Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

Y E Y



SUDAH lama Kurtum menanggung beban hati karena Yey. Tiap detik. Tiap hari. Setiap malam, setiap akan tidur. Di dalam tidur, di kedalaman mimpi. Sepanjang malam walau dalam malam sepekat apapun, Kurtum selalu tersenyum puas sebab di dalamnya ia menemukan Yey.  Malangnya Kurtum, saat ia terbangun, ia menyadari kalau mimpinya ternyata menipu belaka. Seiring dengan itulah tanggungan hatinya kepada Yey terasa kian dalam, dalam sekali.
 Kurtum masih ingat, dulu ia masih bisa mencurahkan isi hatinya kepada Ramban, kawan sesama penakik getah. Satu-satunya kawan yang masih mau mendengarnya. Setiap hari, selama mereka berdua asyik menyayati batang pohon bergetah putih itu, sepanjang itu pula Kurtum tak habis-habis bercerita. Berderai-derai nama Yey berloncatan dalam air liurnya. Yey! Yey! Yey! Tak ada nama lain selain YEY. Awalnya, Ramban sangat tertarik dengan kegundahan kawannya itu. Ia menyimak dengan seksama. Tentu saja dengan tangan yang tak lepas dari takik getah yang menggurat dalam, mengikis kulit pohon dengan guratan menyelempang. Mereka berdua berpindah dari satu pohon ke pohon lain. Seperti juga alur cerita Kurtum, dengan topik yang sama tetapi pengungkapan yang berbeda. Berulang-ulang.

