Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

Komunitas Seni Serumpun Aur Kenagarian Sungai Aur Pasaman Barat: Marronggeng di Utara Pasaman Barat




SORE belum terasa lindap ketika kami sampai di halaman nan asri milik sekretariat Komunitas Seni Serumpun Aur (KSA) di jantung ibukota nagari Sungai Aur Pasaman Barat. Jejeran kendaraan bermotor berselang seling dengan tanaman bunga yang beberapa sedang mekar sedang sebagian lainnya menguarkan rasa damai dengan permainan warna warni dedaunan. Bayangan pohon kelapa sawit tua tergelepar di badan jalan beraspal yang dihiasi semak serta ilalang. Di seberang jalan, sepelemparan batu saja jaraknya berdiri gagah kantor KAN Sungai Aur berarsitektur rumah gadang bergonjong enam seakan seonggok bahtera yang berlabuh di sehamparan tanah lapang yang kurang terawat. Sesekali terdengar juga raungan mesin kendaraan bermotor yang melintas di jalan raya, truk-truk sarat muatan buah kelapa sawit, bus antar kota dari dan menuju kota Padang yang tetap setia melayani rute tersebut walaupun hanya mengangkut bangku kosong belaka, kendaraan roda dua tanpa plat nomor dengan knalpot bising, mobil pribadi aneka merek dari buatan tahun ketumba sampai dengan mobil mewah terbaru, gelak tawa dan percakapan tak berarah di kedai kopi simpang jalan tepat di depan kantor bank milik pemerintah, dan jeritan suara burung wallet yang tentu saja dikasetkan serta suara orang mengaji yang juga dikasetkan dari pengeras suara di menara masjid. Azan Magrib masih berjarak satu jam lagi. Langit kelam entah pula bakal turun hujan. Tetapi semoga saja tidak turun hujan malam ini.


