di Magelang 17 Januari 1939, menulis cerpen Rumah Dara, novel Pelabuhan Hati (1978);
Di Bumi Aku Bersua di Langit Aku Bertemu (1983); Bukan Rumahku (1983); Welas
Asih Merengkuh Tajali (1997); Menyucikan Perselingkuhan (1998), Dari
Lembah ke Coolibah (1997); Tersenyum pun Tidak untukku Lagi (1998); Aku Supiyah
Istri Hardian (1998); Bila Binatang Buas Pindah Habitat (1999); Mawar Hitam
Milik Laras (2000); Hari yang Baik (2000). Pada tahun 1999 Titis menerima
Hadiah Sastra Mastera.
17.
Bambang Sularto
Bambang
Sularto dilahirkan
di Purworejo 11 September 1934, meninggal di Yogyakarta tahun 1992, terkenal
dengan dramanya Domba-domba Revolusi (1962). Juga ditulisnya novel Tanpa Nama
(1963); Enam Jam di Yogya,drama tak Terpatahkan (1967); buku Teknik Menulis
Lakon (1971)
18.
Jamil Suherman
Jamil
Suherman dilahirkan
di Surabaya 24 April 1924, meninggal di Bandung 39 November 1985. mengarang
roman Perjalanan ke Akhirat; kumcerpen Ummi Kulsum(1963), kumpulan sanjak
Nafiri (1983), novel Pejuang-pejuang Kali Pepe (1984); Sarip Tambak Oso (1985)
. Juga menulis drama yang sangat terkenal berjudul Mahkamah di Seberang Maut.
19.
Umar Kayam
Umar Kayam dilahirkan di Ngawi 30 Maret 1932,
Guru Besar UGM sang budayawan dan pameran Bung Karno yang menulis
kumcerpen Seribu Kunang-kunang di Manhattan (1972) dan Sri Sumarah dan Bawuk
(1975).
Novelnya
yang sangat terkenal berjudul Para Priyayi (1992) dan Jalan Menikung (2000).
Karyanya yang lain berjudul Ke Solo ke Jati dan Bi Ijah, keduanya berbentuk
cerpen, kumcerpen Parta Krama (1997), kumpulan esai Seni, Tradisi, Masyarakat
(1981); kumpulan kolom Mangan Ora Mangan Kumpul, Sugih Tanpa Bandha, Madhep
Ngalor Madhep Ngidul. Pada tahun 1987 Umar Kayam memperoleh Hadiah Sastra ASEAN
20.
Budiman S. Hartoyo
Budiman S. Hartoyo dilahirkan di Solo 5 Desember 1938 menulis antologi
puisi Lima Belas Puisi (1972) ; Sebelum Tidur (1977). Banyak menulis
puisi-puisi religius, di antaranya puisi tentang pengalaman spiritualnya ketika
ia beribadah haji ke Tanah Suci. Dalam bunga rampai Laut Biru Langit Biru
susunan Ayip Rosidi bisa dibaca sanjak-sanjak sufistiknya antara lain: Jarak
Itu pun Makin Menghampir, Bukalah Pintu Itu, Di depan-Mu Aku Sirna Mendebu.
21.
Gerson Poyk
Gerson Poyk dilahirkan di Pulau Rote Timor 16
Juni 1931 mengarang novel Sang Guru (1971), kumcerpen Matias Anankari (1975),
novelet Surat Cinta Rajagukguk, Cinta Pertama, Kecil Itu Indah Kecil Itu Cinta.
Gerson juga menulis cerpen berjudul Bombai, Puting Beliung, Pak Begowan Filsuf
Hati Nurani;.
22.
Ramadhan K.H.
Ramadhan
K.H. dilahirkan
di Bandung, 15 Maret 1927, meninggal di Cape Town, Afrika Selatan, 15 Maret
2006, adalah penyair, novelis, penerjemah. Sebentar berkuliah di ITB, pindah ke
Akademi Dinas Luar Negeri, pernah bekerja di Sticusa Amsterdam, pernah menjadi
redaktur majalah Kisah, Siasat, Budaya Jaya, anggota DKJ, direktur pelaksana
DKJ., mengikuti Festival Penyair Internasional di Amsterdam tahun 1992,
mewakili Indonesia dalam Kongres Penyair Sedunia dfi Taipeh tahun 1993, pernah
bermukim di Falencia, Spanyol, Paris, Los Angeles, Jenewa, Bonn.
