Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

RESENSI BUKU PUISI KIDUNG PENGELANA HUJAN


Judul buku : Kidung Pengelana Hujan
Jenis buku : Kumpulan puisi
Penulis : Denni Meilizon
Penerbit : FAM Publishing
Tahun Terbit: Cetakan I, November 2012
ISBN : 978-602-18971-7-1
Tebal : xviii + 120 halaman
Harga : Rp. 38.500,- (diluar ongkos kirim)

“Menilai Buku dari Segi Kualitas, Bukan Hanya Segi Popularitas”

Marak sekali pelbagai buku-buku kumpulan puisi yang beberapa tahun belakangan ini mulai kembali bermunculan. Entah itu yang diterbitkan melalui penerbit indie (self publishing) atau pun melalui penerbit mayor. Memang bisa dibilang untuk menerbitkan buku di saat seperti sekarang ini, menjadi sangat mudah dan cukup efisien, karena menjamurnya penerbit-penerbit indie yang hadir dan bersedia menampung karya kita. Namun terlepas dari itu semua, tentunya kehadiran buku puisi berjudul Kidung Pengelana Hujan penerbit FAM Publishing ini, akan sedikit mengobati para pecinta sastra yang telah lama ‘haus’ serta rindu akan karya tulis literasi yang memuat banyak bahasa kesusastraan yang indah serta eksotis.

Denni Meilizon adalah penulis tunggal buku kumpulan puisi Kidung Pengelana Hujan. Dia yang mampu mengejawantahkan sesuatu hal yang ada di sekitarnya melalui rangkaian kata dan kalimat, hingga menjadi sebuah karya sastra berupa puisi dan prosa yang berestetika tinggi. Kepekaannya dalam mengartikan alam semesta, kedekatan hubungan antara Pencipta dan hambaNya, hingga kehidupan sosial sehari-hari mampu dia ramu menjadi karya yang patut diperhitungkan. Pemilihan kata serta diksi dalam buku ini, cukup luas dan mampu membuat siapa saja yang membacanya dapat menangkap pesan di balik keindahan setiap puisinya itu.

“Pergilah ke toko buku. Perhatikan, banyak buku ‘kacangan’ tidak bernilai di etalase depan laris ludes dibeli banyak orang, sementara buku-buku yang bernilai malah tidak laris. Contohnya adalah buku-buku puisi. Lantas, mengapa kita masih menulis dan menerbitkannya?” begitulah pernyataan yang saya kutip dari prolog buku kumpulan puisi Kidung Pengelana Hujan yang disampaikan oleh Izharry Agusjaya Moenzir seorang penulis dan juga wartawan. Beliau mengungkapkan hal yang pelik, yang memang benar adanya. Di sana dia mengungkapkan bahwa, “mengapa kita masih menulis dan menerbitkan puisi?” tanyanya dia jawab sendiri dengan mudah, dia mengungkapkan bahwasanya “penulis puisi adalah orang-orang yang masih percaya kepada kekuatan kata. Masih menghargai detak-detak rasa dan mampu berdialog dengan diri sendiri” pungkasnya. Beliau percaya bahwa Denni Meilizon mengiyakan pernyataannya itu, dan mengajak kita untuk menghargai keyakinannya.

Lahir di Desa Silaping Kabupaten Pasaman Barat dalam wilayah Provinsi Sumatera Barat. Sumatera Barat  sebagaimana dikenal sering memunculkan banyak penyair dan penulis handal. Denni Meilizon tidak melupakan tempat kelahirannya itu, terlihat dari caranya menyelipkan beberapa bahasa minangkabau yang kental dan berciri khas pada beberapa puisinya. Bahkan, Denny S. Batubara seorang jurnalis di beberapa surat kabar juga mengungkapkan hal yang serupa. Ketika membaca puisi goresan tangan Denni Meilizon, beliau merasa seolah di bawa bernostalgia, terlebih tentang keindahan ranah minang yang mampu digambarkan secara apik oleh penulis. Beliau merasa kembali diingatkan akan tempat kelahirannya yang kebetulan sama dengan penulis yaitu di Provinsi Sumatera Barat lebih tepatnya daerah yang didiami mayoritas suku mandailing.Salah satu penulis endorsement dalam buku Kidung Pengelana Hujan ini, berbagi wejangan terhadap penulis serta pembaca semua untuk saling menghormati dan menghargai. Serta menjunjung tinggi semboyan “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.”

