Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

Resensi Buku Kidung Pengelana Hujan


Judul buku : Kidung Pengelana Hujan
Jenis buku : Kumpulan puisi
Penulis : Denni Meilizon
Penerbit : FAM Publishing
Tahun Terbit: Cetakan I, November 2012
ISBN : 978-602-18971-7-1
Tebal : xviii + 116 halaman*
Harga : Rp. 38.500,- (diluar ongkos kirim)

Berdakwah dengan Tulisan Indah

Berdakwah tidak harus dilakukan oleh seorang Ustadz, Kiyai, atupun Ulama’, Juga tidak melulu harus dengan dalil-dalil Al-Qur’an dan Al-Hadist. Cukup dengan imajinasi yang tinggi lalu menuliskan imajinasi itu menjadi puisi sederhana namun sarat akan makna, Dengan begitu kita sudah bisa berdakwah melalui tulisan. Seperti halnya Denni Meilizon yang menyuguhkan tulisan indahnya dalam buku Kidung Pengelana Hujan yang isinya kumpulan puisi yang sarat akan makna keislamannya.

Di dalam buku ini penulis menjelaskan lebih jauh tentang hubungan makluk dengan penciptanya, juga hubungan makhluk dengan makhluk lainnya. Seperti dalam puisi yang berjudul “Memeluk Takdir”, dimana sang penulis berharap kepada Sang Pencipta (Allah SWT) agar ia dapat menerima takdir yang sudah digariskan dan bisa menghargai dirinya sendiri. Penulis juga menggambarkan secara jelas tentang hubungan makhluk dengan makhluk lainnya, seperti dalam puisi yang berjudul “Aku dan Kamu”, di mana sang penulis mengajak kekasihnya untuk selalu bersama dalam keadaan senang maupun susah. Karena memang begitulah hidup, harus ada keharmonisan antara Pencipta dengan ciptaanNya dan antara sesama makhluk ciptaan. Selain dua hal diatas, penulis juga menceritakan liku kehidupan pribadinya melalui beberapa puisi yang lain. Seperti pada puisi yang berjudul “Aku dan Surga Itu” penulis menceritakan kesedihan yang teramat sangat ketika ditinggal 2 orang perempuan yang ia sebut sebagai pemilik surga, yakni ibu dan ibu mertuanya. Jadi, ketika kita selesai membaca buku Kidung Pengelana Hujan, kita akan tau bagaimana hidup yang benar-benar hidup sekaligus menyelami kehidupan pribadi sang penulis.

Sepertinya sang penulis dalam memainkan kata-kata tidak diragukan lagi, terbukti dari tulisan-tulisannya yang menggunakan bahasa diksi dan sedikit sulit dipahami, hingga membuat siapa saja yang membacanya terus meraba-raba arti dari bait demi bait yang tertoreh dalam puisi-puisi tersebut. Meskipun saya menemukan ada beberapa kesalahan dalam penulisan kata baik dalam isi maupun judul. Seperti penulisan judul yang menggunakan huruf kapital seluruhnya juga dalam penulisan kata sambung atau penghubung dan kata depan pada beberapa judul yang tidak sesuai dengan EYD. Salah satu contoh penulisan judul dan penggunaan kata sambung yang tidak sesuai adalah judul puisi “AKU DAN SURGA ITU” yang harusnya di tulis “Aku Dan Surga Itu” lalu di rubah lagi menjadi “Aku dan Surga Itu”. Karena kata “dan” merupakan kata sambung yang harus di tulis menggunakan huruf kecil meskipun dalam judul. Juga dalam judul lain “EMBUN DIATAS KACA” yang harusnya ditulis “Embun di Atas Kaca”. Karena kata “di” merupakan kata depan yang juga harus ditulis menggunakan huruf kecil meskipun dalam judul. juga masih di temukan kesalahan yang sama pada beberapa judul yang menggunakan kata sambung atu penghubung dan kata depan.

Lain halnya dengan kesalahan pada judul yang terjadi dalam penulisan dan penggunaan kata sambung dan kata depan, pada isi saya menemukan beberapa kesalahan dalam penggunaan tanda baca. Semisal dalam bait “Kawan, ingatkah kalian saat kampung kecil itu teramat sempit bagi kita” dalam puisi yang berjudul “Kawan, Ternyata Dunia Tidak Seperti yang Kita kira” yang seharusnya di beri tanda baca berupa tanda Tanya (?) pada akhir kalimat, karena kalimat tersebut merupakan sebuah kalimat pertanyaan dikarenakan adanya kata “ingatkah”. Kesalahan yang sama juga saya temukan pada kalimat “Jadi kenapa kita mendikte cinta mesti menuruti maunya kita” dalam puisi yang berjudul “Ku Defenisikan Cinta”.

Kesalahan lain juga saya temukan pada nomor halaman sebuah puisi di daftar isi tidak sesuai denga tata letak puisi tersebut, bahkan seluruhnya. Kesalahan ini bermula dari puisi ketiga yang berjudul “Tulang Rusukku”. Dimana dalam daftar isi nomor halaman yang tertera adalah nomor 8, sedangkan yang benar adalah nomor 7 begitu seterusnya hingga sampai pada puisi terakhir. Bahkan dalam daftar isi nomor halaman yang tertera sampai 116, sedangkan yang benar hanya sampai 112. Dan catatan “Tentang penulis” terdapat pada halaman 114 bukan 118. Memang ini kesalahan sepele, namun ketika pembaca ingin membaca puisi dengan judul tertentu dan mencarinya pada daftar isi, tapi ketika dilihat pada halaman yang nomornya tertera pada daftar isi dan tidak menemukan puisi tersebut, maka pembaca mengira bahwa puisi tersebut tidak ada. Padahal terdapat pada halaman sebelumnya atau sesudahnya. Dan inilah alasan saya menulis jumlah halamannya adalah xviii + 116, bukan xviii + 120. Karena setelah saya hitung ulangpun hasilnya 116.

Satu masalah lagi saya temukan pada tulisan dibagian belakang cover yang kurang jelas dibaca terutama no ISBN dan alamat penerbit yang sama sekali tidak bisa dibaca, juga plastik tipis yang membalut cover mudah mengelupas. Namun, terlepas dari semua itu buku Kidung Pengelana Hujan masih sempurna dalam penyampain makna-makna yang terkandung dalam setiap baitnya. Yang bisa membuat pembaca ikut terhanyut dalam imajinasi sang penulis. Jadi, apa kalian harus berpikir dua kali untuk membeli buku ini?. Saya rasa tidak..!!!!

Rohyuli
FAM1603U, Serang.

*sudah dihitung ulang

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.