Langsung ke konten utama

Gaji Pimpinan di Muhammadiyah

BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya.  “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.  Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah  supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR  ketika ditanya:  ”Itu niat

”Rembang Dendang” Denni Meilizon : Sebuah Kebangkitan

Oleh : Dasril Ahmad
(Pengamat dan Kritikus Sastra, berdomisili di Kota Padang)


Eksistensi karya sastra, termasuk puisi, di Indonesia sampai dekade 1980-an masih dipandang berada pada posisi marjinal/terpencil di dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Kondisi ini membuat banyak pihak mencari dan kemudian melemparkan “bola panas” penyebabnya ke segala arah, tak terkecuali bola panas itu telak menggelinding ke lembaga pendidikan yang dianggap gagal melaksanakan pengajaran sastra dengan baik, sehingga berakibat apresiasi sastra masyarakat tak kunjung baik, dan sastra pun dipandang semakin marjinal di tengah kehidupan masyarakat itu sendiri.
Menghadapi kenyataan itu, sastrawan dan budayawan Mochtar Lubis menyatakan, sebetulnya sastra Indonesia itu terpencil dalam arti bila dibandingkan dengan sastra di negara-negara lain, seperti Belanda, Rusia dan lain-lain, di mana seorang penyair mempunyai syair yang dibaca oleh berjuta-juta orang. Maka peminat-peminat sastra Indonesia itu jumlahnya masih sedikit; yang membaca sastra Indonesia itu bisa dihitung dengan jari, kalau dibandingkan dengan negara lain. “Akan tetapi, dalam masa sepuluh atau dua puluh tahun mendatang, saya rasa akan jauh lebih besar lagi peminat sastra Indonesia. Kalau saya ketemu anak-anak muda di mana-mana saya keliling Indonesia, mereka umumnya sudah baca karya Rendra, misalnya, sudah baca majalah sastra Horison, meskipun mereka jarang dapat Horison. Jadi tersebar juga pembaca sastra Indonesia, cuma jumlahnya masih sedikit,” tegas Mochtar Lubis dalam suatu wawancara di Padang awal Pebruari 1990 lalu. (selengkapnya lihat wawancara saya dengan Mochtar Lubis: “Seniman Harus Jadi Manusia Bebas”, dalam buku “Mochtar Lubis Bicara Lurus: Menjawab Pertanyaan Wartawan”, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1995 : 90).
Pandangan sastrawan Mochtar Lubis di atas ada benarnya. Buktinya, lebih satu dekade belakangan aktifitas penulisan, pemasyarakatan dan peminat sastra (terutama puisi) di Indonesia mulai menggeliat, bangkit dari kemarjinalannya. Kebangkitan itu tak dapat dilepaskan dari kemajuan dunia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek), terutama di bidang teknologi informasi canggih dewasa ini. Perkembangan pesat teknologi informasi ini telah membawa kita kenal dan akrab dengan dunia internet, yang memunculkan media online dan jejaring sosial seperti facebook, twitter dan lain sebagainya. Media informasi canggih yang menandai kemajuan Iptek ini memang mengasyikan; mengajak kita “berselancar” dari dunia nyata ke dunia maya, berbagi informasi dalam berbagai nuansa dengan banyak teman dari berbagai negara dan benua di belahan dunia sana, yang tentu saja memberikan kenikmatan tersendiri bagi kita sebagai penggunanya.
Tidaklah mungkin dipungkiri bahwa kemajuan Iptek yang menghadirkan media jejaring sosial seperti facebook itu, membawa dampak yang sangat positif bagi kebangkitan minat orang untuk menulis, membaca, dan memublikasikan/memasyarakatkan karya-karya sastra, terutama puisi. Kehadiran media facebook membuat orang keranjingan menulis dan kemudian memublikasikan puisi-puisi mereka di sana. Mereka juga telah langsung mengambil peran sebagai redaktur untuk menyeleksi puisi-puisi terbaik yang layak diposting di facebook. Di media facebook ini pula tumbuh subur group-group sastra (dengan adminnya para sastawan/penyair yang berpengalaman), sebagai wadah diskusi untuk mematangkan kemampuan mereka dalam menulis puisi. Tak heranlah kita, tiap hari puluhan bahkan (mungkin) ratusan puisi muncul di facebook; suatu bentuk kreativitas sastra yang menggembirakan secara kuantitas (kita abaikan dulu kualitasnya).
Kenyataan yang menandai kebangkitan kreativitas penulisan, pemasyarakatan dan minat terhadap puisi lewat media facebook itu, patutlah kita sambut dengan senyum cerah dan perasaan gembira. Apalagi kreativitas itu juga diikuti dengan tingginya minat dari para penyair itu untuk menerbitkan karya-karya puisi mereka dalam bentuk buku; baik berupa buku antologi puisi bersama maupun buku kumpulan puisi sendiri/tunggal. Penerbitan buku-buku puisi ini menandai kebangkitan mereka sebagai penyair dari dunia maya ke dunia nyata; dunia yang penuh problematika hidup di mana segala pernak-perniknya sesungguhnya telah mereka olah sebelumnya ke dalam puisi.
***

