BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya. “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”. Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR ketika ditanya:...
![]() |
Harian Rakyat Sumbar, Halaman BUDAYA, Sabtu 9 Januari 2016 |
Purnama
demi purnama berlalu begitu saja. Dan Nyai, semakin rajin saja bertanya kenapa
kami tak pernah pulang kampung.
Ia
ingin pulang. Sebagaimana kawan-kawannya di sekolah yang sering pulang ke
kampungnya. Tetapi tanah kami jauh. Jauh di Lembah Malintang. Di sana, kau akan
menemukan riak sungai berderai-derai dengan sekawanan kerbau mandi di bawah
terik matahari.
Setelah
Nyai bertanya tentang pulang itu, berbagai kenangan mengharubiru mendatangiku. Di
Jumbaten Gantuong dulu, aku dan Warni
ibunya, pernah berjanji sehidup semati. Di bawahnya, sungai Batang Siorbo tenang
mendesah menyaksikan perjanjian purba yang kami buat. Kami jatuh cinta. Cinta bak
film India. Dan Warni pandai mengaji. Karena itu, akupun tak keberatan untuk
belajar mengaji. Saban sore, setelah usai salat Ashar kami bertemu di Mesjid
Raya Ujunggading.
Antara
Jumbaten Gantuong dengan Mesjid Raya
tak terlalu jauh jaraknya. Apabila bolos mengaji, aku dan Warni selalu ke Jumbaten Gantuong. Kami satukan dua ikon
Ujunggading itu dengan cinta.
Aku
masih ingat. Awalnya, Warni tidak mau bolos mengaji. Ia menolak ajakanku untuk
membolos.
“Kan
Warni sudah pandai mengaji, ngapain
repot-repot belajar lagi?” godaku saat itu.
Ia
menunduk diam. Semut yang membentuk alis matanya bergerak halus. Oh, manisnya!
“Abak
menyuruh Ni agar memperlancar kaji. Nanti Ni mau dimasukkan ke Pesantren,”
jawabnya lirih. Masih dengan menunduk. Kerudung pinang masak yang ia pakai
memantulkan rona pipinya yang menyemu.
“Nah,
di pesantren kan pasti disuruh mengaji lagi. Ya ndak usah belajar dari sekarang. Sudah! Ndak usah repot. Mendingan
kita jalan-jalan. Sore ini Batang Siorbo sangat indah, lho. Airnya bisa memantulkan senja. Apa tak mau lihat?” ajakku.
Dasar lelaki!
Warni
terdiam. Menunduk. Menggeleng pelan dan bergegas masuk ke dalam Mesjid. Ia tak
mau!
Namun
penolakan itu tidak berlangsung lama. Aku masih ingat manakala beberapa hari
kemudian ia menuruti ajakanku. Sekali, lalu dua kali. Akhirnya, kami lebih
sering duduk di Jumbaten Gantuong
daripada di Mesjid Raya.
Satu
hal yang tidak akan kulupakan adalah kepandaianku mengaji tak lepas dari obsesi
untuk selalu mengikuti Warni mengaji di Mesjid Raya. Namun, jangan sangka kepandaian
itu kudapatkan dari Mesjid Raya, bukan! Bolehlah pengurus Mesjid Raya membuka
Taman Pengajian Al-Quran namun, kami juga membuka taman mengaji sendiri. Seusai
salat Ashar di atas Jumbaten Gantuong,
sembari mengamati kerbau dimandikan, orang-orang yang mandi serta kafilah burung
punai pulang senja menuju pinggang Gunung Malintang, Warni dengan sabar
membimbing bacaanku.
Ayat-ayat
suci mengalun di atas Batang Siorbo. Terbata-bata. Ditingkahi suara merdu
burung Murai Daun berjilbab pink, berpipi merah menyemu yang duduk disampingku.
Jumbaten Gantuong bergoyang lembut.
Kamipun ikut bergoyang lembut. Senja tertawa, kamipun tertawa. Orang-orang
geleng kepala, kami tak peduli.
Lambat
laun, perilaku tidak terpuji berupa lari dari kewajiban untuk belajar ayat-ayat
suci di Mesjid Raya sampai ke telinga orangtua Warni. Tentu saja mereka marah.
