Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

MENGURUNG KENANGAN: PUISI-PUISI DUA GENERASI


(Buku Kumpulan Puisi “HATI PRAJURIT DI NEGERI TANPA HATI”)
Oleh: Denni Meilizon*

PUISI sebagai karya sastra merupakan karya yang sangat rumit dan kompleks. Di dalamnya banyak hal dapat ditemukan, dipahami, bahkan dipedomani untuk menyikapi kehidupan dan hidup. Sebuah puisi adalah sebuah dunia. Sebuah dunia yang diciptakan dan ditiadakan. Sebuah dunia imajinasi yang dibangun atau dibentuk oleh beberapa unsur yang menyatukan dan membentuk dunia tersebut (Hasanuddin WS, 2002).
Sebuah puisi pada hakikat dasarnya merupakan “artefak”,  sebuah objek yang sama dengan lukisan atau patung. Karya sastra kalau demikian bisa disamakan dengan garis-garis hitam pada kertas putih, atau naskah kuno, atau seperti puisi Babilon, tulisan yang ditatah pada batubata. Pernyataan tersebut tentu mengesampingkan sastra lisan yang sungguh besar jumlahnya. “Artefak” itu dibentuk sebab dituliskan. Tulisan menyalin karya sastra (Wellek, Rene,dkk.2014)