Ramadhan
menulis kumpulan sanjak Priangan Si Jelita. Terkenal dengan romannya Royan
Revolusi, novelnya Kemelut Hidup mengangkat tema sosial dengan mengetengahkan
sebuah figur yang jujur, seperti Si Mamad nya Syuman Jaya. Novelnya yang lain
berjudul Keluarga Permana, dari perjalanan cinta Inggit Ganarsih dengan
Bung Karno, ditulisnya roman biografi Kuantar Ke Gerbang. Karya-karya Frederico
Garsia Lorca, sastrawan Spanyol, diterjemahkan menjadi Romansa Kaum Gitana.
Ramadhan
menulis novel yang mengasosiasikan pembaca pada korupsi yang terjadi di
Pertamina berjudul Ladang Perminus Bersama G. Dwipayana, Ramadhan menulis
otobiografi Suharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindak Saya.
23.
Muhammad Saribi Afn
Muhammad Saribi Afn dilahirkan
di Klaten 15 Desember 1936, penyair dengan kumpulan sanjaknya Gema Lembah
Cahaya (1963). Karyanya yang lain, sebuah antologi bersama penyair-penyair
Islam berjudul Manifestasi. Di Panji Masyarakat, ia menulis puisi panjang Yang
Paling Manis ialah Kata. Dari mendengarkan kuliah subuh Buya HAMKA, lahirlah
bukunya Hamka Berkisah tentang Nabi dan Rasul.
24.
Mansur Samin
Mansur Samin
dilahirkan
di Batangtoru Sumatra Utara 29 April 1930, penyair, pengarang cerita
kanak-kanak, wartawan, guru. Kumpulan sanjaknya Perlawanan (1966) dan Tanah Air
(1969) merupakan sanjak-sanjak demonstrasi atau rekaman peristiwa kebangkitan
Orde Baru, sebagaimana Tirani dan Benteng karya Taufiq Ismail dan Mereka Telah
Bangkit karya Bur Rasuanto. Juga menulis antologi puisi Dendang Kabut Senja
(1969), Sajak-sajak Putih (1996), drama Kebinasaan Negeri Senja (1968)
Cerkan-cerkannya antara lain: Si Bawang, Telaga di Kaki Bukit, Gadis Sunyi,
Empat Saudara, Berlomba dengan Senja.
25.
Rahmat Joko Pradopo
Rahmat Joko Pradopo dilahirkan di Klaten 3 November 1939,
penyair yang juga Guru Besar dari Fakultas Sastra UGM. Ditulisnya antologi
puisi Matahari Pagi di Tanah Air (1967), Hutan Bunga (1990); Jendela Terbuka
(1993). Sebagai ahli sastra, Rahmat menulis buku berjudul Pengkajian Puisi
(1987); Bahasa Puisi Nyanyi Sunyi dan Deru Campur Debu (1982); Beberapa Teori
Sastra, Metode Kreitik dan Penerapannya (1995).
F. Angkatan Kontemporer
1. Periode Angkatan 70’an
a. Ikhwal Periode 70-an
Tahun 1960-an
adalah tahun-tahun subur bagi kehidupan dunia perpuisian Indonesia. Tahun
1963 sampai 1965 yang berjaya adalah
para penyair anggota Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat).
Karya Sastra sekitar tahun 1966 lazim
disebut angkatan ‘66. H.B. Jassin menyebut
bahwa pelopor angkatan ‘66 ini adalah
penyair-penyair demonstran, seperti Taufiq Ismail,
Goenawan Mohamad, Mansur Samin, Slamet Kirnanto, dan sebagainya. Tahun
1976 muncul puisi-puisi Sutardji Calzoum
Bachri yang menjadi cakrawala baru dalam dunia perpuisian
Indonesia. Berikut ini disajikan beberapa penyair dan karyanya.
b. Sastrawan Angkatan 70-an dan Karyanya
1. Goenawan Mohamad
Lahir
di Batang, Jawa Tengah, 29 juli 1941.
