Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

Sajak-sajak Saya yang Dimuat Suratkabar Harian Singgalang Terbitan Minggu 29 Juni 2014



Ziarah

menziarahi tidurmu
melamun lelahku bicara doa
dekaplah gumam
sebalik mimpi sunyi itu
mari merenda takdir

merangkaklah bulan
hinggapi keliaran jiwa
melenalah malam
sahuti debur di dada

ganti berganti
rahim berkunjung dalam sebiduk
kemudian bergelung pula pinta
berdoa ia
gemuruh di dada

menziarahi tidurmu
berharap kekosongan memagutku
menuangkan umpama
lalu berjumpa

Safamarwa, Februari 2014


Rembulan


Rembulan berasap memendar cakrawala
Jenaka warnanya pucat tetapi kehitaman
Malam tersembul dari sela jemari kekasih
Melukis diri pada bibir yang lirih
Memagut rembulan di atas peraduan
Berasap, berpendar, menukik ke cakrawala

Membaca bulan pada mata kekasih
Mengairi dahaga pandang pertama
Seperti jenaka pendar warnanya
Luruh sendi jengkal perjengkal
Risaulah hati, risaulah hati
berharap bulan berpendar hadir

Kala bulan jatuh pada kalender
marilah kekasih melukis pagi.

Safamarwa, Maret 2014



Rimba Belukar

bulan menggantang rimba
belukar terbenam di pelupuk mata
jalan-jalan berbayang malam
membangun dinding seperti hantu
teraba tidak terasa ada
malam menipis dalam dada
sepasang sayap di dagumu
hinggap di rekah bibir bebukitan yang lena
maka cengkeramlah daku
bisikkanlah, bisikkanlah
ada tiada

ada tiada
teraba tidak terasa ada
dalam cumbu pekat ini
ajak aku membayangi bulan
bulan menjadi kau,

dalam bayang langit malamku

Safamarwa, Maret 2014


Ngarai

pada ngarai yang menyungai di lembah matamu
matahari menyingsing sembunyi
melebur kipasi angin, menelisik dedaun pinus
membisiki rerumputan,
merayu para-para
menyelam dalam kepalaku

sedalam-dalamnya

aku rindukan kesyahduan ngarai itu
merambati tebing-tebingnya, menyapa unggas
yang asyik membina kediaman di ceruknya
menyoal kebisingan hari, mencari damai
menyandarkan mimpi
ketika segala takdir
membunuh hati yang belukar

bertanya

dalam matamu merambatlah kisah
mengilir bermandi matahari
remang-remang, rembang-rembang
menembanglah kembang-kembang
hiasi ngarai yang syahdu
menyentak mimpi yang tersandar
bahwa kita butuh sebuah perahu
melayarkan takdir di singsing matahari
setelah meminum air ngarai di matamu

Sept. 2013


Akar Bergelung

beban kita menjadi kuda
menggigiti besi di atas daun lontar
rumput kita menjadi akar
memeluk tidur dalam belukar
arah angin dalam kompas purba
rupa mata menangisi hujan
hilang ingat, lenyap terkubur
dalam mitologi kita mengais rupa

mitologi yang asing, menyingsing
melewati daun telinga, tuli
membaca seringai bibir, bisu
mengibas detak urat, mengaca
tumbuh pada mata, meraba
hisap tulang belulang
menjadi amis saat malih rupa
kuda menggigiti besi
rumput bergelung akar
angin bermata hujan
kita masih berkubur hilang
lupa rupa sendiri

Slipi, Feb. 2014


Kebun Kabut

Jari-jariku menjadi kabut
berbaur dengan yang tak terlihat
menghirup aroma tetumbuhan
yang tak memiliki akar, tangkai maupun bunga

Dalam kebun-kebun hasratku
aku mencium udara dan semua angin
mencari peta perjalanan dan teriakan
tak kukenal
menyanyikan himne angkasa
ke dalam cangkir-cangkir yang
tak tersentuh oleh bibir

aku ditiup angin dingin
ketika keheningan menyala redup
menggulung asap dan terkubur
menjadi abu

Kabutlah semua hasratku
menghisap kerudung abadi
buah lingkaran cahaya tak berawal
tidak berakhir
memetik kecapi yang mengapung
di cakrawala
merengkuh, menerangi, melayang
berjalan dengan cahaya

Slipi, Februari 2014


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.