Di dalam rumah kediaman milik keluarga Yandra P. Sutan Majolelo yang sekaligus kantor bagi Komunitas Seni Serumpun Aur itu, terlihat belum menunjukkan kesibukan. Di beranda, Yandra nampak masih mengaso ditemani segelas teh dan sebatang rokok. Beranda itu penuh pula dengan bunga-bunga mungil dan beberapanya dikenal berharga cukup mahal di pasaran. Pria paroh baya lulusan ISI Padang Panjang itu sejenak menyipitkan mata melihat kedatangan kami lalu melonjak kaget sembari tergelak sembringah begitu mengenali tamu sore hari ini. Spontan pula ia berteriak memanggil istrinya yang sehari-hari mengajar mata pelajaran Sejarah di SMPN 2 Sungai Aur, memberitahukan kedatangan kami.
Malam itu (23/2) Komunitas Seni Serumpun Aur akan meluncurkan program seni pertunjukan 2019 bertajuk Merawat Seni Tradisi. Program ini merupakan bentuk apresiasi sekaligus juga membuka panggung untuk kesenian tradisi di Pasaman Barat. Kesenian tradisi di Pasaman Barat akhir-akhir ini semakin terpinggirkan sebab kurangnya minat masyarakat, jelas Yandra. Padahal kesenian tradisi lahir dari perut masyarakat. Terbentuk dari kearifan lokal yang kadung hidup sehari-hari di tengah masyarakat. Masuknya kesenian pop yang tidak memiliki akar dari masyarakat tidak akan memberikan manfaat tetapi malah mudharat bagi kehidupan masyarakat. Sayangnya, akibat sikap hidup instan dan hedonis, budaya pop inilah yang sekarang digandrungi orang. Anak-anak muda saat ini malahan malu untuk mempelajari kesenian tradisi daerahnya sendiri, ulas Yandra sambil sesekali menerawang dengan mata yang lembab.
Sebagai pembuka program tersebut, KSA menyajikan pertunjukan kesenian Ronggeng dengan konsep seni jalanan. Ini bak rendezvous pemain Ronggeng di utara Pasaman Barat. Benar saja, usai azan magrib berkumandang, sekretariat KSA di Sungai Aur itu segera ramai. Satu persatu personil rombongan Ronggeng berdatangan. Usia mereka terbilang sudah tidak muda lagi. Beberapa bahkan sudah menginjak usia 60 tahun. Ada 20 orang pemain yang tampil malam itu. Delapan belas pemain laki-laki dan dua orang perempuan. Formasi Ronggeng yang tampil malam itu tetap menampilkan format standar. Terdiri dari satu orang pemain biola, dua orang pemain gendang dua, satu orang memainkan kerincing atau ersek, selebihnya sebagai pelantun pantun. Ada sembilan lagu yang dibawakan, masing-masing lagu disajikan dengan khas.
Pemain Ronggeng di Pasaman Barat terutama yang bermukim di bagian utara jarang sekali tampil memakai kostum yang memadai. Agaknya, penampilan Ronggeng bagi mereka yang terfokus kepada permainannya saja. Perhatian kepada properti, kelayakan sound system, make up dan pakaian tidak selalu diperhatikan. Tetapi inilah yang justru menjadi perhatian Yandra Putra Sutan Majolelo. KSA sendiri saat ini dapat dikatakan memiliki peralatan dan perlengkapan yang cukup untuk penampilan seni pertunjukan. Maka, jadilah pemain Ronggeng yang kebanyakan berusia tua itu dibekali pakaian yang pantas oleh KSA. Seperangkat baju beludru khas pemain Randai dipakaikan kepada mereka. Karena memang tidak terbiasa, ada pula yang malu-malu untuk memakai pakaian tersebut. Saling ledek, senda gurau dan saling sindir mewarnai sesi persiapan.
Tepat pukul 22.00 WIB rombongan beranjak pindah ke Pasar Sungai Aur, tempat acara akan digelar. Tentu saja, ini menarik perhatian masyarakat di sekitar pasar yang buka dua kali sepekan itu. Rencananya, panggung dibuka di halaman kantor Walinagari Sungai Aur tetapi setelah ditimbang kembali dirasakan tidak memadai karena selain sempit, juga penerangan sedikit kurang. Belum lagi adanya pagar pembatas sehingga dirasa menyulitkan masyarakat yang ingin menyaksikan pertunjukan ini. Maka, pertunjukan diadakan di pinggir jalan raya tepat di depan pasar tersebut. Pemilihan tempat ini sesungguhnya amat tepat karena memang berada di tengah beberapa kedai kopi dan beberapa warung kelontong. Karena saat itu malam Minggu, masyarakat masih ramai berkerumun dan langsung tertarik mengerumuni lokasi.
Selain pemain Ronggeng yang sudah terbiasa tampil, malam itu Yandra bersama KSA menyiapkan penampilan anggota sanggar KSA sendiri, tampil didampingi pemain yang profesional. Ini merupakan upaya untuk alih generasi, memperkenalkan kembali kesenian khas Pasaman Barat itu kepada generasi muda. Sepengamatan kami, justru penampilan anak-anak muda itulah yang cukup mendapat apresiasi dan diminati. Selain masyarakat sekitar, berdatangan pula penonton dari jorong sekitarnya. Beberapa kendaraan bermotor juga sempat berhenti dan membuat lalulintas macet.
Wajah-wajah orangtua yang nampak hadir malam itu terlihat merona bahagia. Kesimpulan kami melihat hal tersebut, kesenian Ronggeng sejatinya masih mendapat tempat terutama dalam hati masyarakat usia lanjut yang sempat menikmati kejayaan kesenian ini di masa lalu.
Sebetulnya, dari wawancara kami ke beberapa pihak yang mengetahui kesenian Ronggeng ini, setiap Nagari di Pasaman Barat dulu pernah ada kesenian Ronggeng terutama Nagari yang dihuni penutur bahasa Melayu Pasaman Barat. Bahasa yang bukan Minang dan bukan pula Mandailing. Selain itu, setiap kelompok Ronggeng juga memiliki cirinya masing-masing. Ada kelompok Ronggeng yang semuanya laki-laki, sehingga karena Ronggeng harus ada unsur perempuannya maka pemain laki-laki itulah yang dipakaikan busana perempuan lengkap dengan make up-nya.
Pertunjukan malam itu berakhir pukul 01.00 WIB pagi. Sebagai penanggungjawab acara, Yandra melihat bahwa kerinduan masyarakat kepada pertunjukan tradisi terlihat jelas sekali. Ia berujar kalau acara malam ini membuatnya semakin bergairah untuk meneruskan program Merawat Seni Tradisi 2019 ini hingga akhir tahun ini. “Yang terpenting bagi saya, anak-anak sanggar KSA mendapatkan sumber belajar langsung dari pelaku seni tradisi. Insya Allah hal seperti ini akan terus kita kerjakan demi menjadikan Sungai Aur sebagai Nagari Budaya di Pasaman Barat,” pungkas Yandra seusai acara ditutup.[DM]


 Tulisan ini merupakan Liputan Pertunjukan dan dimuat juga oleh koran Harian Umum HALUAN PADANG edisi Minggu 3 Maret 2019 halaman 3.

           

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.