Ia adalah tokoh pejuang angkatan ‘66 dalam
bidang sastra budaya. Memimpin majalah
Tempo sejak 1971 hingga tahun 1998. Tahun 1972
mendapatkan Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia dan pada tahun 1973
ia mengikuti Festival Penyair Internasional
di Rotterdam. Ia banyak menulis puisi
dengan dasar dongeng-dongeng daerah atau
cerita wayang disertai renungan kehidupan. Buku
kumpulan puisinya adalah Parikesit (1972), Potret Seorang Penyair Muda Sebagai
Si Malin kundang (1972), Interclude (1973),
Asmarandana (1995), dan Misalkan Kita di Sarajevo
(1998).
2. Taufiq Ismail
Lahir
di Bukit Tinggi, 25 Juni 1937.
Dibesarkan di Pekalongan, putra seorang wartawan
berdarah Minang. Ia merupakan dokter hewan lulusan IPB. Ia juga dikenal sebagai
dramawan terkenal di Bogor pada era 1960-an. Taufiq Ismail
dikenal sebagai penyair puisi-puisi demonstrasi.
Ia sendiri aktif dalam demonstrasi. Kumpulan puisinya
dibukukan dalam Tirani (1966) dan Benteng (1966). Pernah mengikuti Festival
Penyair Internasional di Rotterdam (1971), International Writing Programm di
Universitas Lowa (1973-1972), dan Kongres Penyair Dunia di Taipei (1973).
Ia pernah menerima Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia tahun 1970.
Kumpulan puisinya yang lain adalah Puisi-Puisi Sepi (1971), Pelabuhan, Ladang,
Angin, dan Langit (1971), dan Sajak-sajak Ladang Jagung (1975).
3. Sapardi Djoko Darmono
Puisi-puisi
Sapardi Djoko Damono dikenal sebagai puisi
“sangat sopan”, “sangat gramatikal”, dan “sangat lembut”. Semula
sang penyair tidak pernah dikaitkan dengan puisi-puisi protes
atau kritik sosial, namun kesan itu
hilang setelah ia menulis Ayat-ayat Api
(2000). Meskipun ada kesan bahwa puisi-puisi
Sapardi adalah puisi-puisi kamar yang harus
dibaca dalam keadaan sunyi, namun banyak
juga puisi-puisinya yang sangat populer dan
dideklamasikan dalam lomba-lomba deklamasi serta
dapat dikategorikan sebagai puisi auditorium (cocok untuk
dibaca di pentas). Kepenyairan Sapardi membentang sejak
tahun 1960-an hingga saat ini. Kumpulan puisinya
terakhir berjudul Ayat-ayat Api. Kepenyairannya tidak mengganggu
penjelajahannya dalam dunia ilmu sastra, sampai
beliau menjadi pakar sastra, Dekan Fakultas
Sastra Universitas Indonesia, dan terakhir sebagai anggota Komisi Disiplin Ilmu
Sastra dan Filsafat, Dirjen Pendidikan Tinggi Depdiknas.
Kumpulan-kumpulan puisinya adalah Dukamu Abadi
(1969), Mata Pisau (1974), Akuarium (1974),
Perahu Kertas (1984), Sihir Hujan (1989),
Hujan Bulan Juni (1994) dan Ayat-ayat Api (2000).
4. Hartoyo Andang Jaya
Lahir
di Solo, 1930, dan meninggal dunia di
kota itu pula pada tahun 1990. Pernah
menjadi guru SLTP, SMU, dan STM. Ia
pernah menjadi direktur majalah kanak-kanak Si
Kuncung (1962-1964). Panggilan kepenyairanya sangat kental, sehingga ia tidak
mau bekerja di luar bidangnya itu. Ia
meninggal dalam keadaan sakit-sakitan. Setahun kemudian,
hari kematiannya diperingati di Taman Budaya
Surakarta (Solo) dan Taman Ismail Marzuki
(Jakarta). Karyanya antara lain Simfoni Puisi
(bersama D.S. Moeljanto, 1945) dan Buku
Puisi (1973).
