BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya. “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”. Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR ketika ditanya:...
Oleh: Denni Meilizon
Di
tepi jalan, Usuf menghitung langkah kaki orang-orang. Kota yang acuh. Langit bebas
merdeka. Semerdeka matahari mengguyur jelaga mengusir hujan jauh ke kota-kota
lain. Dan Usuf nanar menatap kendaraan-kendaraan yang lewat dengan bermacam
roda. Ia merasa begitu kecil di tengah rimba kota ini.
Berbilang
tahun dahulu, dengan Mad Sani ia menurut datang ke sini. Ia merantau. Habis
pikir sudah. Sehabis-habis Ibu yang melarang Usuf pergi. Siapa yang hendak
bertanam di sawah keluarga kelak? Siapa pula yang bakal menakik getah
pohon-pohon Para di kebun belakang? Ibu habis kata. Usuf habis alasan. Ia ingin
pergi. Menjauhi kampung halaman.
“Aku
ingin kelak, jika mati maka di nisanku akan tertulis sejuta kata akan
perjuanganku. Dengan tinta emas, Ibu,” ucapnya memelas.
“Aku
ingin kaya. Tak ada kehormatan tanpa harta. Ibu tengoklah, siapa yang merantau
dialah yang menjadi pokok tuntunan kampung ini. Ke rumah si perantau
orang-orang akan datang berjawab salam. Tengoklah Bu. Jika lebaran alangkah
senang melihat orang rantau pulang memperlihatkan bungkah-bungkah emas
keduniawian,” ucapnya lagi.
Ibu
menghela napas. Dadanya melawan semua perkataan Usuf.
“Peduli
apa kata kau itu! Selangkah kau beranjak, aku tak akan berharap kau jejak rumah
ini lagi!” akhirnya begitu saja Ibu melaknatnya.
Apa
boleh buat. Laknat ibu tak akan membawa kebahagiaan. Larangan ibu tak akan
membawa aroma kehormatan dan ketenaran ke dalam rumah ini.
Maka
Usuf berangkat. Dengan Mad Sani ia tuntun jalan. Jalan menuju rantau nan hebat.
Tujuan berbungkah-bungkah emas. Dengan pasti, dimasukkannyalah semua kenangan
akan rumah ini ke dalam tas ranselnya. Kursi ayah, pintu kamar, gambar
kalender, lemari pemajangan foto-foto keluarga, foto-foto keluarga, aroma dapur
serta.. senyum Ibu. Senyum Ibu harus ikut terbawa. Paling tidak, Ibu hanya akan
tersenyum kepadanya saja kelak.
“Akan
kukembalikan nanti kepada Ibu, kalau aku sudah terhormat di rantau orang,”
desisnya sambil menepuk daging pintu rumah. Sekelebat ia usap gagang pintu yang
menampung jutaan noktah sidik jari macam-macam orang yang bergantung hidup di
rumah itu.
Ia
tahu Ibu diam-diam mengiringi langkahnya sampai ke seberang halaman. Bahkan
rumah itu, sepertinya ikut merengut. Kenapa dulu ayah menanam ari-arinya di
belakang rumah ini? Alangkah susahnya meninggalkan imbau mistik ari-ari.
Semestinya ayah melarung ari-ari itu ke lautan lepas. Dengan begitu Usuf pun
bisa beralasan untuk bepergian. Pergi ke mana saja untuk menyelusuri jejak
ari-ari. Membawa cerita negeri-negeri seberang lautan di hadapan makam ayah. Mempersembahkan
mutiara, perak dan marjan kepada ibu.
Alih-alih
demikian, kini bukan cerita yang bakal ia bawa pulang. Bukan mutiara, perak dan
marjan yang ia sertakan. Usuf jika akan pulang membawa perasaian. Beban hidup
yang hampir mati. Dan semua keniscayaan sebagai lelaki yang bertanggungjawab
penuh kepada seorang perempuan yang telah memberinya lima orang anak. Istrinya
itu, tak peduli kota sialan ini menggerogoti hari-hari Usuf malah ia rajin
sekali beranak. Saban tahun ia melahirkan. Pertama laki-laki. Kedua laki-laki.
Ketiga laki-laki. Keempat perempuan dan kelima juga perempuan. Tiga anak
laki-laki, dua anak perempuan. Usuf tersedot takdir. Dihisap kemiskinan akut.
Istrinya semakin kurus dihisap anak-anaknya.
Aduhai
Ibu, bisiknya tertahan. Usuf beranjak ke tengah keramaian. Sebuah halte dengan
berbagai perangai manusia terkungkung di situ. Mereka pegawai kantoran. Ada
anak-anak berseragam sekolah. Ada wanita-wanita muda dengan riasan mencolok.
Ada pula sepasang kakek dan nenek yang sedari tiba di halte itu tak lekang
bagaikan pisau dengan sarungnya.
