BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya. “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”. Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR ketika ditanya: ”Itu niat
Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan
kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair
melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata.
Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir
dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak
bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan
pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang
untuk berdialog lalu menarik kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan
wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang
disajikan berlinang madu.
Dari 126 sajak dalam "Salju di Singgalang" beberapa
sajak yang memberikan ruang untuk berdialog itu sebagaimana yang kita baca dalam
sajak "Bacakanlah Kekasih" (Salju di Singgalang Hal.: 1) yang menjadi
sajak pembuka dalam buku ini.
Sajak ini pernah dideklamasikan oleh Refdinal Muzan di Teater Utama
Taman Budaya Sumatera Barat. Saat itu saya yang sangat menikmati
dentuman-dentuman kata yang ditampilkannya bertanya kepada Refdinal tentang
sajak yang dibacakannya itu. "Bacakanlah Kekasih" ternyata sajak dari
seorang kekasih yang mati meninggalkan kekasihnya. Ini seperti sebuah ritual
pelepasan, disimbolkan dengan :
" Tak perlu membalut semua dengan tangis
Bujuran kaku,
genggaman tangan telah menjadi unggun api
di atas
dataran sebuah lembah
saat
"Auld lang Syne" semakin menghanyut di arus gitar
seperti dulu
kupetik
sebelum cahaya
kunang-kunang menayangkan
dongeng-dongeng
sebelum tidur"
(Salju di
Singgalang Hal.: 1)
Dialog yang berlompatan dengan kuat dan tegar namun tetap dalam
ruang yang sunyi. “jangan kau baca sebuah nama di atas batu nisan/ sebab
seekor burung gagak yang tadi hinggap telah melengkapi sebuah duka”. Saya membayangkan sebuah
areal pekuburan. Bangunan kubur penuh sesak. Lalu ada nisan, tapi ada seseorang
berlutut menekuri gundukan tanah, dia seorang perempuan, memeluk nisan dengan
bunga-bunga rebah di hadapannya. Anak-anak rambutnya berkibar di hela angin
senja, temaram langit yang juga bagai merunduk. Dialog yang terbangun memang
benar-benar sunyi.
Kesunyian
yang sangat mistis juga dapat kita temukan dalam sajak, “Menjadilah Aku Angin”
(Salju di Singgalang Hal.: 6)
Menjadilah Aku Angin
Menjadilah aku angin
yang menderaikan langkah-langkah ke segenap haluan
Menggetarkan daun-daun dengan sayapnya yang lembab
menidurkan pepohonan saat burung-burung terbang meninggalkan sarang
Ke sanalah di atas bukit tempat kau menghimpun segala tenung
Menjabarkan langit di selembar kain putih tak berajut
hingga ia berkirim kepada ngarai dan lembah-lembah
tentang sampai dan sudah-sudah
Lihat, bagaimana segala berkibar bagai doa-doa yang merapal
kemudian menjelma di sebuah tiang di sebuah puncak untuk menetap
atau saat laju segala deru menjadi paku yang menatap
Menjadilah aku angin
yang mengibaskan segala debu segala dendam kesumat
dalam palung-palung waktu yang berkarat
diam sesaat melemparkan jangkar di lautan
menepikan layar di karang-karang terjal
Mengendus segala aroma ada dan tiada, bahkan sebatas layang
menepis seruak sesat
Adalah angin adalah deru adalah segala yang kita tuju
angin mengantarkan hasrat-hasrat yang kau pacu
angin meredam luah-luah yang tak kekang
dan angin sekabar darimu
kujemput datang
Menjadilah Aku Angin
Menjadilah aku angin
yang menderaikan langkah-langkah ke segenap haluan
Menggetarkan daun-daun dengan sayapnya yang lembab
menidurkan pepohonan saat burung-burung terbang meninggalkan sarang
Ke sanalah di atas bukit tempat kau menghimpun segala tenung
Menjabarkan langit di selembar kain putih tak berajut
hingga ia berkirim kepada ngarai dan lembah-lembah
