Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

Namora Poso





Oleh: Denni Meilizon

Koran Padang Ekspres edisi hari Minggu 24 Januari 2016
SEBAGAI Namora Poso dalam kaum kekerabatannya, Balia tahu betapa pentingnya isi surat yang baru saja dibacanya. Ia menggigil geram membayangkan segala konsekuensi logis akibat masalah pelik yang sudah disampaikan ayahnya dalam dua lembar kertas folio putih yang kini ia genggam dengan gemas.
Udakmu menjual tanah ulayat kita, Nak,” begitu ayahnya menuliskan. “Ia membujuk semua warga menjual tanah kebun mereka untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit. Pemodalnya cukong kaya. Tanah ulayat itu milik masyarakat yang dibagikan para Tetua,
Ompung-ompung kita dengan satu syarat mau tinggal, meneruka dan membangun kampung Saba Julu sebagai imbal jasa akan kesetiaan kepada Ompung Tuan Janaguru ketika terusir dari Pargambiran Silaping dulu,” tulis ayahnya lagi.
Balia, sebagai pemangku adat termuda tentu tahu bahwa yang dimaksud tanah ulayat oleh ayahnya itu adalah rangkaian tanah produktif, hutan perawan, huma dan perbukitan yang mencapai luas ribuan hektar. Balia juga tahu bahwa tanah ulayat hanya boleh digunakan untuk kemaslahatan masyarakat, diteruka bersama. Menjual tanah ulayat merupakan kejahatan tak terperi. Sebuah tindakan yang sangat memalukan, apalagi bagi anak keturunan Ompung Tuan Janaguru yang meneruka kampung Saba Julu.
Balia marah. Marah sekali. Matanya membeliak. Wajah Pidoli, adik ayahnya yang ia panggil dengan Udak itu melintas dalam kepalanya.
Pidoli bekerja sebagai PNS di Kota Medan. Sejak merantau belum pernah pulang kampung. Sekali ia pulang, Pidoli hanya punya niat satu saja, membujuk semua orang untuk membuka tangan lebar-lebar terhadap investor guna membuka perkebunan kelapa sawit di atas tanah ulayat yang notabene kini sebagian merupakan tanah ladang dan kebun, tempat bergantung hidup masyarakat Saba Julu. Pidoli hidup di sebuah kota yang tidak menggantungkan hidup kepada tanah. Ia sudah ditelan bulat-bulat oleh cara hidup kota. Siapa yang pandai berpandai-pandai maka dialah yang akan sukses. Kebutuhan hidup semakin meningkat. Hedonisme dan konsumerisme dalam keluarganya tidak bisa lagi ia bendung. Dan Pidoli sadar betul sebagai PNS, kemampuan dirinya amat sangat terbatas. Suatu hari ia mendapat kabar kalau sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit dari Malaysia ingin membuka lahan di Pasaman Barat. Tanah ulayat di kampungnya sangat luas. Sangat cocok untuk lahan perkebunan sawit. Posisinya sebagai anak keturunan pemangku adat akan ia manfaatkan. Ditambah lagi ia sangat tahu bahwa bagi orang kampungnya, sebagai seorang perantau terpelajar tentu kata-katanya patut untuk didengarkan. Dan ia tahu dengan cara apa ia bakal mendapatkan keinginannya. Pidoli dipenuhi rasa percaya diri yang tinggi. Membayangkan rencana masa depannya, Pidoli senang bukan main.  
