Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

MANGOTA JO MANGOPI #1: Mendidik Anak


Fotografer: Eko Darmawan

Ade Herdiwansyah, Pengelola Rumah Baca Balerong Cinta Anak Nusnatara sedang menyambut tamu acara


Tepat jam 23:00 usai sudah Diskusi dengan tema "Peran Pegiat Literasi Terhadap Karakter dan Perkembangan Pola Pikir Anak" di Balerong Cinta Anak Nusantara, beralamat di Perumahan Griya Makmur Blok M No. 6 Jalur 32 Simpang Ampek, Pasaman Barat .
Bersyukur bisa hadir menikmati hidangan pemikiran, ilmu dan berbagai pengalaman dari para Tokoh Pegiat Literasi, Pendidik, Ustad /Ustadzah yang hadir. Walaupun hanya ada beberapa dari mereka yang saya kenal, Ustadz Syofian Qamari, Lc, Ibu Fera Susanti, Pak Denni Meilizon, dan selebihnya adalah sahabat baru yang beruntung bisa kenal malam ini.
Semoga acara seperti ini terus dilanjutkan dan ditingkatkan, bermanfaat banyak bagi kita semua. Sebab disini kita berpikir dan aktif berdiskusi tentang perkembangan anak-anak kita, generasi masa depan. Panitia tidak sedang menghabiskan dana bantuan dari siapapun, tapi sedang memberikan "sedekah jariyah " untuk kita semua.
Kesimpulan dari diskusi ini sejalan dengan Pemikiran seorang Ulama Internasional Prof. Dr. Yusuf Al-Qardhawi bahwa Pendidikan anak dimulai dengan Menanamkan Nilai Agama (Karakter), membentuk Pola Pikir dengan Manhaj Islam dan memberi ruang /jalan bagi minat dan bakat anak.
***  
DEMIKIAN Ilfa Jasri menulis melalui akun Facebook-nya. Ilfa Jasri, memang sengaja diundang untuk hadir dalam acara bertajuk Mangota jo Mangopi sebuah program baru kerjasama Rumah Baca Balerong Cinta Anak Nusantara dengan Forum Pegiat Literasi Pasaman Barat. Ilfa Jasri merupakan orangtua dari Mariza Ilfani (12 tahun), Pemenang Lomba Mendongeng tingkat SD se- Sumatera Barat tahun 2019 dari Pasaman Barat sekaligus menjadi utusan Sumatera Barat dalam lomba yang sama secara nasional bulan September mendatang di Jakarta.
Ide penajaan diskusi terkait muncul dalam obrolan bersama pegiat literasi Pasaman Barat. Adalah Ade Herdiwansyah atau yang biasa dipanggil Pak Ade pengelola Rumah Baca Balerong Cinta Anak Nusantara yang mengagas lalu menyediakan ruang untuk menggelar diskusi tersebut.”Butuh lebih banyak diskusi secara tatap muka, dari hati ke hati untuk mencarikan solusi dan mempertajam wawasan bagi para pegiat, volunteer maupun aktifis pendidikan, politik, sosial dan budaya khususnya di Pasaman Barat. Jadi bukan hanya berkutat dalam obrolan di media sosial saja yang kita tahu kadang kala tak pula jelas juntrungannya. Alih-alih memberikan solusi malah kadang yang terjadi diskusi yang mengambang dan semakin memperuncing jarak komunikasi,” tukas Pak Ade ketika ditanyakan tujuan diadakannya diskusi bertajuk Mangota jo Mangopi ini.
Denni Meilizon, ketua Forum Pegiat Literasi Pasaman Barat pada kesempatan yang sama menyampaikan terimakasihnya atas kesediaan pihak Rumah Baca Balerong Cinta Anak Nusantara menyediakan ruang bagi kegiatan diskusi tersistem seperti ini. “Kita boleh menamai tajuknya apa saja, termasuk pemilihan Mangota jo Mangopi sebagai nama kegiatan diskusi ini. Biasanya, kegiatan mangota di tengah masyarakat umumnya dilakukan di kedai kopi. Setiap pengunjung punya hak dan kesempatan untuk berbagi dan bertukar pikiran. Tidak ada embel-embel jabatan tertentu, semua peserta diposisikan sama. Semuanya adalah pemantik diskusi dan sekaligus juga dapat diminta memberikan pendapat,” ujarnya, ketika ditemui di lokasi saat bersama mempersiapkan acara yang digelar pada malam hari itu. 
Pemantauan lokasi kegiatan, sejak sore hingga magrib menjelang, persiapan dilakukan berupa pemasangan obor pada beberapa sudut. Balerong Cinta Anak Nusantara sendiri memiliki beberapa kolam ikan dan taman bermain. Sore itu saja, sepuluhan anak-anak yang rumahnya berdekatan dengan lokasi sudah terlihat asyik bermain. Ada yang bermain perang-perangan, main mancik mancik dan beberapa ada yang main ayunan. Pak Ade yang menjadi tuan rumah juga terlihat sibuk. Sesekali ia bertelepon. Perangkat pengeras suara sudah disiapkan pula oleh Abror Lisman, warga perumahan yang di rumahnya memiliki perpustakaan pribadi dengan koleksi buku yang banyak. Bersamaan dengan lantunan azan magrib, segerobak sate pariaman datang. Agaknya inilah hidangan kuliner yang disiapkan bagi peserta diskusi malam ini. Mendengar azan magrib berkumandang, anak-anak yang bermain pun beranjak ke masjid yang letaknya hanya sepelemparan batu saja dari Balerong.