Upaya menerbitkan buku puisi Rembang Dendang karya Denni Meilizon ini merupakan bukti konkrit kebangkitan kreativitas penulisan puisi di Indonesia dalam genggaman Iptek (baca, media facebook) yang dilakukan Denni Meilizon, penyair bertubuh gemuk, kelahiran Silaping, Pasaman Barat, 6 Mei 1983 ini. Menurut Denni, buku puisi Rembang Dendang memuat 103 puisinya yang ditulisnya dari akhir 2012 hingga pertengahan 2013. Beberapa puisi dalam buku ini telah pernah dipublikasikan di koran Haluan (Padang) dan di media facebook, namun lebih dari separoh puisi belum pernah dipublikasikan. “Bila ada orang yang menggunakan facebook sebagai media untuk menuangkan karyanya (puisi), maka saya adalah salah satunya,” tulis Denni dalam salah satu komentarnya di facebook baru-baru ini.
Dengan pengakuannya itu, menurut saya, Denni Meilizon merupakan seorang penyair yang rajin dan produktif menulis puisi di media facebook. Namun, ia tidak saja produktif menulis puisi, tetapi juga punya semangat tinggi untuk menerbitkan puisinya dalam bentuk buku. Betapa tidak, dalam rentang waktu 6 bulan, ia berhasil menulis 103 puisi yang akan diterbitkannya dalam buku Rembang Dendang ini. Buku ini pun merupakan buku kumpulan puisi tunggal ketiganya setelah sebelumnya buku “Kidung Pengelana Hujan” (2012) dan “Siluet Tarian Indang” (2012).
Tampaknya, Denni Meilizon termasuk penyair yang senantiasa cermat mengamati persoalan-persoalan hidup yang bergerak di lingkungannya, biar sekecil apapun persoalan itu, termasuk juga persoalan yang menyentuh hidup dan kehidupan pribadinya, akan selalu dihayati dan direkamnya sebagai pengalaman batin yang berharga, untuk kemudian lewat daya imajinasi dan kemampuan puitiknya, hal-hal itu diungkapkannya ke dalam larik-larik puisi. Jika tidak demikian, tentu sulit rasanya ia bisa merampungkan menulis sebanyak 103 puisi dalam rentang waktu hanya 6 bulan untuk buku kumpulan puisi tunggal ketiganya ini.
Sebagai buku kumpulan puisi ketiga dari penyair ini, tentu di dalam Rembang Dendang akan terlihat puisi yang kualitasnya makin memperlihatkan tingkat kematangan penguasaan bahasa, pengalaman batin dan kemampuan puitika kepenyairan Denni dalam mengungkapkan masalah hidup dan kehidupan ini lewat puisi. Betapa tidak, hal-hal tersebut yang menyangkut kemampuan teknis elementer dalam proses kreatif penulisan puisi bagi seorang penyair, diyakini sangat menentukan keberhasilannya dalam mengangkat/mengapungkan kehidupan ini ke dalam puisi. Seperti dikemukakan penyair Sutardji Calzoum Bachri pada forum Puisi Indonesia 1987 di TIM Jakarta, bahwa puisi bisa diibaratkan bagaikan kapal dengan laut. Betapa anehnya bentuk sebuah kapal dirancang, tetapi kalau tak ada lautan, maka kapal itu tak ada gunanya. Betapapun anehnya bentuk sebuah puisi, kalau tak bisa mengapungkan kehidupan, maka puisi itu juga tak ada gunanya; tidak berhasil.
Dalam tulisan yang saya kerjakan sebagai pengantar untuk penerbitan buku puisi Rembang Dendang karya Denni Meilizon ini, saya sama sekali belum masuk ke (apa) persoalan yang diungkapkan puisi, dan juga belum menilik bagaimana teknis pengungkapan (terhadap) persoalan yang digunakan penyair dalam proses kreatifnya ini. Namun, saya optimistis, bahwa puisi-puisi dalam kumpulan ini akan dapat mengapungkan kehidupan, sebagaimana yang dikemukakan Sutardji Calzoum Bachri di atas. Mengapungkan kehidupan secara implisit mengajak penyair untuk tak lagi asyik mengungkapkan persoalan diri pribadi mereka saja di dalam puisi yang mereka tulis, tetapi harus mampu mengungkapkan kehidupan dalam dunia yang lebih luas di luar dirinya. Seperti diungkapkan penyair Subagio Sastrowardoyo (1995 ; ix) bahwa, penyair yang menyekatkan perhatian pada diri sendiri hanya menghasilkan sedu-sedan dan keluh-kesah, bukan sajak yang cukup berarti. Nilai sajak baru diperoleh setelah ia sanggup mengatasi perhatian pada diri sendiri dan mempertalikan diri dengan lingkaran dunia yang lebih luas. *** (Padang, 13 Agustus 2013).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Fiksi dalam Sorak Sorai Kepergian dan Penantian