“Yang tidak ia mengerti, dengan tindakan Udak Pidoli itu bukankah sama saja ia menjual kampung halamannya sendiri, Bang?” gerutu Balia kepada Morang Lubis, tokoh perantau Saba Julu, anggota DPRD. “Menjual tanah ulayat kaum sama saja menjual kampung. Memberikan leher kita untuk dibantai. Kita nanti akan jadi budak di tanah huma sendiri. Contoh sudah banyak. Kampung-kampung yang lain sudah duluan merasakan itu. Anak kemenakan mereka sekarang menjadi pekerja, membudak kepada cukong-cukong perkebunan kelapa sawit di tanah ulayat mereka sendiri. Lalu siapa yang diuntungkan, Bang? Hanya segelintir orang. Tak sampai lunas jari tangan ini menghitung yang segelintir itu!” lanjut Balia lagi meluapkan kemarahannya. Gundah hatinya. Matanya melotot nyalang menyapu semua orang yang hadir di ruang tamu rumah dinas itu. Hening. Balia berusaha menguasai dirinya. Sebelum kemudian menyalakan sebatang rokok kretek, diseruputnya teh manis dari gelas porselin yang terhidang di atas meja.
Morang Lubis mengangguk pelan. Sambil membetulkan posisi duduknya ia membuka sebuah map berwarna kuning pudar di atas meja. Dicermatinya isi surat-surat dalam map itu. Ada secarik surat yang menarik. Sebuah salinan surat pernyataan yang sudah ditandatangani puluhan orang.
“Apakah semua tandatangan ini asli? Kalau asli, langkah bagaimana yang akan kita ambil, sedangkan masyarakat pengguna tanah ulayat saja sudah menandatangani pernyataan penyerahan lahan mereka?” tanyanya kepada hadirin.
Semua kepala menjulur penasaran ingin melihat surat yang dikibas-kibaskan Morang Lubis tadi.
“Memang betul, Bang. Semua tandatangan itu asli adanya kalau itu yang Abang tanyakan. Cuma Abang perlu tahu juga bagaimana semua tandatangan itu bisa diperoleh Pidoli. Apakah Abang sudah tahu?” sergah Safar, mahasiswa.  
 “Segelas kopi, Bang dan Pidoli mentraktir orang-orang di lapo selama sebulan penuh,” sahut Rabdi Pulungan S.Ag, ustad kondang tamatan IAIN.
“Lalu bulan berikutnya, list tandatangan yang kini menjadi surat pernyataan sebagaimana di tangan Abang sekarang itu ia ajukan ke semua orang di lapo. Parahnya, tanpa banyak cincong orang-orang di lapo mau saja menandatangani list itu. Bahkan Ayah saya juga ikut menandatangani,” kata Friski, Manager sebuah hotel berbintang.
“Ayah, Udak dan Tulang saya juga tandatangan, Pak,” sahut Najidi tak mau ketinggalan. “Coba lihat ini, ini dan ini,” katanya lagi menunjuk deretan tandatangan bergulung-gulung di atas kertas itu.    
Sejenak ruang tamu itu buncah. Mereka sibuk menyigi satu persatu tandatangan di atas salinan surat itu. Kadang terdengar sumpah serapah manakala seseorang menemukan nama kaum kerabatnya. Hanya Balia yang duduk diam memperhatikan. Ia berpikir keras. Matanya lurus menatap Morang Lubis yang kebetulan juga menatap Balia. Tatapan keduanya penuh arti.
“Bang, ada baiknya kita pulang kampung. Kita ulur benang yang kusut ini dari pangkal,” usul Balia kepada Morang Lubis.
“Ya. Sayapun berpendapat demikian. Asumsi kita saat ini belum didukung fakta lapangan. Kita hanya mempedomani surat dan kabar angin, tentu susah kita untuk mengambil langkah. Namun demikian, menurut hemat saya perlu kita ancang-ancang dari sekarang mengurus perkara ini ke pengadilan. Kita sewa Pengacara dari Jakarta. Satu lagi, kita galang kekuatan. Balia harus menjalin komunikasi dengan semua perantau Saba Julu di manapun berada,” kata Morang Lubis.
Sesuai pembicaraan siang itu, esoknya mereka pulang kampung bersama. Apa yang mereka temui di lapangan betul-betul membuat Balia semakin sesak. Alih-alih mendukung upaya mereka untuk menggagalkan rencana jahat Pidoli itu, sebagian masyarakat malah terang-terangan melawan mereka dan membela Pidoli.
