Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG


Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014
Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.


Dari 126 sajak dalam  "Salju di Singgalang" beberapa sajak yang memberikan ruang untuk berdialog itu sebagaimana yang kita baca dalam sajak "Bacakanlah Kekasih" (Salju di Singgalang Hal.: 1) yang menjadi sajak pembuka dalam buku ini.

Sajak ini pernah dideklamasikan oleh Refdinal Muzan di Teater Utama Taman Budaya Sumatera Barat. Saat itu saya yang sangat menikmati dentuman-dentuman kata yang ditampilkannya bertanya kepada Refdinal tentang sajak yang dibacakannya itu. "Bacakanlah Kekasih" ternyata sajak dari seorang kekasih yang mati meninggalkan kekasihnya. Ini seperti sebuah ritual pelepasan, disimbolkan dengan :
" Tak perlu membalut semua dengan tangis
Bujuran kaku, genggaman tangan telah menjadi unggun api
 di atas dataran sebuah lembah
saat "Auld lang Syne" semakin menghanyut di arus gitar
seperti dulu kupetik
sebelum cahaya kunang-kunang menayangkan
dongeng-dongeng sebelum tidur"
(Salju di Singgalang Hal.: 1)

Dialog yang berlompatan dengan kuat dan tegar namun tetap dalam ruang yang sunyi. “jangan kau baca sebuah nama di atas batu nisan/ sebab seekor burung gagak yang tadi hinggap telah melengkapi sebuah duka”. Saya membayangkan sebuah areal pekuburan. Bangunan kubur penuh sesak. Lalu ada nisan, tapi ada seseorang berlutut menekuri gundukan tanah, dia seorang perempuan, memeluk nisan dengan bunga-bunga rebah di hadapannya. Anak-anak rambutnya berkibar di hela angin senja, temaram langit yang juga bagai merunduk. Dialog yang terbangun memang benar-benar sunyi.

Kesunyian yang sangat mistis juga dapat kita temukan dalam sajak, “Menjadilah Aku Angin” (Salju di Singgalang Hal.: 6)

Menjadilah Aku Angin

Menjadilah aku angin
yang menderaikan langkah-langkah ke segenap haluan
Menggetarkan daun-daun dengan sayapnya yang lembab
menidurkan pepohonan saat burung-burung terbang meninggalkan sarang
Ke sanalah di atas bukit tempat kau menghimpun segala tenung
Menjabarkan langit di selembar kain putih tak berajut
hingga ia berkirim kepada ngarai dan lembah-lembah
tentang sampai dan sudah-sudah
Lihat, bagaimana segala berkibar bagai doa-doa yang merapal
kemudian menjelma di sebuah tiang di sebuah puncak untuk menetap
atau saat laju segala deru menjadi paku yang menatap

Menjadilah aku angin
yang mengibaskan segala debu segala dendam kesumat
dalam palung-palung waktu yang berkarat
diam sesaat melemparkan jangkar di lautan
menepikan layar di karang-karang terjal
Mengendus segala aroma ada dan tiada, bahkan sebatas layang
menepis seruak sesat

Adalah angin adalah deru adalah segala yang kita tuju
angin mengantarkan hasrat-hasrat yang kau pacu
angin meredam luah-luah yang tak kekang
dan angin sekabar darimu
kujemput datang

15 Juni 2013

Mari sejenak kita tampilkan sebuah layar di dalam kepala kita. Visualisasikan efek angin yang menderu-deru. Ada lautan, ada menara, ada karang, ada pepohonan dan ada langit. Apa yang telah tertinggal, belum kita visualkan? Ya, kita harus menghadirkan “…selembar kain putih tak berajut” agar sajak ini bisa kita pahami dengan baik. Di sini, kita bicara sebuah wujud dalam diri kita. Sebuah nyawa, jiwa yang menghidupkan kita untuk menjadi manusia. Sejatinya kita tidak paham betul dengan wujud jiwa kita sendiri. Namun, menyimbolkannya dengan “angin” memang sangat pantas dan setidaknya mendekati sudut pandang keterbatasan kita sebagai manusia fana. “angin mengantarkan hasrat-hasrat yang kau pacu/ Mengendus segala aroma ada dan tiada/ bahkan sebatas layang menepis seruak sesat/angin meredam luah-luah yang tak kekang/ yang mengibaskan segala debu segala dendam kesumat/dalam palung-palung waktu yang berkarat”. Angin, angin dan angin. Dan dialog sunyi itu kembali tercipta hingga”… angin sekabar darimu/
kujemput datang
”. Kita membaca dalam Alquran : “
Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai; lalu masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku (QS al-Fajr [89]: 27-30).

Tetapi, ada pula sajak yang membawa kita ke dalam suasana yang lebih intens, sangat sunyi sekali malah. Sebuah penggambaran kesepian yang sangat sakit. Misalnya dalam sajak “Di Perbincangan Sebuah Kafe” (Salju di Singgalang Hal.: 181).

