BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya. “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”. Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR ketika ditanya:...
Oleh: Maulidan Rahman Siregar
Sulam Emas edisi kali ini, Penyair
kita, Elfi Ratna Sari memberikan kepada
kita ‘harapan’. Sungguh betapa beruntungnya jika manusia (masih) memiliki harapan. Jika tidak demikian, tamatlah kita. Dunia kehilangan warna, atau bisa-bisa puisi malah kehilangan bunyi. Bacalah larik begini, Mengejorakan bimbang-bimbang di gelantungan suram// Mengubah jadi guratan yakin//. Urgensi harapan memang begitu. Menepis keraguan,
membentuk keyakinan. Kita tidak akan dapat apa-apa dari keraguan. Bukankah
begitu?
Harapan
bisa
jadi apa
saja. Bisa saja itu kesuksesan, kekayaan,
kecantikan, dan hal-hal manis lainnya. Akan
tetapi tentu saja seperti penyair kita bilang, Kugodakan
sukses pada diri// Biar semangat jelma-menjelma//. Sekali lagi, kita
boleh mempunyai harapan dan merasakan manis pahitnya.
Namun, apa yang menjadi
‘harapan’ tersebut terkadang berbeda pula dengan kenyataan yang kita alami dalam keseharian. Kita
diingatkan melalui larik ini, Ah, aku
diselubungi rencana// Bila susah
jalan,//Biar kucarikan celah tersempit/ /Tuk sempilkan
mimpi//. Sebagai makhluk, kita hanya punya
rencana, tetapi tetap saja kembali kepada
kesimpulan akhir bahwa Tuhan sajalah yang Maha Kuasa.
Puisi manis selanjutnya dari Elfi Wahyu Lianti, berjudul “Takut”. Saya malas
menyebut puisi seperti ini sebagai puisi religius. Meski, puisi ini mirip
dengan sebuah doa. Biarlah puisi, tetap puisi. Tanpa ada embel-embel
sesudahnya. Apa kita dapat setuju?
Mari
kita simak penggalan akhir puisinya, //Buaian
malam yang sepi dan menggelitik//Menjadi saksi bisu atas kediaman dan
kesendirian//Serta serpihan harapan yang selalu untuk ku nantikan//. Benarlah,
penyair kita. Kediaman dan kesendirian memang asyik digunakan untuk doa, bahkan
(untuk) puisi. Kita tentu sama-sama mafhum
kalau waktu paling tenang dalam menyelesaikan ketakutan adalah pada /buaian malam yang sepi dan menggelitik/
Puisi
ketiga dari Roni Okta Gusri, sepertinya ditujukan untuk ibunya. Kita lihat
kembali keseluruhan puisinya. //Kini ku buka jalan
baru//Menuju masa depanku//Untuk kebagian ibuku//Ibu...//Tunggu aku//Di dalam
kebahagian mu,//Aku akan hadir untuk mebuka senyum haru mu//Kini aku yang
berjuang untuk masa depanku//Ibu //Ku harap angkat tanganmu//Bantu aku//Dengan
doa mu//Tersimpan riabuan harapan di dalam doa mu//Tersimpan semangat di dalam
senyumu//Senyummu energi bagiku//Untuk masa depanku//Kini aku akan bercerita tentang perjuanganmu//Untuk hidupku//Hingga aku bisa
mengalahkan egoku//Hinga hari ini jalan ku//Terbuka untuk menuju//Masa depanku.// Puisi yang manis. Jika
saya seorang Ibu, saya akan langsung mencium kening seorang anak yang
membacakan puisi ini. Akan tetapi, ada beberapa kesalahan dalam penulisan puisi
ini. “Ku buka” harusnya “kubuka”, “kebagian” harusnya “kebahagiaan”,
“kebahagiaan mu” harusnya “kebahagiaanmu”, “haru mu” harusnya “harumu”, “ku
harap” harusnya “kuharap”, “doa mu” harusnya “doamu”. Sayang sekali, puisi
manis ini banyak terdapat kesalahan penulisan. Di sana letak perlunya seseorang
yang ingin menulis, harus tahu juga kaidah penulisan. Akan tetapi, dilihat dari
diksi Roni, saya prediksi Roni punya masa depan cerah dalam dunia kepenyairan.
Semangat, Abang Roni!
Merantau adalah budaya orang Minangkabau. Ada yang
mengatakan, jika orang minang belum merantau, belum orang minang namanya. Puisi
dari penyair Mas’ad Satyagraha
ini saya rasa, ingin mengisahkan itu. Mengisahkan pilunya negeri rantauan. Banyak keluarga
terpisah oleh rantau. //ibu di tinggal ibu dicari, ayah di tinggal ayah
dicari,//paman di
tinggal paman dicari//
Bagaimana perih negeri rantauan, perantau punya
siasat, // dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung//. Siasat lainnya, // berilah mereka zakat, syukurilah nikmat jangan
kufur nikmat.//
Salam Sulam Emas, mari bahagia!
*Tulisan ini merupakan kolom khusus halaman SULAM EMAS pada ruang BUDAYA HALUAN SKH HALUAN PADANG, terbit Minggu 22 Januari 2017
*Tulisan ini merupakan kolom khusus halaman SULAM EMAS pada ruang BUDAYA HALUAN SKH HALUAN PADANG, terbit Minggu 22 Januari 2017
Ganesha Palast
BalasHapusdas indische Restaurant
nett