BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya. “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”. Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR ketika ditanya:...
Oleh: Denni Meilizon
(Dimuat oleh Harian SINGGALANG edisi Minggu, 28 Agustus 2016 halaman Khasanah)
(Dimuat oleh Harian SINGGALANG edisi Minggu, 28 Agustus 2016 halaman Khasanah)
DARI
mana mimpi itu
datang?
Edwar
tak mengerti. Awalnya ia seekor ikan yang berenang dan menyelami palung sebuah
danau, mengaduk lumpur busuk di dasarnya lalu melompat tinggi menggapai langit
biru (ataukah merah?) dan kini tiba-tiba saja ia berada di atas tempat tidur;
kehabisan napas, mengerjap-ngerjapkan mata, gamang dan perlahan menyadari
kehadiran orang-orang di sekelilingnya (sebelumnya seseorang telah menyemburkan
air yang membuat wajahnya basah dan kini ia merasa dingin), sampai saat itu ia
masih belum mengerti.
“Sutan
Laut Api!”
Edwar
terbeliak. Ia mendengar suara itu lagi.
“Sutan
Laut Api! Sutan Laut Api!”
Ia
menatap nanar ke sekelilingnya. Mencari asal suara.
“Keluar!”
teriak seseorang. Lalu tiba-tiba, entah datang dari mana, Edwar merasakan sekumpulan
denging meneror di dalam kepalanya. Matanya nanar. Berkunang-kunang.
“Keluar
kau, Sutan! Tinggalkan raga anak ini. Kembalilah kau ke duniamu!” desis
seseorang dengan beringas meniup telinganya, memukul ubun-ubunnya dan
menghantam punggungnya dengan… Entah apa. Edwar berontak.
Ia
kesakitan. Sangat sakit.
***
Siang
itu, Sangkabulan ingin sekali menari. Di balerong,
Sangkabulan dan dua saudaranya beserta putri-putri pejabat kerajaan
Panggambiran diajari tari, sastra dan musik oleh Ompu Pado. Usia Ompu Pado
sendiri sudah lebih satu abad. Sebetulnya tidak ada yang tahu pasti berapa umur
orangtua itu. Dan secara turun temurun Ompu
Pado diserahi tanggungjawab untuk mengajari anak-anak raja Panggambiran.
Sangkabulan
merasa kalau hari ini ia mesti ke balerong.
Tetapi di mana gerangan kakaknya Lenggogeni dan Madang Dewi? Apakah mereka
sudah di balerong? Sangkabulan sudah mencari
kedua kakaknya itu ke kamar mereka akan tetapi tidak ada. Ia lalu berkeliling
dan menanyakan kepada upa-upa. Upa-upa memberi tahu kalau kedua
kakaknya sudah sejak tadi ke balerong.
Bergegas
ia ke ruang pasinggarahan putri. Lamat-lamat
Sangkabulan memang mendengar bunyi yang tak asing. Alunan bansi, rabab dan
gamelan. Dengung ogung, hentak gordang dan petikan kecapi. Sebab itu ia
harus mempercepat langkah. Marahkah Ompu
Pado padanya? Ah, tidak mungkin. Mana mungkin orangtua itu berani memarahi
putri raja. Sangkabulan tersenyum simpul. Langkah kakinya bergegas menuju balerong.
Ia
melewati taman bunga. Tak ia perhatikan bunga-bunga yang sedang mekar. Air
mancur di kelilingi kolam air deras dengan ikan-ikan dari Lubuak Landua dan
Kinali. Ia berlari kecil. Gemerincing gelang kaki, selendangnya yang menyibak
angin, rambutnya mayang terurai dan harum tubuhnya balutan aroma bunga tujuh
rupa. Wajah cantik itu berpeluh. Beberapa langkah lagi ia akan sampai ke balerong. Di sana, dalam siluet dibiaskan
cahaya matahari ia sudah melihat Lenggogeni dan Madang Dewi asyik menari. Di sebelah
mereka, Ompu Pado sedang memperagakan
sebuah gerak dan manakala ia menyadari kehadiran Sangkabulan, mendadak ia
memberi tanda berhenti kepada pemain musik. Sangkabulan terkesiap sejenak. Balerong itu hening. Semua orang menatap
lurus kepadanya. Ia salah tingkah.