tentang sampai dan sudah-sudah
Lihat, bagaimana segala berkibar bagai doa-doa yang merapal
kemudian menjelma di sebuah tiang di sebuah puncak untuk menetap
atau saat laju segala deru menjadi paku yang menatap
Menjadilah aku angin
yang mengibaskan segala debu segala dendam kesumat
dalam palung-palung waktu yang berkarat
diam sesaat melemparkan jangkar di lautan
menepikan layar di karang-karang terjal
Mengendus segala aroma ada dan tiada, bahkan sebatas layang
menepis seruak sesat
Adalah angin adalah deru adalah segala yang kita tuju
angin mengantarkan hasrat-hasrat yang kau pacu
angin meredam luah-luah yang tak kekang
dan angin sekabar darimu
kujemput datang
15 Juni 2013
Mari sejenak kita tampilkan sebuah layar
di dalam kepala kita. Visualisasikan efek angin yang menderu-deru. Ada lautan,
ada menara, ada karang, ada pepohonan dan ada langit. Apa yang telah
tertinggal, belum kita visualkan? Ya, kita harus menghadirkan “…selembar
kain putih tak berajut”
agar sajak ini bisa kita pahami dengan baik. Di sini, kita bicara sebuah wujud
dalam diri kita. Sebuah nyawa, jiwa yang menghidupkan kita untuk menjadi
manusia. Sejatinya kita tidak paham betul dengan wujud jiwa kita sendiri.
Namun, menyimbolkannya dengan “angin” memang sangat pantas dan setidaknya
mendekati sudut pandang keterbatasan kita sebagai manusia fana. “angin mengantarkan hasrat-hasrat yang kau
pacu/ Mengendus segala aroma ada dan tiada/ bahkan sebatas layang menepis
seruak sesat/angin meredam luah-luah yang tak kekang/ yang mengibaskan segala
debu segala dendam kesumat/dalam palung-palung waktu yang berkarat”. Angin,
angin dan angin. Dan dialog sunyi itu kembali tercipta hingga”… angin sekabar darimu/
kujemput datang”. Kita membaca dalam Alquran : “Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai; lalu masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku (QS al-Fajr [89]: 27-30).
kujemput datang”. Kita membaca dalam Alquran : “Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai; lalu masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku (QS al-Fajr [89]: 27-30).
Tetapi,
ada pula sajak yang membawa kita ke dalam suasana yang lebih intens, sangat sunyi sekali malah.
Sebuah penggambaran kesepian yang sangat sakit. Misalnya dalam sajak “Di
Perbincangan Sebuah Kafe” (Salju di Singgalang Hal.: 181).
Membaca
sajak “Di Perbincangan Sebuah Kafe” saya
jadi tertarik untuk membuka kembali KBBI untuk mencari pemahaman kata
“sunyi”,“sepi” dan “hening”. Ternyata ada perbedaan latar dan situasi mendasar
dalam ketiga kata itu. “Sunyi” paling tepat digambarkan untuk situasi tidak
ada bunyi atau suara apa pun, seorang diri dan benar-benar kosong. Sedangkan
“sepi” menggambarkan situasi dianggap tidak ada apa-apa; tidak dihiraukan sama
sekali. Dan “hening” situasi yang diam, jernih, tafakur dan bersih dari
suara-suara. Nah, kata mana yang pantas untuk memahami sajak “Di Perbincangan Sebuah Kafe” ini?. Bukan
kata “sunyi” dan “hening” tetapi lebih kepada suasana “sepi”. Sebuah kafe adalah
sebuah tempat yang ramai, ada beragam aktifitas berlangsung di sana. Penyair
sangat jelas menggambarkan hal tersebut dalam sajak ini. Namun kalau kita jeli,
maka kita bisa melihat bahwa sajak di atas menggambarkan dua sisi suasana lahir
dan bathin antara ruang dan waktu yang membentuk kafe dengan perasaan hati
penyair. Keramaian yang hiruk pikuk namun sekaligus ada sepi juga. Simak larik-larik
berikut ini : “Tak seorangpun menyimak di
gelaran hati yang berbagi/Lalu ia hinggap di gelas-gelas kosong,/di ruang-ruang
hampa/sebagi penyaksi atau pemberita yang tak punya masa/Mungkin ada gelak tawa
tergeletak di atas meja/juga seiris sepi yang masih sembunyi di antara kepingan
roti dan mata pisau/Di sini mungkin keasingan itu perlahan turun
merisau/bersandar diam di sudut ruang meregang erang”.