5. Sutardji Calzoum Bachri
Sutardji
Calzoum Bachri pernah menyatakan diri
sebagai “Presiden Penyair Indonesia”. Pelopor
penulisan puisi konkret dan mantra ini
akhir-akhir ini banyak terlibat dalam pembacaan puisi di
sekolah dalam rangka pembinaan apresiasi puisi. Ia merintis
bentuk baru dalam perpuisian Indonesia,
uaitu puisi konkret dan mantra, puisi itu
dikembalikan pada kodratnya yang paling
awal yaitu sebagai kekuatan bunyi yang
tidak “dijajah” oleh makna atau pengertian.
Sutardji lahir di Rengat, Riau, 24
juni 1941. Ia pernah mendapat Hadiah Seni
dari Pemerintah Republik Indonesia (1993)
dan dari Dewan Kesenian Jakarta (1976-1977)
juga dari South East Asia Write Award
(Bangkok, 1981). Kumpulan puisinya berjudul O, Amuk Kapak (1981). Selain
itu, kritik sastranya dilontarkan dalam masalah penulisan terkenal dengan nama
kredo puisi.
6. Abdul Hadi W.M.
Abdul Hadi
Wiji Muntari lahir di sumenep pada tanggal 24 juni tahun 1944, ia pernah kuliah
di Fakultas Sastra UGM hingga Sarjana Muda (1967), Fakultas Filsafat UGM
(1968-1971) dan Universitas Padjajaran (1971-1973), dia pernah tinggal di pulau
penang. Selain itu, dia bekerja sambil belajar di Universitas Sains Malaysia
sejak tahun 1991. Kumpulan puisinya Riwayat (1967),
Laut Belum Pasang (1972), Potret Panjang Seorang
Pengunjung Pantai Sanur (1975), Meditasi (1976), Tergantung pada Angin
(1977) dan Anak Laut Anak Angin (1984).
7. Yudhistira Adhi Nugraha Massardi
Lahir di
Subang, Jawa Barat, 28 Februari 1954. Novelnya yang terkenal yaitu Arjuna
Mencari Cinta (1977) dan Dingdong
(1978). Sementara itu kumpulan puisinya dibukukan
dalam Omong Kosong (1978), Sajak Sikat Gigi (1978), Rudi Jalak Gugat (1982).
Puisi-puisinya mirip dengan puisi mbling,
yaitu puisi yang keluar dari pakem
penulisan puisi yang harus memperhatikan
rima, bunyi, verifikasi, dan tipografi,
tapi bukan berarti bahwa puisinya dibuat dengan main-main atau tanpa
kesungguhan.
8. Apip Mustopa
Lahir di
Garut, 23 April 1938. Terakhir bekerja sebagai pengasuh ruang sastra budaya
RRI Manokwari (1969-1970). Karyanya ditulis
dalam bahasa Indonesia dan Sunda. Puisi-puisinya
juga dimuat dalam antologi sastra karya Ajip Rosidi Laut Biru Langit
Biru.
9. D. Zawami Imron
Lahir
di Sumenep, Madura dan memperoleh
pendidikan di lingkungan pesantren. Ia pernah
mendapat Hadiah Penulisan Puisi dari
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1985). Buku
kumpulan puisinya adalah Semerbak Mayang
(1977), Bulan Tertusuk Larang (1980), Nenek Moyangku Air Mata
(1985), Cerulit Emas (1986), Bantalku Ombak, Selimutku Angin (1996), Semerbak
Mayang (1997), dan Madura Aku Darah-Mu (1999).
2. Periode Angkatan 2000 atau Reformasi
a. Sejarah Angkatan Reformasi
Seiring
terjadinya pergeseran kekuasaan politik dari tangan Soeharto ke B.J. Habibie
lalu K.H. Abdurahman Wahid (Gus Dur)
dan Megawati Soekarno Putri, muncul wacana
tentang sastrawan reformasi. Munculnya angkatan ini ditandai dengan maraknya
karya-karya sastra puisi, cerpen maupun novel,
yang bertemakan sosial-politik, khususnya seputar
reformasi. Di rubrik sastra Harian Republika misalnya, selama berbulan-bulan
dibuka rubrik sajak-sajak peduli bangsa atau sajak-sajak reformasi. Berbagai
pentas pembacaaan sajak dan penerbitan buku antologi puisi juga didominasi
sajak-sajak bertema sosial-politik. Sastrawan reformasi
merefleksikan keadaan sosial dan politik yang
terjadi pada akhir 1990-an, seiring dengan
jatuhnya Orde Baru. Peristiwa reformasi
1998 banyak melatar belakangi kelahiran
karya-karya sastra seperti puisi, cerpen,
dan novel. Bahkan, penyair yang semula
jauh dari tema sosial-politik, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Acep
Zamzam Noer dan Ahmadun Yosi Herfanda, juga ikut meramaikan suasana itu dengan
sajak-sajak sosial-politik mereka.
