Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

DI REMBANG DENDANG




Oleh Rusli Marzuki Saria
Penyair Senior, berasal dari Sumatera Barat

I
MEMBACA lebih dari seratus sajak seperti menghayati kehidupan. Kata-kata menyerbu penulis sajak dengan gegap gempita. Barangkali juga dengan sorai sorai. Tugas menyair, tugas penulis sajak adalah menyaring kata-kata. Kata-kata datang bagai airbah dan itulah yang akan dihempang dan disaring.
Seperti juga seorang penulis sajak, juga penjaga gawang ketika bola sedang melantun ke gawangnya. Perlu kewaspadaan dan kerja keras untuk bergulat dengan kata-kata. Karena bahan baku menulis sajak adalah kata-kata itu.
Lalu, bagaimana dengan “Buku Kumpulan Puisi” Denni Meilizon yang berjudul Rembang Dendang. Saya membacanya :

II
Petang rembang sunyi bayang
Ufuk menyingsing kenang menggenang
Di pepatah ujar, pada petitih ajar
                                                        Semburat binar  meringkas nanar
                                                             Di bungkus sayang, gendang berdendang
                                                                                                  (Rembang Dendang)

Kita dibawa menyelinap di rembang petang. Barangkali kita menelusuri dendang yang mengeluarkan irama yang wahai di suatu pagi yang merekah. Walaupun pada bait terakhir dari sajak Rembang Dendang ini kita diajak menghayati petang retak. Walaupun juga “dibungkus sayang, dibungkus malang”.

Ada baris-baris yang manis dalam suatu pernyataan pada sajak “Ranting” seperti ini :
Itu aku
Ketika terjulur mencium bulan

Itu aku
Ketika menggigil ditampar malam

Kita dibawa ke suatu yang intens tentang ranting. Ranting kecil di sebuah dahan sedang meliuk dihembus angin. Dan di baris terakhir kita tersentak,
Perkenalkan namaku :
“Ranting”
Sekata saja.


Suatu perjalananan rohaniah, bukanlah perjalanan fisik olahragawan. Kata-kata meliuk melenggang. Lalu berbisik lembut :
Jadi, musim kita kali ini berbagi
Berhenti pada diam yang telah membasi

Jadi, musim kita kali ini merenda
Berjabat erat sepenuh jiwa
                                                                 (Simponi Bernada Rendah)

Terkadang kita bisa juga terhanyut dalam retorika. Retorika adalah kata-kata yang bersarang jubah pidato. Seperti baris-baris ini :
Aku mencintaimu lewat petik lagu-laguku
Bersama basahnya kata yang direndam dalam hatimu
                                                                  (Aku, Kamu dan Cinta Itu)

Lalu kita baca pula tentang sebuah kisah dongeng. Cerita dongeng ini enak dihayati ketika mau tidur malam hari.
Baiklah
Kita ini berkisah dongeng
Dalam pelepah kulit atau tulang belulang
Ditulisi bibir bersemut dalam manis tersungging

Baiklah
Kita hanyalah sebuah dongeng
Yang latah mengeja masa mendatang
Mengiris dosa kemudian mencoretkannya dalam kanvas berbelang
                                                                                  (Kita Berkisah Tentang Dongeng)

Kita hanyalah sebuah dongeng dan manusia itu memang aneh. Sajak-sajak adalah kata-kata yang rancak. Kita disuruh berpikir. Kita terhimbau oleh baris-baris begini :

Mari menyusun
Mari menghitung

Mari menimbang
Mari mari mari
                                     (Puzzle)
Romantisme bukan lagak yang cengeng. Romantisme bisa melahirkan sajak yang anggun dan ceria begini :
Anggi, bernyanyilah menina bulan
Ketika hati mereka reka takut
Reka-reka saja, Anggi a
Tak kuti tak tak tuk

Tu bulan I tu bulan I tatap ma au
Pasombu sihol ni roham
Da hasian..*
                                                       (Tataplah Bulan Itu, Anggi a)


III

Begitulah saya membaca sajak-sajak dalam Rembang Dendang karya Denni Meilizon. Saya selalu saja mengutip apa yang dikatakan oleh penyair Rainer Maria Rilke untuk penyair muda : Do not write love poems; avoid at first those form which are too familiar and usual : they are the most difficult,….


-Rusli Marzuki Saria-

Wismawarta, 29 Juli 2013

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.