Lalu muaklah Ramban pada semua celotehan Kurtum tersebut. Ia hanya bertahan selama setahun saja untuk dengan seksama mendengarkan Kurtum. Tiga bulan pertama merupakan waktu yang serius. Bulan keempat ia memaksakan diri untuk menyimak. Memasuki bulan kelima hingga keduabelas, ia terpaksa berpura-pura peduli dengan cerita Kurtum. Sejak bulan keduabelas, setiap Kurtum mengoceh perkara Yey itu, batin Ramban pun terasa disiksa. Matanya lekat kepada takik getah yang menggoresi batang karet. Gerakan tangannya beringas. Kurtum masih mengoceh tanpa jeda. Bla, bla, bla, bla…. YEY! YEY! YEY! Dan,
“Stop!”
Ramban berteriak keras, hari sedang cerah berkilat. Alat penakik getah itu dengan keras ia banting ke tanah. Suara bentakannya bergaung-gaung ke dalam hutan karet yang tumbuh melulu. Disesap ilalang dan pakis-pakis yang tumbuh liar. Tubuhnya menggigil menahan amarah. Telunjuknya lurus mengarah kepada Kurtum. Tetapi mulutnya rapat terkunci. Hanya giginya saja terdengar menggelutuk, beradu satu sama lain dengan keras. Gawat!
“Ada apa denganmu, kenapa kau marah begitu?” tanya Kurtum. “Apa yang salah dengan ceritaku?” ujarnya lagi tanpa beban.
“KAU! Kau Kurtum! Kau yang salah! Aku juga salah. Kenapa aku sampai punya kawan seperti kau! Pantas saja Yey menolak kau. Kau Kurtum! Kau tak lebih dari seorang pecundang. PECUNDANG! Kau dengar itu? Ha-ha-ha-ha!” sergah Ramban dengan suara mengguntur. Puas sekali ia bisa mengatakan kata “Pecundang” itu di hadapan Kurtum. Oh, Tuhan! Akhirnya aku bisa mengatakan itu, batinnya.
Setiap hari, semenjak rasa bosan dan muak mendengar cerita Kurtum itu melanda, Ramban sudah siap sedia menumpahkan kata itu. Kalau kemudian ia masih bisa bertahan sampai bulan keduabelas, ia masih menjaga betul agar jangan sampai melukai hati Kurtum. Ramban masih menyisakan sedikit rasa kasihan kepada sahabatnya itu. Tetapi hari ini bendungan itu telah jebol. Airnya deras bukan main. Anehnya, hati Ramban senang tak terkira. Peduli amat dengan kondisi Kurtum saat ini.
Kurtum bagaikan tersengat listrik. Tubuhnya berdiri kaku. Matanya nanar menatap Ramban begitu lekat. Ia tak tahu harus berbuat apa. Kata “Pecundang” itu menyengat dalam. Sungguh, ia tak menyangka Ramban, sahabat terdekatnya saat ini, teman yang ia percaya menjadi tumpahan hatinya mengatakan bahwa ia tak lebih dari seorang pecundang.
Mulut Kurtum komat kamit. Kedua bola matanya bergerak dan alisnya bergetar. Namun, tak sepatahpun kata yang bisa ia keluarkan dari mulutnya itu. Sementara itu, Ramban telah beranjak pergi. Ia tak peduli lagi dengan sahabat penakik getahnya itu. Ia berlari meninggalkan Kurtum sendirian.
Akan halnya Kurtum, setelah itu ia berhasil menguasai dirinya. Darahnya sudah mengalir lancar kembali. Ia terduduk di atas tanah. Lemas. Setitik airmata mengalir begitu saja. “Ini semua gara-gara kau Yey! Gara-gara kau! Aku kehilangan sahabat. Aku kehilangan semuanya!” desisnya tersedak. Kini ia betul-betul menangis. Gemerisik pohon perdu, daun pakis dan ranting pohon karet menelisik di antara tangisnya yang tertahan. Berat beban hatinya kian menjadi. Jelas, sebab perkara ini Yey yang harus disalahkan. Yey adalah benalu dalam hidupnya. Apapun kegagalan yang ia rasakan kini, termasuk dalam hal ini rasa sakit nan sangat perih itu semua berujung kepada Yey.
“YEEYY!” teriaknya bergema ditelan hutan karet itu. Tak ada jawaban kecuali senyap. Suaranya ditelan sunyi, sebagaimana ruang dalam hatinya.
Kejadian di tengah hutan karet itulah yang diingat Kurtum. Setelah itu, ia ingat Ramban meninggalkan kampung. Sama seperti Yey, yang telah terlebih dahulu pindah ke kota bersama suaminya. Dulu, Yey adalah perawan kampung itu. Di mata Kurtum dan pemuda lainnya, Yey merupakan gadis cantik berwajah rembulan, idaman lelaki normal. Sayangnya, naluri kewanitaan yang mengalir dalam darah gadis itu tak memberi ruang sejengkalpun kepada pemuda berprofesi penakik getah, sebuah pekerjaan mayoritas pemuda di kampung ini. Maka ketika gadis remaja itu mulai tumbuh dan pinangan berbagai pemuda sekampung silih berganti datang, maka Yeypun menampik. Sampai kemudian giliran Kurtum datang, menawarkan kebahagiaan lahir batin kepada Yey. Ia membawa semua uang tabungan hasil menakik getah ke hadapan Ayah Yey. Dan, seperti kepada pemuda lain, Yeypun kembali menolak. Kurtum sakit hati. Ia merasa teraniaya.