b. Ciri-ciri Periode 2000
1. Isi karya
sastra sesuai situasi reformasi;
2. Bertema
sosial-politik, romantik, naturalis;
3. Produktivitas
karya sastra lebih marak lagi, seperti puisi, cerpen, novel;
4. Disebut
angkatan reformasi;
5. Tahun 1998
merupakan puncak dari angkatan 90-an;
6. Banyak
munculnya sastrawan baru yang membawa angin
baru dalam kesusastraan Indonesia, contohnya Ayu
Utami yang muncul di akhir 90-an dengan
karyanya Saman, sebuah fragmen dari cerita
Laila Tak Mampir di New York.
7. Tema
sosial-politik, romantik, masih mewarnai tema karya sastra;
8. Banyak muncul
kaum perempuan;
9. Disebut
angkatan modern;
10. Karya
sastra lebih marak lagi, termasuk adanya
sastra koran, contohnya dalam H.U. Pikiran Rakyat;
11. Adanya
sastra bertema gender, perkelaminan, seks, feminisme;
12. Banyak
muncul karya populer atau gampang dicerna, dipahami pembaca;
13. Adanya
sastra religi;
14. Muncul
cyber sastra di Internet.
c. Sastrawan Angkatan 2000 dan Karyanya
Ahmadun Yosi Herfanda
Lahir di
Kaliwungu, Kendal, 17 Januari 1958. Pendidikan: Alumnus FPBS IKIP
Yogyakarta menyelesaikan S2 di jurusan Magister Teknologi Informasi pada Univ.
Paramadina Mulia, Jakarta, 2005. Ia pernah menjadi
Ketua III Himpunan Sarjana Kesastraan
Indonesia ( 1993-1995) dan Ketua Presidium Komunitas Sastra
Indonesia (1999-2002), Tahun 2003, bersama cerpenis Hudan Hidayat
dan Maman S. Mahayana menerbitkan Creative
Writing Institute. Ahmadun Pernah menjadi Anggota
Dewan Penasihat Majelis penulis Forum Lingkar Pena.
Contoh karyanya: Resonasi Indonesia
2Acep Zamzam Noer
Lahir di
Tasik pada tanggal 28 Februari 1960. Pendidikan: Alumnus Seni Rupa ITB
dan Universitas Italia Stranieri, Italia. Kumpulan Puisinya:
1. Tamparlah Mukaku,
1982
2. Aku Kini Doa, 1986
3. Antologi Pesta
Sastra, 1987
4. Kasidah Sunyi, 1989
5. Ketika Kata Ketika
Warna, 1995
6. Kota Hujan, 1996
7. Di Luar Kota, 1997
8. Di Atas Umbria, 1999
3Justina Ayu Utami
Lahir di
Bogor, 21 November 1968. Pendidikan: Fak. Sastra UI. Ia
pernah menjadi wartawan di majalah Humor,
Matra, Forum Keadilan. Tak lama setelah
penutupan Tempo, Editor dan Detik di
masa Orde Baru, dia ikut mendirikan Aliansi
Jurnalis Independen yang memprotes pembredelan.
Kini ia bekerja di jurnal kebudayaan Kalam
dan di Teater Utan Kayu. Novelnya yang
pertama yaitu Saman, mendapatkan sambutan
dari berbagai kritikus karena gaya penulisan
Ayu yang terbuka bahkan terkesan vulgar,
inilah yang membuatnya menonjol dari pengarang-pengarang lainnya.