Buku kumpulan puisi Kidung Pengelana Hujan, memang jika dieja secara bahasa, kata per katanya penuh dengan bahasa yang syarat akan kesusastraan. Penulis menggunakan dan memilah kata hujan sebagai bagian dari judul buku ini, mungkin karena di dalam buku ini memang banyak mengulas tentang makna hujan itu sendiri. Dengan bahasa dan ciri khasnya, serta dengan pandai penulis mengartikan kata hujan ke beberapa hal yang lebih luas lagi dalam puisinya, yang mungkin orang lain kurang ketahui.

Kepiawaian penulis dalam melukiskan sesuatu hal melalui puisi memang tidak perlu diragukan lagi. Intuisinya yang tajam, mampu menggoreskan penanya menjadi sebuah karya tulis yang penuh dengan makna. Namun, ada beberapa hal yang perlu ditinjau lebih jauh. Penulis kurang memerhatikan penggunaan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) dengan baik di beberapa karya puisinya. Seperti penulisan judul, cara penempatan partikel-partikel “Pun, Nya/Mu, Ku dan Di.” Lalu penulisan bahasa asing yang seharusnya bercetak miring, serta beberapa kata yang kurang tepat dan tidak sesuai dengan apa yang sudah tertara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Sebagai contoh, saya mengutip bait serta judul dari beberapa buku kumpulan puisi ini seperti dalam puisi yang berjudul : “EMBUN DIATAS KACA (hal. 16)” Pada kata “DIATAS” seharusnya ditulis “DI ATAS” sebab kalimat itu sebagai judul, lalu kata “di” bila ada di bagian awal kata juga harus terpisah. Seperti bait: “Ditiap persimpangan jalan itu (Hal. 30),” yang lebih tepat kata “ditiap” harusnya ditulis “di tiap.” Dan masih ada beberapa kesalahan yang sama dalam buku ini yang ditulis bersambung dengan kata yang mengikutinya. Serta kata “di” harus ditulis terpisah bila kata yang mengikutinya menunjukkan tempat. Contohnya ; “di sana, di sini, di rumah, di masjid, di jalan, di bibir,” dls.
Lain halnya dengan partikel “di” yang ditulis tidak terpisah bila kata yang mengikutinya berupa kata sifat, seperti ; “dimakan, dilihat, disayang, diambil, ditiru, dilakukan, diisinya dll.”
Berlanjut ke partikel “pun” yang saya temukan dalam beberapa puisi yang ada di buku ini, yang penempatannya dirasa kurang tepat. Semisal dalam puisi yang berjudul “Bapak Tua dan Becaknya (Hal. 36),” di sana ada kata yang seharusnya tidak disambung dengan partikel “pun,” seperti pada bait ; “Yang tak bisa dimiliki Bapak Tua ini sampai kapanpun,” kata “Kapanpun” semestinya ditulis terpisah menjadi “kapan pun.” Sebab, penulisan “pun” yang benar harus terpisah dari kata yang mendahuluinya, karena “pun” mengandung arti juga yang merupakan adverbia.
Ada beberapa kata “pun” yang memang harus ditulis bersambung atau tidak dipisah. Yaitu : “adapun, andaipun, ataupun, bagaimanapun, biarpun, kalaupun, kendatipun, maupun, meskipun, sekalipun, walaupun, sungguhpun.” Dan ini terbatas jumlah katanya yaitu hanya 12 kata. Selain kelompok 12 kata yang telah disebutkan, pemakaian “pun” sebagai pengganti harus ditulis terpisah.