Bikin malu! Aku dilaknat Abaknya sebab telah mempengaruhi jalan pikiran Warni.
Orangtua itu makin berang, sebab anak gadisnya itu malah membelaku dengan
nyawanya. Terang-terangan ia melawan orangtua. Sebab itu aku pun panik. Takut.
Namun lega sebab Warni masih dibolehkan untuk keluar rumah. Tetapi hanya untuk
mengaji saja. Titik! Di Mesjid Raya, bukan di Jumbaten Gantuong.
Mengingat
semua itu aku tertawa dalam hati.
Kenangan
masa lalu, Ah! Tak mungkin kenangan
itu kubenamkan begitu saja ke sungai Mahakam, rantauku kini. Di Kalimantan ini,
Warni mendampingiku dengan setia. Pipinya tak lagi merona sebagaimana dahulu. Tapi
dia memberikanku Nyai, anak perempuan kami yang mulai beranjak remaja. Tetapi Nyai
belum pernah sekalipun menjejak Ujunggading, tanah kelahiranku dan ibunya. Jauh
di ujung Sumatera sana. Dekat dengan ombak yang berdebur. Mukim di lembah yang
melintang. Nyai dan Warni, dua perempuan irama jantungku. Apapun akan kulakukan
demi membahagiakan mereka. Kecuali satu hal saja, jangan ada diantara mereka meminta
untuk pulang.
“Kenapa
Ayah tak ingin pulang?”
Pertanyaan
itu lagi. Aku terlempar kembali ke masa kini.
“Nyai
sudah salat?” tanyaku mengalihkan.
“Nyai
tak mau salat. Ayah tak jawab pertanyaan Nyai,” rajuknya. Wajahnya ditekuk.
Bibirnya mengerut. Lucu.
“Lho, jangan begitu Sayang. Salat itu
wajib bagi orang Islam. Nyai kan orang Islam. Anak yang sholeha,” bujukku. “Gadis cantik harus salat, kalau tidak, nanti
jadi jelek, he-he-he…,” godaku lagi sembari mencolek hidungnya. Pipinya menyemu,
rona yang ia miliki dari ibunya. Ia salat dengan merengut. Sementara aku merasa
lega. Pasti ia akan bertanya lagi, entah kapan.
Siapa
sih yang tidak ingin pulang ke tanah kelahiran? Perantau mengadu nasib,
mengumpulkan receh demi receh hanya untuk bisa pulang. Pulang perantau artinya
pulang membawa kebanggaan. Apa gerangan yang akan kubanggakan? Setiap orang
memiliki kenangan yang akan dijemput saat pulang kampung. Walau sejenak di
kampung halaman, namun kenangan itu akan dicoba jua untuk diziarahi. Ditinjau
kembali. Terkenang sahabat, tangan yang dijabat. Terkenang keluarga, perjamuan
yang dihelat. Terkenang tempat, langkah yang dihela. Dan tempat yang penuh
kenangan di Ujunggading bagiku dan Warni tentu saja adalah Jumbaten Gantuong.
Aku
ingat pada suatu sore yang indah. Sambil memandang padati yang hilir mudik mengangkut pasir dari Batang Siorbo, untuk
kesekian kalinya aku dan Warni kembali melanggar perintah orangtua.
“Ni
akan ke Padangpanjang pekan depan,” kata Warni. Ia memain-mainkan ujung
kerudungnya. Pekan depan berarti Senin. Hari Pasar di Ujunggading. Akan banyak
mobil sewa datang ke Ujunggading.
“Dengan
siapa Ni pergi?” tanyaku. Pertanyaan bodoh!
“Dengan
Abak. Umak juga ikut. Sekalian mampir ke Bukittenggi.
Belanja,” jawabnya lirih. Hampir berbisik.
“Jadi…”
“Abang
harus terus belajar mengaji. Lanjutkan sekolah. Setamat pesantren, insya Allah
kita akan bertemu lagi.”
“Selama
itu?”