Selain itu, Saman meraih sayembara penulisan novel Dewan Kesenia Jakarta 1998,
berkat novel itu juga Ayu mendapat Prince Claus Award 2000 dari Frince Claus
Fund, sebuah yayasan yang bermarkas di Den Haag Belanda. Ayu
Utami dalam novel Saman berhasil
menciptakan representasi seksualitas. “mengarang bagi saya adalah
kesedihan, melibatkan, meleburkan diri dan menerima
kemungkinan yang tak direncanakan.”
4Dorotea Rosa Herliany
Lahir di
Magelang, 20 Oktober 1963 Pendidikan: FPBS IKIP Sanata
Dharma, Yogyakarta, Jurusan Sastra Indonesia (1987). Ia
mendirikan Forum Situs Kata dan menerbitkan berkala budaya Kolong Budaya.
Kini ia mengelola penerbit Tera di
Magelang, juga ia mendirikan Indonesia Tera,
sebuah kelompok belajar kebudayaan dan
masyarakat, lembaga swadaya non-profit yang
bekerja dalam lapangan penelitan, penerbitan, dan
pengembangan jaringan informasi untuk pendidikan dan kebudayaan masyarakat.
Ia menulis sajak dan cerpen. Kumpulan
sajaknya: Nyanyian Gaduh (1987), Matahari yang Mengalir
(1990), Kepompong Sunyi (1993), Nikah Ilalang (1995), Mimpi Gugur
Daun Zaitun (1999), Kill the Radio (2001).
Kumpulan cerpennya: Blencong (1995), Karikatur dan Sepotong Cinta
(1996).
Afrizal Malna
Lahir di
Jakarta, 7 Juni 1957 Pernah mengikuti Poetry International Rotterdam (1996)
Kumpulan puisinya: Abad yang Berlari (1984), Yang Terdiam dalam Microfon
(1990), Kalung dari Teman (1999), Anjing Menyerbu Kuburan (1996).
Sony Farid Maulana
Lahir di
Tasikmalaya, 19 Februari 1962. Pendidikan: Jurusan
Teater Akademi Seni Tari Indonesia (1986).
Semasa kuliah sudah menulis puisi yang
bertemakan sosial, politik, agama, kesunyian, dan
kesepian. Sekarang menulis puisi, prosa,
esai, dan laporan jurnalistik di HU Pikiran
Rakyat Bandung. Puisi-puisinya dibukukan dalam Variasi Parijs Van Java (2004),
Tepi Waktu Tepi Salju (2004), Selepas Kata (2004), Secangkir Teh (2005),
Sehampar Kabut (2006), Angsana (2007).
Buku Sehampar Kabut masuk dalam lima besar
Khatulistiwa Literary Award 2005-2006.
7 Nenden Lilis
Lahir di
Garut, 26 September 1971 Kumpulan puisi tunggalnya Negeri Sihir (1999),
kumpulan cerpen Dua Tengkorak Kepala (2000). Pernah membaca puisi di
Poetry Festival Belanda (1999).
8Seno Gumira Ajidarma
Ayahnya
Prof. Dr. M.S.A. Sastroamidjojo Pendidikan: IKJ Jurusan Sinematografi Mengikuti
teater alam pimpinan Azwar A. N. Beberapa puisinya pernah dimuat di
Horizon. Kemudian ia menulis cerpen antara
lain: “Manusia Kamar” (1988), “Penembak
Misterius” (1993), “Saksi Mata” (1994),
“Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi” (1995). Novelnya
Matinya Seorang Penari Telanjang (2000). Pada tahun
1987 ia mendapat Sea Write Award. Berkat cerpennya “Saksi Mata” ia mendapat
Dinny O’Hearn Prize for Literary (1997).
9Dewi Lestari ( Dewi Dee )
Lahir di
Bandung, 20 januari 1976. Ayah, Ibu: Yohan Simanungsong-Turlan
Siagian. Pendidikan: Univ. Parahyangan dengan gelar sarjana
politik. Ketiga novelnya yaitu Ksatria,
Putri, dan Bintang Jatuh; Akar; dan Petir
mendapat nominasi Khatulistiwa Literary Award tahun 2002 dan 2003.
sumber : http://jafarudinbastra.blogspot.com/2012/06/sejarah-sastra-indonesia.html
sumber : http://jafarudinbastra.blogspot.com/2012/06/sejarah-sastra-indonesia.html
ISTIMEWA :-)
BalasHapus