“Yang kalian rasakan nanti adalah kemiskinan, kehilangan harapan dan pokok gantungan hidup. Itu tanah kalian, Huma kalian untuk bercocok tanam. Sedikitpun tak ada untungnya perkebunan sawit itu kepada kalian. Saya takut malahan nanti kalian bakal jadi budak di tanah kalian sendiri. Kenapa kalian tidak paham juga?” ujar Balia di depan masyarakat kampungnya.
“Kau yang tak paham, Balia. Kalian terlalu senang di kota sana. Sudahlah, ini hidup kami. Kenapa pula kalian yang repot?” jawab pongah seorang lelaki dari tengah kerumunan.
Balia dan rombongan perantau yang hadir dalam pertemuan itu terperangah. Apalagi pernyataan lelaki itu banyak mendapat dukungan dari masyarakat yang hadir. Persekongkolan macam apa ini? batin Balia. Kuik elang terdengar jauh di langit. Desah sungai pemandian sayup terdengar. Ilalang dan perdu gemerisik mengirim bau ranggas kering.
“Persekongkolan gelas-gelas kopi,” bisik Morang Lubis bagaikan membaca pikiran Balia. Ia tak tahu mau bicara apa lagi.
***
Tiga bulan berselang, alat-alat berat mulai bekerja membuka lahan. Sementara itu, Balia dan kawan-kawan sibuk berjuang di pengadilan dan lunglai mereguk kekalahan. Pengacara yang mereka percayai untuk mengurus kasus ini malah bersekongkol dengan perusahaan milik cukong dari Malaysia itu. Pidoli menangguk keuntungan luarbiasa. Kekayaan dan asetnya meningkat drastis. Masyarakat terperangah mendapati bahwa Pidoli menipu mereka mentah-mentah. Pidoli pun disumpahi sehingga tak akan pernah dapat menjejakkan kaki di Saba Julu lagi. Setahun kemudian tanah ulayat itu sudah dijejali pohon sawit. Dinas Perkebunan, entah dengan cara apa bersedia saja mengeluarkan HPH. Sah sudah. Masyarakat Saba Julu mau tak mau menghiba, meminta agar dapat bekerja di perkebunan kelapa sawit yang ditanam di atas tanah mereka. Persis apa yang diramalkan Balia dahulu.
Suatu hari Balia pun pulang kampung. Baru saja ia turun dari mobil, seorang ibu dengan menggandeng anak perempuan datang tergopoh-gopoh menyongsongnya. Kepada Balia ia menyerahkan anak perempuan remaja itu sambil berkata, “Ayah anak ini sudah meninggal dunia, Balia. Sejak padi tak ditanam di huma. Sejak jagung tak mengupih di ladang. Kami sekarang bekerja di perkebunan kelapa sawit. Maka, Balia kaubawalah anak ini ke kota. Aku mohon, Balia. Di sini sudah tak ada lagi harapan.”
Balia seperti melolosi tulang belulangnya sendiri.
“PIDOLI!” desisnya lunglai.
**** 
Padang, Januari 2016
Ket.:
Namora Poso: Pemangku adat termuda di Mandailing
Ompung: Kakek, moyang, orangtua Ayah dan Ibu
Udak: Saudara laki-laki dari pihak ayah
Tulang: Saudara laki-laki dari pihak ibu
Lapo: Warung tempat minum dan makan

Dimuat oleh Koran Padang Ekspres edisi hari Minggu 24 Januari 2016
Pembicaraan Cerpen NAMORA POSO terkait pada link berikut:
http://scholar.unand.ac.id/20890/2/BAB%20I%20WATERMARK.pdf


Tentang Penulis

Denni Meilizon, lahir di Silaping Pasaman Barat, 6 Mei 1983. Menulis Sajak, Cerpen dan Essai. Bergiat di FAM Indonesia. Berdomisili di Lubuk Minturun Padang. HP. 081378605943. Alamat email: denninasution@gmail.com.






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.