“Meninggalkan
latihan tanpa alasan sungguh perbuatan yang tidak pantas wahai Putri Raja yang
cantik bak bulan purnama..” sambut Ompu
Pado. “Namun, syukurlah. Ternyata Tuan Putri hari ini mau latihan lagi.” Lalu
ia menoleh kepada pengiring, “Ayo mainkan lagi, Paregat. Sampai di mana kita
tadi?”
Siang
begitu cerah, tanpa awan. Tanpa disadari oleh siapapun, dari tempat yang jauh,
seseorang (kelak kita kenal sebagai Sutan Laut Api) sedang bersemadi memusatkan
pikiran menerawangi semua kejadian di balerong
istana.
Sutan
Laut Api sudah lama menaruh kagum kepada putri bungsu raja itu. Gadis perawan
beraroma bunga tujuh rupa. Mabuk kepayang. Sayangnya tuah raja teramat berat
untuk ditembus. Istana dibentengi pagar gaib tingkat tinggi. Bahkan untuk
menerawang ini saja, ia harus mengerahkan segenap tenaga yang ia miliki. Sebab
itulah cuaca hari itu lain dari biasanya. Ambigu. Tetapi orang biasa tidak akan
merasakannya.
Langit
menyerap kekuatan gelap. Bumi mengeram mantera-mantera. Udara legam. Kilat-kilat
aneh kadang muncul. Dan fenomena demikian tak menjadi perhatian bagi mereka
yang sedang menari di balerong.
***
Sekelompok
anak muda mendirikan tenda tak seberapa jauh dari bibir Danau Laut Tinggal.
Bahasa Minang bercampur Mandailing terdengar bersahutan. Mereka datang dari
Padang.
Salah
seorang dari rombongan itu sibuk sekali menjepretkan kamera saku. Dipotonya
danau yang beriak. Belukar yang rimbun. Kawanan burung yang terbang rendah. Ia
ambil poto kawan-kawannya. Dan lebih satu setengah jam kemudian, di tengah
senda gurau dan gelak tawa, sesuatu diluar nalar terjadi. Salah satu poto yang
diambil anak muda tadi menampilkan gambar yang aneh dan merindingkan bulu roma.
Terlihat siluet seorang perempuan dengan selendang menyibak, rambut mayang
terurai, dalam gerakan seperti menari melayang begitu saja di atas permukaan
Danau Laut Tinggal. Beberapa meter dari tempat mereka mendirikan tenda. Semua
orang saling pandang. Ada ketakutan. Ada kengerian. Mau tidak percaya tapi
gambar dalam poto tidak bisa disangkal. Apalagi baru satu setengah jam yang
lalu gambar itu diambil.
Tiba-tiba
sebentuk angin dingin berembus. Dari tengah danau muncul pusaran angin bergulung
dengan cepat. Semua orang menjerit tertahan lalu semburat dan lari tunggang
langgang.
Di
tengah teror alam itu, hanya satu orang saja dari mereka yang tetap diam di
tempat, tidak beranjak sedepapun. Ia berdiri terpaku. Menatap lurus ke arah
danau. Angin dan dedaun kering berhamburan ke wajahnya. Tetapi ia sepertinya tidak
peduli. Ada sesuatu di sana, di tengah danau. Ada sesuatu di dalam pikiran
sekaligus ada sesuatu yang mendadak dirasakannya pergi. Tiba-tiba saja ia
merasakan sakit. Sakit sekali. Perih. Perih sekali. Entah apa.
Anak
muda itu adalah Edwar. Berhari-hari setelah hari itu, ia diseret alam mimpi
menjadi ikan besar.
“Sutan
Laut Api! “Sutan Laut Api!”
***
Sangkabulan
dilanda demam tinggi. Mirah Delima, upa-upa
pengasuhnya kini cemas bukan buatan. Junjungannya tidak pernah sakit seperti
ini. Ia sudah meremas dedaun ramuan, sudah membaluri tubuh Sangkabulan dengan
air perasan. Dupa juga sudah dibakar. Dan demam tubuh Sangkabulan belum turun
juga.
“Bagaimana,
Upa?” sebuah suara beraksen berat
mengejutkan Mirah Delima.
Mirah
Delima langsung saja berlutut membuat sembah.
“Ampunkan
Patik, Tuanku. Patik lalai menjaga Tuan Putri sehingga beliau sakit begini,”
sembah Mirah Delima.
