BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya. “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”. Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR ketika ditanya: ”Itu niat
Oleh:
Denni Meilizon*
TAK PUAS saya
untuk tidak melimpahkan rasa takjub, berada di tengah kesenyapan ratusan
penonton yang memenuhi kursi gedung teater utama Taman Budaya Sumatra Barat,
mendekat sampai “ringsek” kepada bunyi-bunyian dan musik pengiring sebelum mengangguk
takzim kepada sajian pertunjukan gerak tari di atas panggung, menelisik satu
persatu properti yang luwes di permainkan para aktor penari, kostum para
penampil, efek dan artistik panggung lalu sedikit tergagap mencerna tata
pencahayaan, yang semuanya itu merupakan wujud kesatuan pertunjukan selama dua
malam berturut-turut (9-10 Februari 2018) bertajuk “The Margin of Our Land” hasil kolaborasi cantik antara komunitas
seni pertunjukan; Sukri Dance Theatre, Komunitas Seni Hitam Putih, Komunitas Seni
Nan Tumpah dan Aliansi Komunitas Seni Indonesia (AKSI), bekerja bersama-sama
dengan profesional kreatif antara lain; Sahrul N (Dramaturg), Kurniasih Zaitun
(Sutradara), Elizar Koto (Komposer), Yusril Katil (Skenografer) dengan
Penanggungjawab Produksi, Nasrul Azwar.
The Margin of Our Land (walau menyipitkan mata, tentu ada alasan kuat untuk pemakaian
bahasa asing ini, pen.) merupakan pertunjukan tari teater. Penjelasannya dapat
kita baca dalam buku tipis panduan acara, kita kutip demikian, “karya ini terinspirasi
dari kondisi sosial budaya tentang tanah. Tanah yang dimaksud adalah tanah
ulayat/tanah pusaka. Berdasarkan slogan orang Minangkabau bahwa “tanah
ulayat/pusaka tidak boleh dijual”, namun sekarang slogan tersebut tidak
diindahkan oleh beberapa orang yang sudah menjual tanah ulayat/pusaka untuk
keperluan pribadi. Melihat kondisi tersebut tanah ulayat milik masyarakat Minangkabau harus segera
diperhatikan dan disikapi. Karya ini menawarkan pertahanan terhadap hilangnya
harta pusaka atau tanah ulayat di Minangkabau. Namun kalau kita lihat secara
luas permasalahan tanah ini tidak hanya terjadi di daerah Minangkabau, tapi
kondisi tanah seperti ini sudah dialami oleh semua manusia. Diakibatkan oleh
pembangunan yang terus menerus dilakukan manusia menyebabkan semakin sempitnya
lahan untuk makhluk lain hidup (tumbuh-tumbuhan dan hewan). Apalagi pemanasan
global, kebakaran hutan dan sebagainya merupakan perilaku yang salah terhadap
alam. Keseimbangan perlu diciptakan agar malapetaka bisa dihindari. “
Dan
selama dua malam berturut-turut, permasalahan di atas menjadi tema yang
dihidupkan di dalam gedung teater kebanggaan Sumatra Barat itu. Penonton bagai
berkaca sendiri. Kepiawaian pengeksplorasian pada tema, dipertunjukkan kepada
penonton walaupun sebetulnya pada dewasa ini cukup seringlah kita menyaksikan
sendiri (malah mengalami sendiri!) apa yang coba untuk divisualkan kembali di
atas panggung itu lewat perpaduan gerak, bunyi serta seperangkat pendukung panggung
lainnya oleh para kreator The Margin of
Our Land.
Sudah
sejak lama perlawanan terhadap tumbuh kembang permasalahan tanah ulayat di
Minangkabau dilakukan oleh masyarakat pemilik ulayat. Ada banyak catatan hitam
berserak menghantui kehidupan beradat dan beradab di Sumatra Barat. Sudah tak
terhitung berkas perkara penyerobotan paksa tanah ulayat ini yang diajukan ke
pengadilan. Ada yang dimenangkan tetapi lebih banyak yang dikalahkan. Yang kuat
memangsa yang lemah. Beragam dalih, aneka macam alasan ditabur demi eksploitasi
rupa-rupa di atas tanah pusaka kaum. Sejak era kolonial hingga pasca kolonial,
jalan cerita selalu sama. Presiden telah berganti-ganti namun perkara tanah di
daerah –konon- otonom ini tetap runyam luarbiasa dan berkelindan beranak cucu.
Membaca Panggung
Konflik
lahir dan batin di “panggung luas” sebagaimana diuraikan di atas, ditafsirkan
ulang ke dalam panggung The Margin of Our
Land. Koreografer sekaligus penari Ali Sukri tampil membuka pertunjukan. Di
atas panggung kini berserakan patok berupa batang-batang bertapak semen.
Belum-belum penonton dibikin merinding disuguhi latar musik pengiring
ditingkahi pula menyaksikan penari
memperlihatkan badan yang gemetaran memandang lurus dan kosong ke arah
patok yang tentu dimaksudkan sebagai supadan
atau tapal batas. Panggung dengan efek asap tebal kadang tipis mengesankan
konflik yang bakal menari-nari di atas tanah ulayat. Tanah yang akan lepas dari
kaum dan dikuasai entah siapa untuk entah kepentingan apa. Sukri yang juga
aktor teater yang pernah meraih prediket Aktor Terbaik dalam pertemuan teater
di wilayah Sumatra, menurut saya sukses menghela perhatian penonton untuk
memasuki lapis demi lapis babak selanjutnya.