Banyak puisi dan cerita yang tidak pernah dituliskan dan tetap saja bertahan (dengan cara bagaimanapun!) sampai saat sekarang. Maka sekiranya kita menghancurkan semua cetakan buku sastra, mungkin saja karya sastra tidaklah akan punah. Mungkin ia akan kembali kepada tradisi lisan. Disimpan dalam ingatan. Dituturkan dari mulut ke mulut.
Semestinya ada kepribadian di dalam karya sastra.  Membaca Puisi Zaidin Bakry atau puisi Sastri Bakry dalam Buku Kumpulan Puisi “HATI PRAJURIT DI NEGERI TANPA HATI” (FAM Publishing, 2015) ini misalnya kita akan tahu ada sesosok pribadi di balik karya-karya itu. Ada kesamaan dan juga perbedaan ciri-ciri fisik di antara karya mereka. Dan kita akhirnya juga tahu melewati data biografis pengarang/penyair bahwa keduanya dihubungkan oleh ikatan biologis. Antara seorang Ayah dengan seorang Anak. Apabila karya kepenyairan merupakan suatu konvensi (yang didramatisir) maka sekira dua (atau lebih) pengarang/penyair mengumpulkan puisi maka itu merupakan pekerjaan menyatukan harmoni, irama, ketulusan, kejujuran, bakat, kegilaan, kesurupan, kemurnian dari proses dan kematangan olah pikiran. Semua hal yang hanya dimiliki oleh manusia. Maka begitulah kiranya Prof. Dr. Mursal Esten, seorang kritikus sastra berkata tentang sosok Zaidin Bakry, “Zaidin Bakry telah menunaikan profesinya sebagai militer dengan baik sampai terakhir dengan pangkat Kolonel. Dan dia juga sudah menunaikan tugasnya sebagai seorang manusia, sebagai seorang seniman, menulis dan mengemukakan pikiran-pikirannya.”
Zaidin Bakry, Prajurit yang sastrawan sesungguhnya sama saja halnya dengan Sastri Bakry, Pegawai Negeri yang sastrawan. Sebuah ungkapan lama mesti kita padankan dalam uraian ini bahwa “buah memang tak akan jatuh jauh dari pohonnya”. Keduanya; Ayah dan anak ini berbuat untuk Negara (baca: Dunia), keduanya tokoh di bidang tugas kedinasan masing-masing yang seakan membenarkan sebuah pernyataan yang dulu pernah diingatkan oleh Sastrawan A.A. Navis, “Kalau tidak bisa memperbaiki dunia, janganlah tambah merusaknya”. Dan Demikian kita bisa membaca dan melihat bagaimana karya sastra puisi yang mereka tulis merupakan refleksi peristiwa. Berkaitan erat dengan peristiwa dan waktu.
Sastri Bakry, kita kenal sebagai novelis kawakan. Namun juga intens menulis puisi. Novelnya “Kekuatan Cinta” terbitan Zikrul Hakim meraih penjualan sebagai best seller pada tahun 2011 yang lalu. Beberapa karya Sastri Bakry dapat kita baca dalam halaman tentang penulis/penyair pada buku yang kita bicarakan pada kesempatan ini. Sedangkan puisi-puisinya terkumpul dalam beberapa antologi bersama, terakhir menerbitkan kumpulan puisi tunggal “Sastra Sastri Dalam Puisi” FAM Publishing 2013. Membaca buku puisi yang ada di hadapan kita saat ini, kita menemukan kembali beberapa puisi yang sudah dimuat dalam buku puisi sebelumnya. Seperti misalnya puisi berjudul Kebenaran Tanpa Rasa Takut. Puisi tersebut menurut hemat saya merupakan sebuah refleksi jiwa seorang pribadi Sastri Bakry. Sosok seorang Ibu menulis puisi itu sudah sangat luar biasa. Tapi keberaniannya mengungkapkan kebenaran tanpa rasa takut melalui puisi-puisinya (dan juga karya lainnya) sangat patut untuk diberikan apresiasi dalam ruang pembicaraan sastra. Sebagai aparatur Negara dan pejabat di lingkungan kementerian jelas butuh mental baja untuk dapat meraih posisi yang diraih Sastri Bakry saat ini. Tak banyak di negeri ini pejabat Negara tetapi saat bersamaan adalah juga seorang Sastrawan. Andaikan semua pejabat di negeri ini adalah sastrawan sebagaimana pernah beliau katakan dalam sebuah kesempatan, “dunia puitika semestinya tak cuma milik para penyair sebab keseharian yang kita jalani adalah puisi itu sendiri. Manifestasi dari penjelajahan puitika yang sesungguhnya” maka alangkah indahnya Negara ini. Dijalankan dengan irama kelembutan, keindahan nan tiada terperi.
Hati Prajurit di Negeri Tanpa Hati, buku antologi puisi karya Zaidin Bakry dan anaknya Sastri Bakry merupakan upaya pendokumentasian ekspresi dari pengalaman intuitif tentang hidup dan kehidupan. Maka kita akan menyaksikan kata-kata saling mengurung guna bersatu padu merenungkan butir-butir mutiara hikmah yang tercecer bersama perputaran waktu. Persoalan diri sendiri, orang lain, lingkungan, sebuah bangsa atau gerak semesta menjadi sedap dibaca dalam irama melodi permainan kata. Melalui bahasa puisi dengan sudut pandangnya yang tidak biasa maka kita bisa membaca hal yang biasa-biasa saja menjadi sesuatu hal yang terasa baru lalu terbawa arus sebelum kemudian mengangguk ataupun menggeleng tanpa sadar. Puisi ditulis untuk mencatatkan kegelisahannya dalam banyak hal, dalam persinggungannya dengan banyak kalangan, memotret realitas sosial bagaikan menghadirkan sebuah pameran foto berbingkaikan kemanusiaan dengan kerangka ungkapan yang tak sulit dipahami dan terang. Puisi-puisi dalam buku ini sederhana dan komunikatif, namun tetap indah dan menawan hati.
Menelusuri puisi demi puisi, antara karya Zaidin Bakry yang generasi angkatan 66 dengan karya Sastri Bakry generasi Sastrawan angkatan 90-an tentu akan berbeda manisnya ataupun juga pahitnya. Keduanya menyajikan dengan nikmat sesuai takaran menurut zaman puisi-puisi itu ditulis. Namun, sebelum kita semakin terbawa hanyut, ada baiknya pembahasan ini kita tutup saja dengan dua bait puisi yang menurut hemat saya merupakan simpul pertemuan dua generasi beda zaman ini: “jurang yang menganga di antara kita/adalah luka duka di wajah dunia;/siapa pun engkau di sana dan aku di sini/keduanya punya hati” (Hati Prajurit, Hati Prajurit di Negeri Tanpa Hati:48). “Perlahan/Suatu saat bom itu akan meledak jua/Di tengah kecamuk negeri tanpa hati/Yang berpikir selamat karena bersama bukan karena kebenaran/” (Negeri Tanpa Hati, Hati Prajurit di Negeri Tanpa Hati:78)
***
Padang, 3 Februari 2016
Kepustakaan:
Bakry, Sastri.2013. Sedikit di Atas Cinta. Jakarta: Republika
______________2013. Sastra Sastri Dalam Puisi. Pare, Kediri: FAM  
          Publishing
______________2015. Hati Prajurit di Negeri Tanpa Hati. Pare, Kediri:
          FAM Publishing
Wellek, Rene,dkk.2014.Teori Kesusastraan (terjemahan).Jakarta: Gramedia
          Pustaka Utama
WS, Hasanuddin.2002. Membaca dan Menilai Sajak Bandung: Angkasa Bandung

*Denni Meilizon, lahir 6 Mei di Silaping Pasaman Barat. Pegiat literasi di Komunitas FAM Indonesia. Relawan membaca, mendongeng dan menulis pada Kelas Kreatif Indonesia. Aktif menulis esai, cerita pendek dan puisi di beberapa media. Menerbitkan buku tunggal dan antologi. Selain sebagai editor juga sering diminta sebagai juri pada berbagai lomba pertunjukan sastra. Berdomisili di Padang.




 

Makalah ini dibacakan pada acara Bedah Buku Kumpulan Puisi “Hati Prajurit di Negeri Tanpa Hati” Zaidin Bakry dan Sastri Bakry terbitan FAM Publishing, 2015 di Toko Buku SARI ANGGREK, Jl. Permindo Padang pada tanggal 6 Februari 2016.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.