Membaca sajak “Di Perbincangan Sebuah Kafe”  saya jadi tertarik untuk membuka kembali KBBI untuk mencari pemahaman kata “sunyi”,“sepi” dan “hening”. Ternyata ada perbedaan latar dan situasi mendasar dalam ketiga kata itu. “Sunyi” paling tepat digambarkan untuk situasi tidak ada bunyi atau suara apa pun, seorang diri dan benar-benar kosong. Sedangkan “sepi” menggambarkan situasi dianggap tidak ada apa-apa; tidak dihiraukan sama sekali. Dan “hening” situasi yang diam, jernih, tafakur dan bersih dari suara-suara. Nah, kata mana yang pantas untuk memahami sajak “Di Perbincangan Sebuah Kafe” ini?. Bukan kata “sunyi” dan “hening” tetapi lebih kepada suasana “sepi”. Sebuah kafe adalah sebuah tempat yang ramai, ada beragam aktifitas berlangsung di sana. Penyair sangat jelas menggambarkan hal tersebut dalam sajak ini. Namun kalau kita jeli, maka kita bisa melihat bahwa sajak di atas menggambarkan dua sisi suasana lahir dan bathin antara ruang dan waktu yang membentuk kafe dengan perasaan hati penyair. Keramaian yang hiruk pikuk namun sekaligus ada sepi juga. Simak larik-larik berikut ini : “Tak seorangpun menyimak di gelaran hati yang berbagi/Lalu ia hinggap di gelas-gelas kosong,/di ruang-ruang hampa/sebagi penyaksi atau pemberita yang tak punya masa/Mungkin ada gelak tawa tergeletak di atas meja/juga seiris sepi yang masih sembunyi di antara kepingan roti dan mata pisau/Di sini mungkin keasingan itu perlahan turun merisau/bersandar diam di sudut ruang meregang erang”.

Sepi itu sesungguhnya sangat menyakitkan bila dibandingkan pula ketika didera kesunyian malah suasana hening sekalipun. Hening masih lebih suci dan baik, biasanya digunakan untuk membangun suasana semedi, beribadat dan upaya pembersihan jiwa. Tetapi sepi mendekati kepada keterasingan, keterpanaan dan akhirnya menimbulkan dialog dengan diri sendiri. Puncak dari perasaan kesepian itupun kemudian menjadi seperti dalam larik berikut : Menggapai untuk setapak kaki berdiri, sehela napas tersengal, dan secarik wajah tak dikenal/Riuh itu menjadi gemuruh, tak ada lagi kata/tersimak makna dalam perbincangan sebuah kafe”. Sangat terasa sekali sakit itu. Dalam sajak ini Refdinal Muzan bukan bersunyi-sunyi sebagaimana yang terasa dalam dua sajak sebelumnya. Dia terasing dalam keramaian. Itulah mungkin sebabnya penyair ini dalam pengamatan saya bertipikal sosok pendiam dan bicara seadanya saja.

Membaca sajak-sajak Refdinal Muzan yang termaktub sejak buku kumpulan puisi pertamanya “Mozaik Matahari” (2012, FAM Publishing) hingga buku kumpulan puisi yang kedua “Salju di Singgalang” (2013, AG Litera) ada hal lain yang menegaskan kesimpulan saya tentang kekhasan penyair dengan dialog sunyi itu. Sajak-sajak yang ditulisnya dibangun dengan gaya dialog dua arah antara “aku” dan “kau” yang juga kemudian menjadi “kita”. Lama saya membaca, merenungi dan mencoba memahami sajak-sajaknya untuk mengejawantahkan gaya bersajak Refdinal Muzan yang sangat dialogikal tersebut. Kata “aku” berbalas-balasan dengan kata “kau” lalu mencari persamaan dengan menyimbolik pada kata “kita”. “Kita” yang masih sunyi, hanya ada “kau” dan “aku”. Sebagai penutup, kita simak penggalan sajak “Di Lautan Paling Puisi” (Mozaik Matahari, 2012:74) terdiri dari empat bait sajak yang cukup panjang dan kita ambil bait pertamanya saja, berikut ini :

Di lautan paling puisi telah menggelora riak segala riak
Segala embun segala karang segala kerikil yang mengendap di
kedalaman samudera jiwa. Akulah dan kita pelayar di segenap
musim ketika burung-burung tak lagi melukis sebiru awan
menukik deras di atas gelombang yang mewabah seperti bah
seperti topan dan badai merabuk di senja kala semua terpukau
dalam semedi diam dan alam.
(Mozaik Matahari :74)

Sajak adalah sebuah karya sastra yang jujur karena dialog yang tercipta berasal dari kesunyian, sepi dan keheningan. Sajak yang berasal dari hati yang dilaungkan untuk berdiam dalam hati pembacanya juga dalam diam.

Safamarwa, 19 Januari 2014
Denni Meilizon, pegiat FAM Indonesia dan penyair*Di muat pada Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.