BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya. “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”. Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR ketika ditanya:...
Ziarah
menziarahi tidurmu
melamun lelahku bicara doa
dekaplah gumam
sebalik mimpi sunyi itu
mari merenda takdir
merangkaklah bulan
hinggapi keliaran jiwa
melenalah malam
sahuti debur di dada
ganti berganti
rahim berkunjung dalam sebiduk
kemudian bergelung pula pinta
berdoa ia
gemuruh di dada
menziarahi tidurmu
berharap kekosongan memagutku
menuangkan umpama
lalu berjumpa
Safamarwa, Februari 2014
menziarahi tidurmu
melamun lelahku bicara doa
dekaplah gumam
sebalik mimpi sunyi itu
mari merenda takdir
merangkaklah bulan
hinggapi keliaran jiwa
melenalah malam
sahuti debur di dada
ganti berganti
rahim berkunjung dalam sebiduk
kemudian bergelung pula pinta
berdoa ia
gemuruh di dada
menziarahi tidurmu
berharap kekosongan memagutku
menuangkan umpama
lalu berjumpa
Safamarwa, Februari 2014
Rembulan
Rembulan berasap memendar cakrawala
Jenaka warnanya pucat tetapi kehitaman
Malam tersembul dari sela jemari kekasih
Melukis diri pada bibir yang lirih
Memagut rembulan di atas peraduan
Berasap, berpendar, menukik ke cakrawala
Membaca bulan pada mata kekasih
Mengairi dahaga pandang pertama
Seperti jenaka pendar warnanya
Luruh sendi jengkal perjengkal
Risaulah hati, risaulah hati
berharap bulan berpendar hadir
Kala bulan jatuh pada kalender
marilah kekasih melukis pagi.
Safamarwa, Maret 2014
Rimba
Belukar
bulan menggantang rimba
belukar terbenam di pelupuk mata
jalan-jalan berbayang malam
membangun dinding seperti hantu
teraba tidak terasa ada
bulan menggantang rimba
belukar terbenam di pelupuk mata
jalan-jalan berbayang malam
membangun dinding seperti hantu
teraba tidak terasa ada
malam menipis
dalam dada
sepasang sayap di dagumu
hinggap di rekah bibir bebukitan yang lena
maka cengkeramlah daku
bisikkanlah, bisikkanlah
ada tiada
ada tiada
teraba tidak terasa ada
dalam cumbu pekat ini
ajak aku membayangi bulan
bulan menjadi kau,
dalam bayang langit malamku
Safamarwa, Maret 2014
sepasang sayap di dagumu
hinggap di rekah bibir bebukitan yang lena
maka cengkeramlah daku
bisikkanlah, bisikkanlah
ada tiada
ada tiada
teraba tidak terasa ada
dalam cumbu pekat ini
ajak aku membayangi bulan
bulan menjadi kau,
dalam bayang langit malamku
Safamarwa, Maret 2014
Ngarai
pada ngarai yang menyungai di lembah matamu
matahari menyingsing sembunyi
melebur kipasi angin, menelisik dedaun pinus
membisiki rerumputan, merayu para-para
menyelam dalam kepalaku
sedalam-dalamnya
aku rindukan kesyahduan ngarai itu
merambati tebing-tebingnya, menyapa unggas
yang asyik membina kediaman di ceruknya
menyoal kebisingan hari, mencari damai
menyandarkan mimpi ketika segala takdir
membunuh hati yang belukar
bertanya
dalam matamu merambatlah kisah
mengilir bermandi matahari
remang-remang, rembang-rembang
menembanglah kembang-kembang
hiasi ngarai yang syahdu
menyentak mimpi yang tersandar
bahwa kita butuh sebuah perahu
melayarkan takdir di singsing matahari
setelah meminum air ngarai di matamu
Sept. 2013
pada ngarai yang menyungai di lembah matamu
matahari menyingsing sembunyi
melebur kipasi angin, menelisik dedaun pinus