 (Kolom Apresiasi di SKH Haluan, 11 September 2016) Oleh Denni Meilizon AGAKNYA kata “rindu” memang tidak pernah bisa dipisahkan dari sebuah jarak antara kepergian dengan penantian. Sebagaimana sebuah kapal yang melayari lautan, perjalanan telah membawa semua ekspektasi kata “rindu” yang malih rupa kemudian dengan sebutan kenangan. Sedangkan kenangan selalu berupa sebentuk rumah, kebersamaan dan jejak. Puisi “Yang Ditahan Angin Rantau” menggambarkan betapa kenangan telah berumah di tanah perantauan sedangkan di kampung halaman tertinggal sebentuk ingatan. Larik begini, Sepanjang malam adalah angin yang berembus menikam jauh sampai ke putih tulang/ Penyair seakan memberitahukan kepada kita bahwa rindu rumah kampung halaman telah mencukam dalam sampai titik paling rendah, sampai ke tulang.   Anak rindu kepada masakan Ibunda dan tepian mandi ketika kanak-kanak. Tetapi, puisi ini bukanlah hendak menuntaskan keinginan itu. Tak ada waktu untuk menjemput kenangan. Lihatlah larik

DIALOG SUNYI REFDINAL MUZAN DALAM SALJU DI SINGGALANG

Harian Umum RAKYAT SUMBAR edisi SABTU, 25 Januari 2014 Ketika menutup tahun 2013 lalu, Refdinal Muzan kembali menerbitkan kumpulan sajaknya dengan judul "Salju di Singgalang". Penyair melankonis dan teduh ini benar-benar sangat produktif "berkebun" kata-kata. Bahasa qalbunya menyala. Sajak-sajaknya mencair mencari celah untuk mengalir dengan melantunkan irama yang mengetuk-ngetuk pintu bathin pembaca, mengajak bergumul, berbaris lalu berlahan lumat bersama kelindan kata yang merefleksikan pergerakan kreatifitas kepenyairannya. Membaca sajak-sajaknya memberikan ruang untuk berdialog lalu menarik  kita untuk ikut ke dalam pengembaraan dengan wajah menunduk, bertafakur dalam sunyi, menghormati kemanisan sajak yang disajikan berlinang madu.

KAJIAN PUISI-BUNYI DALAM SAJAK

BAB I  PENDAHULUAN   1.1          Latar Belakang Sastra merupakan cabang seni yang mengalami proses pertumbuhan sejalan dengan perputaran waktu dan perkembangan pikiran masyarakat.  Demikian pula sastra Indonesia terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, karena sastra adalah produk  (sastrawan) yang lahir dengan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat.