BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya. “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”. Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR ketika ditanya:...
CITA-CITA saya ketika kanak-kanak dulu
adalah ingin menjadi Habibie.
Ketika itu,
sosok Habibie seorang yang keren dan pintar bukan main, yang saya bayangkan telah dijatuhkan
dari langit berkat doa dari Bapak Presiden Soeharto. Bapak Presiden Soeharto
bagi kanak-kanak seperti saya merupakan seorang pahlawan hebat penyelamat bangsa
Indonesia. Karakternya membumi dalam pikiran saya. Tetapi, sama seperti bagian
terbesar anak-anak seusia, tak pernah terlintas dalam pikiran saya untuk
bercita-cita menjadi Bapak Soeharto ataupun menjadi
presiden. Ketidakpernahan itu sekarang terkadang memberi rasa sesal juga.
Apalagi setelah mengetahui bahwa bercita-cita menjadi presiden itu ternyata
gampang saja, maksud saya boleh-boleh saja.
Bercita-cita menjadi Habibie itu kemudian mengarahkan
saya untuk membaca buku. Kata guru saya di kelas, Habibie itu orang paling
pintar di Indonesia. Ia pintar karena membaca dan rajin belajar. Wah, jika
demikian saya pun harus pintar dong. Sekolah saya adalah SD Inpres, bantuan
dari Presiden Soeharto pada bulan 6 tahun 1980. Maka namanya disebut pula
dengan SD Inpres 6/80. Ada perpustakaan kecil yang terletak di ujung lorong
berisikan buku-buku bantuan pemerintah pula. Ke perpustakaan itulah saya
melangkah, memasukinya untuk mencapai cita-cita sebagai Habibie. Di sana, saya
terpukau dan bingung sendiri akan banyaknya buku-buku. Di kelas sendiri, saya
sudah mendapati buku pelajaran yang dapat dibaca berdua dengan kawan sebangku.
Kami bergiliran membawanya pulang. Tetapi di dalam perpustakaan sekolah
ternyata banyak buku-buku yang bisa dipinjam dan dibaca sendiri, tak harus
berbagi dengan kawan lain. Saya memang tak ingat lagi apa buku pertama yang
saya pinjam dari perpustakaan itu, tetapi saya yakin, bercita-cita menjadi
Habibie itulah yang mengharuskan saya untuk membaca buku. Membaca buku biar
pintar, biar kayak Habibie.
Membaca buku ternyata sebuah kegiatan yang riang. Merasa
telah banyak membaca, ada kebiasaan baru saya kemudian, ketika bercermin, saya
menarik pangkal rambut di atas kening saya dan mengusahakan bagaimana agar
kening saya lebar ke belakang. Habibie memang memiliki kening yang lebar ke
belakang. Saya ingin meniru kening itu. Selain Habibie, Bapak Presiden Soeharto
juga berkening yang lebar ke belakang. Walaupun tak ada cita-cita jadi
Presiden, tetapi ingin berkening lebar ke belakang lalu menjadi bagian target
pencapaian cita-cita saya. Apalagi dalam obrolan sesama kanak-kanak, ada yang
mengeluarkan pendapat bahwa berkening lebar tanda orangnya pintar. Bahwa
kemudian hal itu tidak sepenuhnya benar manalah sampai pikiran kanak-kanak
kepada hal itu.
Di kampung saya hingga tahun 1990-an untuk menonton
televisi atau begini, hanya untuk menonton siaran Dunia Dalam Berita, orangtua
kami harus mempunyai baterai mobil untuk catu daya bagi televisi hitam putih
dalam kotak kayu yang antenanya di pakukan kepada sebatang bambu dan dinaikkan
ke atas pohon kelapa sebelah rumah. Itulah teknologi modern di kampung saya
ketika itu. Melalui televisi hitam putih dengan layar bersemut tersebut saban
hari saya kecil melihat sosok Habibie. Ketika listrik masuk ke kampung kami,
televisi juga sudah mulai berwarna. Suatu hari ada acara di televisi, Bapak
Presiden Soeharto terlihat bersama banyak orang sedang terlihat bahagia. Ada
Habibie di sana. Kata ayah saya, Indonesia hari itu punya pesawat terbang yang
dibikin sendiri. Dibikin oleh Habibie. Aduh, pangkal jantung saya terasa
berdebar. Setelah acara itu saya ingin sekali pandai membuat pesawat. Sebagai
permulaan, kepada ayah saya minta dibelikan pesawat. Seminggu kemudian, pesawat
itu datang ketika ayah pulang dari kota Padang tempat ia belanja barang dagang.
Bukan pesawat besar macam buatan Habibie memang tetapi pesawat kecil saja,
sebesar lengan saya.
Pesawat yang dibelikan ayah itu saya banggakan kepada kawan-kawan.