membisiki rerumputan, merayu para-para
menyelam dalam kepalaku
sedalam-dalamnya
aku rindukan kesyahduan ngarai itu
merambati tebing-tebingnya, menyapa unggas
yang asyik membina kediaman di ceruknya
menyoal kebisingan hari, mencari damai
menyandarkan mimpi ketika segala takdir
membunuh hati yang belukar
bertanya
dalam matamu merambatlah kisah
mengilir bermandi matahari
remang-remang, rembang-rembang
menembanglah kembang-kembang
hiasi ngarai yang syahdu
menyentak mimpi yang tersandar
bahwa kita butuh sebuah perahu
melayarkan takdir di singsing matahari
setelah meminum air ngarai di matamu
Sept. 2013
Akar
Bergelung
beban kita menjadi kuda
menggigiti besi di atas daun lontar
rumput kita menjadi akar
memeluk tidur dalam belukar
arah angin dalam kompas purba
rupa mata menangisi hujan
hilang ingat, lenyap terkubur
dalam mitologi kita mengais rupa
mitologi yang asing, menyingsing
melewati daun telinga, tuli
membaca seringai bibir, bisu
mengibas detak urat, mengaca
tumbuh pada mata, meraba
hisap tulang belulang
menjadi amis saat malih rupa
kuda menggigiti besi
rumput bergelung akar
angin bermata hujan
kita masih berkubur hilang
lupa rupa sendiri
Slipi, Feb. 2014
beban kita menjadi kuda
menggigiti besi di atas daun lontar
rumput kita menjadi akar
memeluk tidur dalam belukar
arah angin dalam kompas purba
rupa mata menangisi hujan
hilang ingat, lenyap terkubur
dalam mitologi kita mengais rupa
mitologi yang asing, menyingsing
melewati daun telinga, tuli
membaca seringai bibir, bisu
mengibas detak urat, mengaca
tumbuh pada mata, meraba
hisap tulang belulang
menjadi amis saat malih rupa
kuda menggigiti besi
rumput bergelung akar
angin bermata hujan
kita masih berkubur hilang
lupa rupa sendiri
Slipi, Feb. 2014
Kebun
Kabut
Jari-jariku menjadi kabut
berbaur dengan yang tak terlihat
menghirup aroma tetumbuhan
yang tak memiliki akar, tangkai maupun bunga
Dalam kebun-kebun hasratku
aku mencium udara dan semua angin
mencari peta perjalanan dan teriakan
tak kukenal
menyanyikan himne angkasa
ke dalam cangkir-cangkir yang
tak tersentuh oleh bibir
aku ditiup angin dingin
ketika keheningan menyala redup
menggulung asap dan terkubur
menjadi abu
Kabutlah semua hasratku
menghisap kerudung abadi
buah lingkaran cahaya tak berawal
tidak berakhir
memetik kecapi yang mengapung
di cakrawala
merengkuh, menerangi, melayang
berjalan dengan cahaya
Slipi, Februari 2014
Jari-jariku menjadi kabut
berbaur dengan yang tak terlihat
menghirup aroma tetumbuhan
yang tak memiliki akar, tangkai maupun bunga
Dalam kebun-kebun hasratku
aku mencium udara dan semua angin
mencari peta perjalanan dan teriakan
tak kukenal
menyanyikan himne angkasa
ke dalam cangkir-cangkir yang
tak tersentuh oleh bibir
aku ditiup angin dingin
ketika keheningan menyala redup
menggulung asap dan terkubur
menjadi abu
Kabutlah semua hasratku
menghisap kerudung abadi
buah lingkaran cahaya tak berawal
tidak berakhir
memetik kecapi yang mengapung
di cakrawala
merengkuh, menerangi, melayang
berjalan dengan cahaya
Slipi, Februari 2014
Komentar
Posting Komentar
Selamat datang dan membaca tulisan dalam Blog ini. Silakan tinggalkan komentar sebagai tanda sudah berkunjung, salam dan bahagia selalu.