Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

Resensi Buku Puisi Rembang Dendang

Segubuk Rasa Lewat Syair Denni

Judul               : Rembang Dendang
Pengarang       : Denni Meilizon
Penerbit           : Alif Gemilang Litera, Yogyakarta
Cetakan           : Pertama, September 2013
Tebal Buku      : xxiv+126 halaman
ISBN               : 978-602-7692-53-4
Rembang Dendang bak segubuk rasa yang dituangkan lewat tulisan indah dan dalam makna. Demikian sang penyair menuliskannya dalam sebuah buku puisi tunggal. Setiap puisi yang ditulis penuh akan makna dan kemunculan berbagai realita kehidupan umat manusia. Denni Meilizon, beliaulah penyair itu. Menulis puisi tidak lagi hanya pada sepucuk kertas yang jika dilipat mudah rusak. 

Eksistensi menulis puisi masa kini sudah menggenggam dunia maya atau on line. Dari sanalah si penyair mulai membungkus syair-syairnya tersebut pada sebuah buku. Jika dicari penyair yang menuangkan karya puisinya di dunia maya seperti facebook. Beliaulah salah satunya. Tak segan, si penyair menuangkan tiap larik puisinya ke dunia jejaring sosial tersebut.
           
 Buku ini berisikan 103 puisi penyair yang ditulis dari akhir 2012 hingga pertengahan 2013. Si penyair tampaknya senantiasa cermat mengamati persoalan-persoalan hidup yang bergerak di lingkungannya, biar sekecil apapun persoalan itu, termasuk juga persoalan yang menyentuh hidup dan kehidupan pribadinya, akan selalu dihayati dan direkamnya sebagai pengalaman batin yang berharga, untuk kemudian lewat daya imajinasi dan kemampuan puitisnya. Hal demikian diungkapkannya ke dalam larik-larik puisi.
          
Penyair yang sudah pernah menerbitkan dua buku puisi tunggalnya ini mensyairkan karyanya dengan indah. Barangkali kualitas itu terlihat dari kematangan si penyair menguasai bahasa, pengalaman batin dan kemampuan penyairan Denni Meilizon dalam mengungkap masalah hidup dan kehidupan lewat puisi. Berbagai endorsement dari para penyair dan kritisi satra lebih memaknai puisi-puisi dalam buku ini. Hal terunik dalam buku ini ketika salah satu puisi yang berjudul “Ini Peri” menyorot mata pembaca ketika hendak membalikkan lembar-perlembar kertas buku ini. Di awali dengan gambar seumpama ibu peri yang terakit dengan syair yang indah. Seakan menunjukkan kekreatifitasan si penyair dalam menguraikan rasanya. Puisi tersebut lebih lengkap lagi jika ditambah gambar-gambar ataupun lukisan tentang judul-judul yang dianggap unik.
            
So, bagi penikmat sastra dan juga bagi penyair pemula. Silakan baca buku puisi ini. Banyak pelajaran yang bisa diambil dari tiap larik yang disajikan oleh sang penyair.
(Peresensi : Hasan Asyhari, anggota Forum Aktif Menulis Indonesia)   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.