Selepas menjalankan salat Magrib, peserta diskusi pun berdatangan. Umumnya warga perumahan yang baru saja usai menjalankan ibadah salat. Sebentangan tikar juga sudah digelar. Lalu datanglah rombongan anak-anak yang memakai pakaian khas pesilat Minang. Memang dalam jadwal acara bakal ada pertunjukan Silek Tuo yang akan dibawakan anak-anak yang dilatih oleh Wildan Ridho, seorang pegiat literasi budaya di Pasaman Barat. Tepat pukul 20.00 WIB, acara pembukaan dimulai. Anak-anak bergantian membacakan puisi. Tak mau kalah, Pembawa Acara yang didapuk Sulas Sky kemudian menodong para orangtua yang hadir untuk ikut membacakan puisi pula. Selepas itu, pertunjukan Silek Tuo pun digelar. Para pendekar cilik saling tunjuk aksi di hadapan penonton, para orangtua dan pegiat literasi yang hadir malam itu. Sejam berlalu dengan gelak tawa gembira. Jarang-jarang masyarakat mendapat pertunjukan demikian, apalagi oleh anak-anak sendiri pula.
Setelah pembukaan, secara spontan Pak Ade selaku pengelola Rumah Baca Balerong Cinta Anak Nusantara berbisik kepada pembawa acara bahwa aka nada penyerahan piagam penghargaan kepada 2 (dua) orang pegiat literasi yang hadir pada malam itu. Dan terpanggillah nama Eko Darmawan, seorang pegiat Fotografi yang telah mengekspose “wajah” Pasaman Barat melalui bidikan kameranya serta Wildan Ridho, seorang anak muda yang mendedikasikan kesehariannya untuk melestarikan budaya dan seni tradisi Minangkabau di Pasaman Barat. “Seharusnya Pemerintah Daerah-lah yang memberikan penghargaan seperti ini kepada para pegiat dan aktifis yang bekerja iklas tak kenal lelah untuk Pasaman Barat,” kata Pak Ade dalam pengantarnya sebelum kemudian menyerahkan piagam tersebut.
Acara diskusi Mangota jo Mangopi #1 dengan tema "Peran Pegiat Literasi Terhadap Karakter dan Perkembangan Pola Pikir Anak" pun dimulai. Denni Meilizon yang juga Ketua FPL Pasaman Barat memoderatori diskusi terbuka ini. Semua peserta digilir untuk berbicara. Ustadz Syofian Qamari, Lc diminta pandangannya terkait pendidikan usia dini dalam Islam. Pak Ilfa Jasri diminta pula membagikan pengalamannya dalam mendidik anak-anak sehingga dapat meraih prestasi yang membanggakan Pasaman Barat bahkan Sumatera Barat. Selain itu, beberapa peserta yang berprofesi sebagai guru juga tak lepas dari jejaran pertanyaan moderator. Mereka diminta bicara terbuka soal pendidikan khususnya di Sumatera Barat. Acara diskusi semakin mengasyikkan dengan kehadiran dari perwakilan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak Kabupaten Pasaman Barat. Ajang diskusi pun terkadang menjadi arena curhat, kadang sedikit debat. Ibu-ibu perumahan yang sebagian merupakan ibu rumah tangga belaka juga tak mau untuk tidak ikut nimbrung. Moderator sempat pula secara jenaka menanyakan kriteria mencari jodoh yang tepat kepada ibu-ibu tersebut, berkenaan ada terlihat beberapa peserta diskusi yang masih gadis dan bujang.
Acara diskusi ditutup sudah larut malam. Moderator menjelaskan bahwa kegiatan diskusi seperti ini akan diusahakan terus digelar saban bulan. Tentu dengan tema-tema lain. Kesimpulan diskusi ditarik dan dilemparkan oleh Moderator kepada forum. Pertama, mendidik anak adalah persoalan hati. Tanpa dengan hati, pendidikan anak akan menyalahi sehingga mustahil terbentuk karakter dan pola pikir anak sesuai kodratnya. Kedua, mendidik anak harus dimulai dari lingkungan keluarga yang ramah anak. Ketiga, Anak-anak harus diberi ruang bermain yang lega dan edukatif sehingga merangsang perkembangan saraf motorik, kinetik dan sensoriknya. Keempat, prilaku orangtua baik dalam komunikasi sehari-hari harus peka terhadap keberadaan anak. Tidak dibenarkan mempertunjukkan prilaku yang menyalahi apabila di depan anak-anak. Anak-anak merupakan anak panah dan busurnya yang menentukan kekuatannya atau juga mereka seperti kertas putih, pena yang bertinta baik dan berkualitaslah yang membuat tulisan di atasnya bisa dibaca sehingga bermanfaat. Kelima, memilih jodoh tidak boleh sembarangan. Yang pertama harus dilihat kualitas imannya, lalu ilmu dunianya. Memilih pasangan hidup adalah awal merencanakan keturunan yang saleh/saleha, anak-anak hebat dan cerdas.
Dafrika Doni, seorang Penyair Sumatera Barat yang juga tergabung dalam Forum Pegiat Literasi Pasaman Barat memberikan masukan, kritik dan saran terkait kegiatan diskusi terbuka perdana bagi FPL Pasbar ini. “Pemilihan waktu diskusi ke depan perlu dipertimbangkan. Jangan dimulai terlalu malam, kalau bisa dari sore hari saja agar dapat diikuti oleh ibu-ibu dan kawan-kawan perempuan,” tukasnya seusai acara.[]

Artikel ini sudah dimuat oleh SKH HALUAN PADANG, edisi Minggu 25 Agustus 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.