“Sudahlah,
Upa. Bukan salahmu. Sakit dan sehat
itu kehendak Sang Agung. Setiap sakit pasti ada obatnya. Sebentar lagi biarkan Datu yang mengobati Putri Sangkabulan.
Sakit demam itu biasa saja, Upa,”
jawab junjungan tanah Pasaman itu menenangkan hati sahayanya.
“Terimakasih
Paduka. Mohon izinkan Patik tetap menjaga yang mulia Tuan Putri. Patik telah
membaluri tubuh Tuan Putri dengan ramuan bulung
galunggung, lasiak dan si
dingin-dingin. air putih hangat kuku sudah Patik minumkan pula tadi,” jelas
Mirah Delima.
Laki-laki
berbadan tegap, dengan segenap aura ketenangan dan kemuliaan itu menghampiri
Sangkabulan yang terbaring memejamkan mata. Ia meraba dahi Sangkabulan dengan
punggung tangan. Ia mengangguk-angguk mengelus dagunya.
Selagi
ia masih duduk di sisi Sangkabulan, masuklah Datu istana. Ia memegang carano
bertutup kain wol kuning keemasan.
Dengan
tenang diperiksanya Sangkabulan. Mulutnya berkomat kamit.
“Ini
bukan demam biasa, Paduka. Satu kekuatan jahat telah menembus istana ini. Kita harus
menyiapkan ritual tolak bala,” bisiknya kepada Sang Raja.
Raja
menatap Datu istana itu. Ia melihat
kecemasan.
“Apakah
Sutan Laut Api?” tanyanya ragu-ragu.
Datu
terdiam. Sekilat saja, ia mengangguk memberi tanda. Di luar Istana hujan tumpah
dari langit.
***
Begitulah
dikemudian hari, melewati abad demi abad. Gunung Talamau menyimpan narasi masa
lampau, berpilin-pilin dalam urat tanah. Gema lenguh Sangkabulan yang sakit,
diguna-gunai Sutan Laut Api menguar jauh, merasuk ke dalam bukit-bukit batu dan
sekujur badan Gunung Pasaman. Talamau dan Pasaman, dengan narasi bagaimana bisa
dikelindankan? Kini, dalam diri anak muda itu, kenangan masa lalu mengumpul
menggenang dalam darah.
“Siapa
kamu?!”
Edwar
menggeram. Mulutnya merapalkan kata-kata aneh. Matanya semerah saga. Ia mencoba
melawan. Tujuh orang laki-laki kuat memegangi tangan, kaki, kepala dan
badannya. Ia merasa sangat sakit. Tetapi ia juga merasakan kekuatan. Kuat
sekali.
“Saya
Sutan Laut Api! Ha-ha-ha-ha….!” sebuah suara yang sudah meminjam mulutnya
menjawab. Edwar sebetulnya ingin menjawab dengan menyebutkan namanya. Dan ia
heran, kenapa Datu itu tidak mengenalinya? Siapa yang tak kenal dengan Edwar?
Di kampung ini, tak ada yang tidak kenal dirinya sebagaimana pula ia mengenali
setiap orang yang kini sedang melumuri tubuhnya dengan kesakitan.
Ia
kembali mencoba melepaskan diri. Untuk kesekian kalinya sebuah semburan berbau
busuk terasa menerpa wajahnya. Ia merasa muak. Lalu sakit. Sakit sekali. Tetapi
ia merasa sangat kuat.
“Bawa
aku ke puncak Talamau tepat di malam ke empatbelas. Aku akan memadu cinta
dengan Sangkabulan di sana!” Sutan Laut Api di dalam raga Edwar berbisik ke
telinga Datu itu.
Bukankah
malam nanti bulan purnama akan menyibak langit Pasaman? []
Padang,
2016
Catatan
kaki:
-
Ompu:
Kakek
-
Balerong:
Balairung, ruang terbuka
-
Pasinggarahan:
Tempat mukim, rumah tinggal
-
Upa-upa:
pengasuh
-
Datu:
Tabib, orang yang ahli dalam pengobatan
-
Ogung
dan Gordang: jenis alat musik pengiring dari
Mandailing
-
Bulung:
daun. Galunggung, lasiak dan si
dingin-dingin: nama tumbuhan
Komentar
Posting Komentar
Selamat datang dan membaca tulisan dalam Blog ini. Silakan tinggalkan komentar sebagai tanda sudah berkunjung, salam dan bahagia selalu.