Saya berlari ke sana kemari menerbangkan pesawat itu dengan tangan terentang
tinggi. Hati saya aduh bungah sekali. Saya tak tahu ketika itu, konon rupanya seluruh
rakyat Indonesia mempunyai kegembiraan yang sama pula. Indonesia bisa membuat
pesawat sendiri. Bangga sekali. Adalah soal lain kemudian apakah saya, orangtua
saya atau hampir bagian terbesar rakyat Indonesia yang sedang gembira itu dapat
kesempatan untuk naik pesawat terbang. Saya sendiri, baru 20 tahun kemudian
dapat merasakan naik pesawat terbang beneran. Bukan pesawat buatan Habibie,
sayangnya.
Namun, cita-cita menjadi Habibie tak lekang dalam diri
saya. Apalagi ketika remaja saya mengenal lagu-lagu Om Iwan Fals. Saya senang
menyanyikan lagi Oemar Bakri sambil belajar memainkan gitar bersama
kawan-kawan. Oemar Bakri, oh Oemar Bakri,
mencetak otak orang seperti otak Habibie, begitu kira-kira syairnya.
Seorang teman saya, sekarang sudah meninggal dunia, keranjingan kemudian
mengotori mobil pickup milik guru sejarah kami dengan pasir yang ditabur di
bagian belakang. Dia suka sekali melolong-lolong acap menyanyikan lagu Oemar
Bakri itu. Saya tak dapat tidak, sembringah saban tiba pada lirik seperti otak Habibie. Saya tetap menarik
pangkal rambut di atas kening saya, apakah sudah lebar kening itu ke belakang.
Alahai, belum jua ternyata. Saya mesti sering ke perpustakaan sekolah. Sya
sekolah di SMP kampung saya, dan di sana ada perpustakaan juga, besar gedungnya
dua kali dari perpustakaan sekolah sebelumnya. Buku-bukunya lebih banyak.
Ditaruh di atas rak-rak kayu berwarna cokelat gelap. Tiap hari saya ke sana,
lalu berkenalan dengan Chairil Anwar, Taufik Ismail, Nugroho Notosusanto,
Sekretariat Negara Republik Indonesia, Departemen P&K, Balai Pustaka, N.H.
Dini, A.A. Navis, Majalah Horison banyak sekali, dan lain-lainnya. Di sela
kegiatan belajar di kelas, belajar olahraga di lapangan sembari menaksir siswa
cewek, ke perpustakaan lagi bertemu mereka kenalan baru saya itu lalu melupakan
saya kepada Habibie. Lalu luntur cita-cita saya menjadi Habibie.
Di kampung saya ada lapo khusus buat memutar film. Layarnya
lebar, meniru layar bioskop. Karena yang punya masih bertalian keluarga dan
saya panggil Ompung (Kakek), saya mendapat keistimewaan dapat menonton tanpa
bayar karcis, tanpa memandang usia saya yang remaja. Tempat saya menonton di
belakang, dekat Ompung yang duduk mengawasi penonton. Itulah pertamakali saya
menonton film. Filmnya diputar dari semacam kaset besar yang mirip dengan kaset
tape recorder, sebesar buku. Saya
bebas menonton film India, film koboi, film A.Rafiq, film Dono Kasino Indro.
Saya sering menonton film Rhoma Irama. Setelah dapat nonton film Gitar Tua,
Darah Muda, Berkelana 1 dan Berkelana 2, selain bercita-cita menjadi Habibie
saya lalu dengan lantang menyebut cita-cita saya yang lain; menjadi Rhoma
Irama.
Saya kembali
menaruh kagum kepada Habibie saat saya baru masuk SMA. Orang pintar yang
menjadi Presiden. Ternyata Presiden bisa diganti. Bisa menjadi cita-cita. Tetapi
tetap saja saya tak hendak bercita-cita jadi Presiden walaupun Presidennya
sudah Habibie. Saat itu saya sudah punya cita-cita sendiri, sedangkan cita-cita
menjadi Rhoma Irama dulu sudah pula saya lepaskan. Cita-cita saya kelas satu
SMA tiada lain adalah ingin bertemu Presiden. Saya ingin bertemu Presiden
Habibie. Ah!
Selamat jalan,
cita-cita masa kanak-kanak kami, Anak Indonesia. Bahagia di sana. Bikinlah
pesawat yang banyak di surga sesukamu.
Simpang Ampek, 12 September 2019
Dimuat dalam kolom essai halaman Budaya SKH Haluan Padang, 15 September 2019
Komentar
Posting Komentar
Selamat datang dan membaca tulisan dalam Blog ini. Silakan tinggalkan komentar sebagai tanda sudah berkunjung, salam dan bahagia selalu.