Sekarang berlari kepada penulisan “Nya/Mu” yang dimaksudkan sebagai kata ganti Tuhan atau menunjukkan kepada Sang Maha Pencipta. Ada beberapa puisi yang saya temukan cara penulisannya salah. Sebagai contoh, bisa kita lihat pada puisi yang berjudul : “SUJUD (Hal.11).” Pada bait yang berbunyi :
Melekatkan kening di atas sajadah
Melekatkan hati kepada-Nya
Pada kata “Kepada-Nya” seharusnya ditulis “KepadaNya.”
Lalu, pada puisi berjudul : “Mengeja Hujan (Hal.35).” Pada bait yang berbunyi :
Dalam derai hujan aku mengeja
Membiasakan diri dengan menyebut nama-Mu
Sama halnya dengan penulisan “Nya” di atas, penulisan “Nama-Mu” tidak benar. Yang sesuai dan yang tepat yaitu “NamaMu.” Tanpa menggunakan setrip (-) sebagai penghubung. Adapun kata yang menggunakan setrip (-) adalah kata yang menggunakan singkatan, sebagai penghubung kata dan dua suku kata yang sama dls. Semisal : KTP-mu, kupu-kupu, mobil-mobil dll. Kemudian saya temukan penulisan “ku” singkatan dari “aku” sebaiknya ditulis serangkai dengan kata yang mendahuluinya. Contoh : Bukuku, punyaku, puisiku. Serta “ku” yang diikuti oleh kata kerja sebaiknya ditulis serangkai pula, karena “ku” tidak dapat berdiri sendiri. Sebagai contoh ada dalam puisi berjudul : “Pada Pias Padam Gerhana,” dalam bait syair yang bertuliskan “Ku tasbihkan,” seharusnya ditulis “Kutasbihkan.” Sebab begitulah menurut EYD penulisan kata yang benar.

Penulisan cetak miring pada kata dan frasa bahasa asing sering kali terlupa ataupun terlewatkan. Dalam beberapa puisi yang ada pada buku Kidung Pengelana Hujan ini, ada kata asing yang tidak bercetak miring serta tanpa keterangan – tidak semuanya hanya sebagian.
Penggunaan bahasa yang tidak baku juga di temukan dalam beberapa puisinya. Seperti pada puisi berjudul: “Kudefenisikan Cinta (Hal.53),” sedangkan dalam KBBI penulisan yang benar adalah Definisi yang berarti kata, frasa, atau kalimat yg mengungkapkan makna, keterangan, atau ciri utama dari orang, benda, proses, atau aktivitas; batasan (arti). Dan sering saya temukan dalam beberapa puisi dengan kata serta penulisan yang sama. Lalu penulisan “Nafas” pada puisi berjudul : “Merindu (Hal.32),” dalam KBBI penulisan yang benar adalah “Napas” yang bermakna udara yang diisap melalui hidung atau mulut dan di keluarkan kembali dari paru-paru.
Terlepas dari itu semua, saya ingin memberikan apresiasi pada gambar jilid (cover) yang ilusrtasinya dapat melukiskan judul buku puisi “Kidung Pengelana Hujan” secara baik. Namun sedikit kritikan, bahwa hasil cetakannya kurang maksimal/tidak sempurna. Terlihat dari gambarnya yang agak buram. Lalu, tulisan dalam buku yang menggunakan ukuran font terlalu kecil sehingga dibacanya sedikit samar dan kurang jelas (ngeblur).

Denni Meilizon mampu meluapkan dan menuangkan emosi serta bakat menulisnya melalui goresan pena hingga menghasilkan puisi yang begitu indah dan berestetika tinggi. Namun dalam setiap puisinya sering saya dapatkan, penulis terlalu banyak menggunakan majas perulangan, seperti : majas antanaklasis (klub-klub, kertas-kertas, debu-debu dls), repetisi (Tidak berpawang tidak berkawan), dan pararelisme (Melekatkan kening di atas sajadah, Melekatkan hati kepadaNya)
Memang pada dasarnya semua kembali lagi kepada selera diri penulis masing-masing dalam menciptakan karya, namun alangkah baiknya jika saya boleh menyarankan, penulis menambahkan pula majas-majas lainnya, untuk menambah khazanah serta wawasan para pembaca dan penulis itu sendiri.

Kidung Pengelana Hujan adalah buku kumpulan puisi tunggal karya Denni Meilizon, yang berisi 120 halaman ini, saya sarankan wajib dimiliki oleh setiap pencinta sastra dan pegiat literasi khususnya karya tulis puisi. Bentuknya yang tidak terlalu tebal dengan ukuran yang sedang, buku ini mudah dibawa dan disimpan di mana pun.
Tak ada ruginya membeli dan memiliki buku apa pun itu, asalkan yang berbau ilmu pengetahuan, terlebih di dalamnya mengandung unsur kebaikan.
Segera penuhi rak bukumu dengan koleksi-koleksi buku yang berkualitas, bukan ditilik hanya dari segi popolaritasnya saja, tetapi juga dalam segi isi dan kandungannya yang bermutu.

Salam santun salam karya.

Ade Ubaidil
FAM1198M, Cilegon-Banten
Adeubaidil@yahoo.co.id

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.