Tak pernah ia mencintai gadis lain selama ini. Wajar saja ia merasa sakit hati. Dan sakit karena cinta itu membuat ia bersumpah tidak akan kawin sampai mati. Sebuah sumpah yang belakangan hari begitu ia sesali karena ia dapati kemudian bermunculanlah gadis dan perawan kampung yang seperti Yey. Cantik dengan paras berwajah rembulan. Kurtum disiksa sumpahnya sendiri.
“Aku harus ke kota mencari Yey,” bisik batinnya pada suatu hari. “Aku harus menemuinya untuk membatalkan sumpahku.”
Maka begitulah kemudian ia telah sampai di kota. Kota menurut sepengetahuannya Yey dan keluarganya kini tinggal. Sayangnya Kurtum melupakan hal yang sangat penting: ia tidak tahu alamat rumah Yey. Kurtum hanyalah pemuda kampung. Besar dan hidup di kampung. Tak pernah terbersit dalam hatinya untuk pergi ke kota. Baginya, kampung berhutan karet itu sudah lebih dari surga. Apapun ada di sana. Kecuali calon istri. Itupun penyebabnya karena sumpah sialan itu. Apalagi Kurtum melihat kalau di kota, banyak sekali perempuan berwajah rembulan.
Tanpa alamat tujuan tentu saja Kurtum segera menjadi terasing di kota itu. Kota yang dikepung lautan dan bukit-bukit batu. Maka dialah lelaki yang kini sering terlihat berkeliaran di sepanjang pantai. Apabila bertemu dengan seseorang, Kurtum akan menyapa dan kemudian bertanya, “apakah Anda mengenal Yey?”
Tak ada yang mengenal Yey. Biasanya orang yang ditanya akan terpana tak tahu menjawab apa. Setelah itu mungkin akan berpikir keras, “Apakah saya mengenal Yey?” Kurtum kukuh dengan pertanyaan yang membingungkan semua orang itu. Ia masih menyimpan harapan untuk bertemu Yey. Setidaknya, apakah Yey tidak ke pantai sebagaimana orang-orang ini? Kurtum menyandarkan pengharapannya kepada pantai kota itu, “aku mencari Yey, apakah kau mengenalnya?”
Akhir-akhir ini Kurtum semakin murung. Wajahnya terlihat menua tidak terurus. Tak mungkin ia pulang ke kampung membawa malu sebab ia termakan sumpah. Keterasingan dan putus asa membuat ia kini suka bicara sendiri. Tertawa sendiri. Menyoraki lautan luas dari gundukan bebatuan. Meneriakkan nama: YEY! YEY!  Dan ia masih menyapa orang-orang. Meneruskan usahanya menanyakan Yey kepada orang-orang. “Apakah kalian mengenal Yey?” Namun, di sepanjang pantai kota itu ia kini terdengar bergumam, “Yey, Yey, Yey,” katanya. Iapun kini sering terlihat mengangguk cepat, cepat sekali. Selagi mengangguk, terdengar bisiknya, “Tuhan akan membantu. Tuhan akan membantu.” Lalu ketika bertemu dengan seseorang, ia berhenti mengangguk, menatap orang itu dengan takzim lalu bertanya, “Apakah Anda mengenal Yey?”
Seperti biasa orang yang ditanya akan bersikap cuek, tak peduli dan masa bodoh, berlagak seolah-olah Kurtum itu tak ada. Atau begini, orang-orang kemudian akan melengoskan muka meninggalkan Kurtum, meninggalkan jejak tanya tentang Yey itu untuk Kurtum seorang, agar nanti bisa ia tanyakan lagi kepada orang lainnya. Dan, tetap saja tak ada yang mempedulikannya. Tak seorangpun yang memiliki kepentingan dengan seseorang atau apapun itu yang dinamakan dengan “Yey”.
Hingga suatu hari, saat orang-orang menemukan sosok mayat seseorang dengan kepala pecah di celah bebatu karang, semua tentang Yey atau apapun dan sumpah Kurtum atau sesuatu yang lain, semakin menjadi begitu tidak pentingnya walaupun kemudian hari mungkin saja ada seorang perempuan bersama serombongan keluarga, datang hendak piknik ke pantai itu. Mungkin bisa saja perempuan itu memiliki wajah bagai sinar rembulan. Maka, sekali lagi mungkin saja ia adalah Yey dan kita tak akan tahu riwayat apapun tentang itu. Tak mau tahu, tepatnya.[]
Simpang Ampek, Mei 2019



Denni Meilizon, lahir di Silaping Pasaman Barat 6 Mei 1983. Menulis puisi, esai dan cerpen. Bergiat di Forum Pegiat Literasi Pasaman Barat. Tinggal di Silaping, Pasaman Barat.

Sudah dimuat Harian Singgalang edisi Minggu 21 Juli 2019.

sumber foto: flickr.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.