“Tak
akan lama. Hanya 6 tahun. Ni tahu Abang akan menunggu.,” ujarnya bijak. Cerdas!
Hatiku digebuk ribuan palu.
Pernah
kubaca dalam sebuah majalah kalau di Italia ada sebuah rumah yang dipenuhi
coretan pelancong, pengunjung yang kasmaran. Coretan kata cinta dan janji
sehidup semati dalam berbagai bahasa. Entahlah! Yang jelas aku harus menuliskan
janji seperti itu. Menuliskannya di Jumbaten
Gantuong. Pada lengan-lengannya.
Aku
beranjak. Dan Warni rupanya segera paham apa yang akan kulakukan.
“Pegang
tanganku, Bang. Kita tulis berdua,” ujarnya mantap. Senyumnya merekah.
“Apa
yang akan kita tulis?”
“Ikuti
sajalah tangan Ni,” jawabnya.
Matahari
condong ke barat. Lekak sepatu kerbau dan derap roda padati semakin lindap. Burung-burung menutupi awan, awan sisik
kiriman ombak Air Bangis.
Kami
berdua memandangi goresan yang dituliskan dengan ujung paku itu. Terpaku. Sebaris
kalimat sakral. Janji akan hidup dan mati bersama. Bercerai dan mati apabila Jumbaten Gantuong ini runtuh. Lalu gambar
hati dan tandatangan.
Masih
berbekas jelas dalam ingatanku, saat hari Senin tiba bagaikan melompat dari
dalam kalender. Aku pun terpontang panting menuju pasar. Dari seberang jalan
aku melihat Warni sekeluarga baru saja naik bus. Bus berkepala oval dengan
rajah nama “UGS” di badannya. Begitulah Warni pergi. Tinggallah aku dikepung
sepi padahal bus itu belum sampai menyeberangi Aek Bayang, beberapa meter dari pasar.
Keesokan
harinya sebuah berita datang menggemparkan Ujunggading. Bus UGS yang akan
pulang ke Ujunggading masuk jurang di kelok 44. Tidak ada satupun yang selamat.
Termasuk kedua orangtua Warni. Warni?!
Mengingat
Warni, aku terpontang panting lagi berlari menuju rumahnya di Pasar Lamo. Ramai
orang di sana.
“Masih
di Simpang Ampek,” ujar Abduh, tetangga Warni ketika kutanya.
“Apakah
Warni…?”
“Tidak!
Syukurlah. Warni kan ditinggal di Padangpanjang. Sayangnya, Warni kehilangan
kedua orangtuanya. Gadis yang malang,” jawab Abduh dengan sedih.
Aku
tersentak dari lamunan. Suara Nyai mengaji membuatku kembali ke masa kini. Dari
balik pintu kamar, Warni menatap sendu. Ia tersenyum lalu memandangku penuh
arti.
Kupeluk
Nyai yang sedang mengaji. Kuangkat dagunya dan kucari ketenangan dalam mata anak
perempuanku ini. Mata indah milik ibunya. Saatnya telah tiba. Akan kujawab pertanyaannya
itu.
“Nak,
kita tak akan pulang. Tak akan! Kedua Ongkumu dan juga nenekmu sudah tiada. Tak
ada lagi tujuan kita kalau pulang ke Ujunggading. Kata teman Ayah, Jumbaten Gantuong juga sudah digusur.
Besi-besinya yang karatan sudah diangkut orang ke Australia!”
Aku
menangis pedih. Warni menghampiri kami, memelukku dan Nyai.
“Warni,
Jumbaten Gantuong sudah runtuh. Aku
takut. Janji kita dulu itu, Ah!”
bisikku.
Gelap
merayap. Debur Mahakam meredam gelombang di dalam dada.
***
Lubuk Minturun, September 2015
Dimuat oleh Harian RAKYAT SUMBAR, edisi Sabtu 9 Januari 2016
Dimuat oleh Harian RAKYAT SUMBAR, edisi Sabtu 9 Januari 2016
Komentar
Posting Komentar
Selamat datang dan membaca tulisan dalam Blog ini. Silakan tinggalkan komentar sebagai tanda sudah berkunjung, salam dan bahagia selalu.