Konflik
dibangun menyesuaikan kenyataan sebenarnya, berlangsung di batas-batas tanah, supadan. Dalam masyarakat Minangkabau supadan merupakan marwah kaum, garis
depan kehormatan kaum yang harus dipertahankan dengan nyawa. Di atas panggung,
dengan pencahayaan yang memerlukan pencernaan pikiran guna menjahitkannya dengan keberadaan beberapa
penari yang nampak memain-mainkan batang-batang patok bertapak semen, suguhan
tarian dapat kita nikmati pelan-pelan. Gerakan silat dipilih sebagai bentuk
atraktif aksi perlawanan. Silat Minang memang terkenal penuh kearifan. Setiap
langkah dan jurus menyirat filosofi kehidupan yang penuh makna. Adalah pantang
bagi orang Minangkabau untuk membuka langkah terlebih dahulu. Kebiasaan kaum
adat Minangkabau adalah mengutamakan menghampar kata, bersilat lidah. Diplomasi
mencari kebenaran dalam kata putus. Namun, apabila gelanggang silat sudah
digelar, itu artinya perkara tanah ulayat/pusaka memang sudah mendidih sampai
titik kulminasi emosi tinggi. Cara elegan dan beradatnya tiada lain adalah
dipertahankan dengan nyawa.
Para
penari yaitu; Erwin, Reni Rinaldi, Erik, Bayu Mahendra, Junanda, Egi, Deni
Saputra, Ikbal Kurniawan, Sonia Ayu dan Hasma Nora tampil memukau, melakonkan
berbagai cara untuk mempertahankan tanah ulayat. Pemilihan dua orang perempuan
di tengah dominasi lelaki menuturkan kepada kita nilai utama peran perempuan
dalam adat istiadat Minangkabau. Harta pusaka kaum adalah milik perempuan dan
laki-lakilah yang berperan menjaganya dengan jalan apapun. Di lapangan,
mirisnya lelaki yang diserahi amanat menjaga ini justru yang menjadi raja tega,
menjual tanah ulayat/pusaka untuk kepentingan diri sendiri.
Walau
sebetulnya saya mengharapkan penyelesaian konflik dengan memenangkan pihak yang
lemah, tetapi The Margin of Our Land agaknya dibuat sejalan dengan realitas,
perlawanan demi perlawanan lurus menuju titik kekalahan. Melalui gerak tari,
para penari menghunjamkan gambaran tragis dan kesia-siaan kepada penonton.
Papan-papan pemberitahuan kini tegak terpasang terang-terangan. Mengalun
menyayat sayat bunyi-bunyi mesin alat berat, kesibukan pembangunan pekerjaan
konstruksi. Tingkah bertingkah besi beradu. Saya berada di tengah kesenyapan
ratusan penonton yang memenuhi kursi teater utama Taman Budaya Sumatra Barat
itu, menjadi bagian pertunjukan ini. Merasakan dan menyumpah dalam hati.
Lihatlah, ada saja orang, saudara kerabat sendiri yang memanfaatkan kejatuhan,
menari berlenggak lenggok di atas tanah ulayat yang menyimpan bara kutuk umpat
orang sekaum. Semakin pedih pula seketika hati, perempuan Minangkabau pemilik
tanah dan harta kaum itu kini malah membuang ke-minangan-nya. Ikut menari
bahagia di atas tanah ulayat pusaka yang telah dikuasai orang lain.
Apresiasi Kerja Komunitas
Adalah
penting saya kira apabila kerja kolaborasi seperti ini untuk dilanjutkan dengan
intens, terutama dalam ranah seni dan
kebudayaan. Saya yakin, The Margin of Our
Land bukanlah titik tetapi adalah koma. Bukanlah satu-satunya. Ia dapat
pula bagai pintu pembuka dan di seberang pintu, kita implementasikan keinginan kolektif
untuk membesarkan kesenian dan kebudayaan Sumatra Barat. Dengan kerja bersama
dan untuk bersama-sama, masing-masing komunitas maupun individu seniman dan
budayawan saling mengisi, mengevaluasi sekaligus menggerakkan program sesuai
dengan potensi serta kekuatan yang dimiliki.
Semoga
semakin tumbuh, mengembang dan semarak. Terus bergerak! []
*Penulis seorang pembaca dan pecinta buku.
Senang mendengarkan musik, diskusi dan traveling. Blogger dan coffee addictive.
Tinggal di Kota Padang.
(SKH HALUAN PADANG hal. 11, edisi akhir pekan 18 Februari 2018)
Foto-foto bersumber dari Halaman Facebook KS Nan Tumpah
Komentar
Posting Komentar
Selamat datang dan membaca tulisan dalam Blog ini. Silakan tinggalkan komentar sebagai tanda sudah berkunjung, salam dan bahagia selalu.