Sepi
itu sesungguhnya sangat menyakitkan bila dibandingkan pula ketika didera kesunyian
malah suasana hening sekalipun. Hening masih lebih suci dan baik, biasanya
digunakan untuk membangun suasana semedi, beribadat dan upaya pembersihan jiwa.
Tetapi sepi mendekati kepada keterasingan, keterpanaan dan akhirnya menimbulkan
dialog dengan diri sendiri. Puncak dari perasaan kesepian itupun kemudian
menjadi seperti dalam larik berikut : Menggapai
untuk setapak kaki berdiri, sehela napas tersengal, dan secarik wajah tak
dikenal/Riuh itu menjadi gemuruh, tak ada lagi kata/tersimak makna dalam
perbincangan sebuah kafe”. Sangat terasa sekali sakit itu. Dalam sajak ini
Refdinal Muzan bukan bersunyi-sunyi sebagaimana yang terasa dalam dua sajak
sebelumnya. Dia terasing dalam keramaian. Itulah mungkin sebabnya penyair ini
dalam pengamatan saya bertipikal sosok pendiam dan bicara seadanya saja.
Membaca
sajak-sajak Refdinal Muzan yang termaktub sejak buku kumpulan puisi pertamanya
“Mozaik Matahari” (2012, FAM Publishing) hingga buku kumpulan puisi yang kedua
“Salju di Singgalang” (2013, AG Litera) ada hal lain yang menegaskan kesimpulan
saya tentang kekhasan penyair dengan dialog sunyi itu. Sajak-sajak yang
ditulisnya dibangun dengan gaya dialog dua arah antara “aku” dan “kau” yang
juga kemudian menjadi “kita”. Lama saya membaca, merenungi dan mencoba memahami
sajak-sajaknya untuk mengejawantahkan gaya bersajak Refdinal Muzan yang sangat
dialogikal tersebut. Kata “aku” berbalas-balasan dengan kata “kau” lalu mencari
persamaan dengan menyimbolik pada kata “kita”. “Kita” yang masih sunyi, hanya
ada “kau” dan “aku”. Sebagai penutup, kita simak penggalan sajak “Di Lautan
Paling Puisi” (Mozaik Matahari, 2012:74) terdiri dari empat bait sajak yang
cukup panjang dan kita ambil bait pertamanya saja, berikut ini :
Di lautan paling puisi telah menggelora riak segala riak
Segala embun segala karang segala kerikil yang mengendap di
kedalaman samudera jiwa. Akulah dan kita pelayar di segenap
musim ketika burung-burung tak lagi melukis sebiru awan
menukik deras di atas gelombang yang mewabah seperti bah
seperti topan dan badai merabuk di senja kala semua terpukau
dalam semedi diam dan alam.
(Mozaik Matahari :74)
Sajak adalah sebuah karya sastra
yang jujur karena dialog yang tercipta berasal dari kesunyian, sepi dan
keheningan. Sajak yang berasal dari hati yang dilaungkan untuk berdiam dalam
hati pembacanya juga dalam diam.
Safamarwa, 19 Januari 2014
Denni Meilizon, pegiat FAM Indonesia dan penyair*Di muat pada Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014
Komentar
Posting Komentar
Selamat datang dan membaca tulisan dalam Blog ini. Silakan tinggalkan komentar sebagai tanda sudah berkunjung, salam dan bahagia selalu.