Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

Sejarah Sibaroar versi Raja-Raja Mandailing dan Istana Pagaruyung

Di lingkungan kerajaan-kerajaan Nasution diyakini bahwa pada suatu waktu kerajaan Paguruyung akan memperluas kekuasaannya. Maka diutuslah panglima Pagaruyung untuk membawa pasukan ke arah pedalaman Sumatera. Berbagai daerah berhasil mereka taklukkan.

Pada suatu malam, pasukan itu beristirahat di Gunung Talamau, Pasaman. Di Gunung Talamau terdapat kerajaan “Orang Bunian” dengan putrinya yang cantik. Ketika Panglima pasukan sedang tertidur, putri itu menggoda Panglima. Singkat cerita, mereka kemudian saling jatuh cinta. Kemudian dibuatlah pesta besar tujuh hari tujuh malam untuk merayakan pernikahan itu.

Ketika kandungan Putri berumur enam bulan, Panglima kemudian melanjutkan perjalanannya bersama pasukannya melintasi Gunung Talamau. Pasukan itu sempat bertahan di sutu tempat yang kemudian dinamai Batahan. Selama perluasan wilayah kekuasaan Pagaruyung, disebutkan bahwa Panglima tidak tahu bahwa istrinya, Putri Gunung Talamau telah melahirkan bayi, Sibaroar. Sibaroar kelak menjadi panglima yang memiliki kesaktian. Karena itulah Sibaroar disebut Nasaktion atau Nasution. Ia lah nenek moyang marga Nasution.

Cerita itu disepakati bersama antara raja-raja Nasution di Mandailing dengan raja-raja Pagaruyung. Karena itu, dekat Istana Pagaruyung ada sebuah desa bernama Mandailing. Marga Nasution dalam lingkungan Istana Paguruyung diakui sebagai keturunan mereka.

SEJARAH SIBAROAR VERSI SIBULUS-BULUS SIRUMBUK-RUMBUK

Dalam buku “Sibulus-Bulus Sirumbuk-Rumbuk” tersebut Willem Iskandar bercerita bahwa jauh sebelum berdiri Istana Mangaraja Enda Nasution di Panyabungan Julu tatkala daerah Panyabungan masih hutan belantara, telah berdiri Istana Sutan Pulungan di Huta Bargot (Keturunan ke-V dari Namora Pande Bosi). Pada suatu hari pergilah Sutan Pulungan bersama doli-doli undangan podang (hulubalang) berburu rusa ke tengah hutan dengan membawa anjing kesayangannya si Pamutung. Setibanya di hutan belantara terdengarlah suara anjing si Pamutung menyalak yang menandakan dia menemukan sesuatu.

Pada saat itu terpikirlah dalam benak Sutan Pulungan akan mendapatkan rusa yang besar. Ternyata setelah Sutan Pulungan mengikuti suara anjing tersebut ke arah pohon beringin yang rindang lagi besar, ternyata bukannya seekor rusa yang dia dapatkan, tetapi adalah seorang wanita cantik. Sejenak Sutan Pulungan tertegun wanita tersebut bergegas lari dari bawah pohon beringin itu dan seketika itu juga wanita tersebut menghilang dari pandangan mata. Kemudian Sutan Pulungan memerintahkan doli-doli undangan podang t memeriksa sekeliling pohon beringin itu. Alangkah terperanjatnya mereka, dibawah pohon rindang terbaring seorang bayi laki-laki mungil dan cantik di atas batu besar. Mereka akhirnya pulang dan membawa anak tersebut dan dititipkan kepada seorang perempuan tua bernama si Saua, pembantu Sang Raja.

Apabila si Saua pergi ke sawah atau ke tepian, maka si Saua meletakkannya di kamar kecil di kolong rumah Istana Sutan Pulungan, berdekatan dengan kandang anjing kesayangan raja si Pamutung.Kolong rumah dalam bahasa Mandailing kuno disebut dengan “baroar” Maka bayi kecil mungil tadi, karena tempatnya di bawah kolong, lama kelamaan dinamai oranglah si “Baroar” Setelah anak tersebut berumur kurang lebih 4 (empat) tahun badannyapun tumbuh dan bekembang dan tampan, sebagaimana anak-anak lainnya. Bahkan anehnya, mirip pula dengan putra Sutan Pulungan yang berkebetulan sebaya dengannya. Tubuhnya yang gempal, wajahnya yang tampan serta penampilannya yang ramah dan sopan sehingga rakyat kerajaan Huta Bargot sering terkecoh. Orang banyak mengira Sibaroar adalah putera dari Sutan Pulungan, dan banyak pula yang menegurnya dengan panggilan hormat “Janami” (Yang Mulia). Mendengar panggilan tersebut Sutan Pulungan merasa tidak enak, seakan-akan Sibaroar yang didapat di hutan belantara itu adalah anak kandungnya. Hingga suatu saat, karena sering mendapat laporan dari para hulubalangnya tentang kebaikan hati dan penghormatan rakyat akan Sibaoar, terbitlah niat yang tidak baik Sutan Pulungan untuk melenyapkan nyawa Sibaroar, yang belum berdosa itu. Setelah berfikir beberapa hari lamanya Sutan Pulungan mendapat akal, tetapi saying maksudnya tidak dikabulkan oleh Debata (Tuhan), malah sebaliknya membuat bencana bagi kerajaan itu. Mungkin karena kezalimannya Debata ingin memperlihatkan kekuasaan-Nya bagi orang orang yang berfikir.

KISAH TIANG SOPO GODANG

Sutan Pulungan mengundang tokoh-tokoh masyarakat untuk mengganti tiang tengah Sopo Godang (Balai pertemuan/ siding kerajaan). Yang kebetulan sudah lapuk dimakan rayap. Semua hadirin dabn rakyat kerajaan sudah barang tentu setuju dengan maksud Sutan Pulungan. Tetapi pengantian tiang Sopo Godang ini hanyalah siasat buruk Sutan Pulungan untuk melenyapkan nyawa Sibaroar. Sutan Pulungan memerintahkan kepala tukang, apabila nanti lobang tempat tiang besar nanti sudah digali, maka tolaklah lebih dahulu Sibaroar kedalam lobang tersebut, baru tiang besar itu dijatuhkan ke dalam lobang.

sumber: dari tuturan Bang Askolani Nasution, Budayawan Mandailing, tinggal di Panyabungan Mandailing Natal.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.