Usuf
menyejajarkan diri dengan keramaian itu. Ia mendekap dadanya yang perih. Ia
menahan gegar perutnya yang kosong. Ia menyapu airmata tempat kelima anaknya
selalu berenang. Ia menyeka rambut kepalanya yang selalu membayangkan istrinya
sedang menanak batu, melemparkan cinta ke dalam bara api.
Usuf
menyerah. Perih di dada ia tepiskan, perut kosong ia tepikan. Airmata, bayangan
batu di dalam periuk ia bungkus dan dalam sekilat mata semua itu menyatu ke
dalam pisau yang ia hunus ke arah perut salah seorang wanita muda dengan riasan
mencolok tadi. Tangannya yang berlumur genangan kelaparan kelima anaknya
secepat kilat merenggut tas kecil yang terjepit di sela dua tangan wanita itu.
Secepat ia datang, secepat itu pula Usuf terbang hambur. Raungan pilu kesakitan
wanita itu, teriakan marah semua orang dan langkah kaki berdetak cepat di
belakangnya semakin memompa darah dari paru-paru ke jantung. Dari jantung ke
segenap pembuluh darah. Menggerakkan semua persendian. Dan sebuah pukulan keras
menghantam kepalanya. Ia terhuyung. Lidah mencecap rasa amis. Darah.
Usuf
berdarah. Sebuah tendangan mendarat di perutnya yang lapar. Menghantam wajah.
Menghantam dada. Dan kini dalam terkapar Usuf merasa jiwanya terbang.
“Bakar!
Bakar! Bakar!,’ orang-orang berteriak kesetanan.
Jiwa
Usuf panik. Dari awang-awang ia meluncur ke tanah, berusaha merenggut tubuhnya
yang sudah koyak dan basah oleh darah. Ia semakin panik ketika bau bensin
menguar manakala orang-orang dengan murka mengguyur tubuhnya dengan cairan
pemantik api itu. Jiwa Usuf menjerit! Tubuhnya berkobar. Api mengurung. Membakar
semua kenangan, kursi ayah, pintu kamar, gambar kalender, lemari pemajangan
foto-foto keluarga, foto-foto keluarga, aroma dapur dan senyum Ibu. Wajah anak-anaknya,
cinta istrinya. Jalan pulang. Semua menyatu. Menjadi abu.
Sirene
mobil polisi dan ambulans datang meraung-raung. Jiwa Usuf juga meraung pilu.
Aduhai Ibu!
Dalam
kepiluan yang dalam, jiwa Usuf melesat pergi. Ia kini kosong. Ia kini angin. Ke
mana angin membawa ke situ ia akan hinggap. Angin membawa jiwa Usuf terbang.
Jauh meninggalkan kota laknat. Laknat ibu sepanjang rantau. Menyeberangi
samudera. Menerabas hutan dan padang.
Di
sebuah perkampungan, angin melemparkan jiwa Usuf ke hamparan halaman sebuah
rumah. Usuf tahu ia sudah pulang.
“Aduhai
Ibu, di manakah engkau?” bisiknya. Jiwa itu terbang ke dalam rumah. Disapunya
semua sudut. “Ibu…Ibu..Ibu!” suara jiwa Usuf mendengking bertalu-talu.
Rumah
itu sunyi saja. Dindingnya lapuk di beberapa bagian. Laba-laba bersarang di
semua tempat. Perapian dingin tak berbara. Ibu tak ada. Ke mana engkau, Ibu?
Jiwa
Usuf dicekam sepi. Jiwa yang kosong itu kini semakin kelam.
Hari-hari
mendatang. Ketika orang-orang melewati rumah lapuk dengan tiang hampir rubuh
itu, acap terdengar raungan pilu. Tak ada yang tahu asal suara. Sebagian orang
mengatakan pernah mendengar suara itu memanggil-manggil Ibu..Ibu..Ibu! Ada anak
yang sedang mencari ibunya.
Ibu
yang sudah berkalang tanah. Tanpa pernah sekalipun mengulas senyum sejak Usuf
bersikukuh pergi merantau. Ibu yang memilih mati dalam kesedihan. Dalam rindu
yang mengharu biru.
Ke
mana sang anak kini? Senang benar ia hidup di rantau sehingga lupa kepada
ibunya. Apakah ia sudah merasa cukup hanya dengan menyimpan senyum ibu sekian
lama? Tak adakah niat Usuf untuk mengembalikan senyum ibunya itu?
Orang-orang
tak tahu. Usuf sudah pulang. Jiwanya kini menghuni rumah yang pernah ia
tinggalkan dalam murka dan laknat dari ibu. Usuf sudah kembali. Ia pulang untuk
menebus senyum yang telah direnggutnya.
Aduhai,
Ibu! Di manakah engkau?[]
Padang, 9 Juli 2015
Dimuat
pada halaman LITERASI harian Lombok Post edisi Minggu 17 April 2016
*Sebelumnya,
Cerpen ini berjudul “Menebus Senyum Ibu”.
Komentar
Posting Komentar
Selamat datang dan membaca tulisan dalam Blog ini. Silakan tinggalkan komentar sebagai tanda sudah berkunjung, salam dan bahagia selalu.