BELUM SEMUA KENAL MUHAMMADIYAH,,, 😍😍😍 Seorang pengurus yayasan bertanya: "Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?” “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yg digaji” jawab saya. “Apa benar ? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?” “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. "Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?” “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah” “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammadiyah sebagai profesi. Semua berniat sbg pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”. Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh kepada pesyarikatan. Tanggapan Pak AR ketika ditanya:...
SUNGAI,
di manapun kau bisa menemukannya pastilah sebuah bangun ruang yang sangat
memukau. Besar, meliuk (seperti badan seekor ular), dibaluri semak belukar,
lumpur, bebatuan, ikan, buaya, bakau dan semakin ke muara kita akan melihat
jembatan, jalanan setapak, jalanan beraspal, rumah-rumah, orang-orang mandi,
orang memancing, orang berperahu. Semakin mendekat ke laut, sungai semakin
lindap, tenggelam dalam hiruk pikuk budaya, menyatu dalam detak kehidupan
manusia. Ketika sudah begitu sungai bagimu mungkin hanya semacam asesoris.
Hal-hal yang tidak terlalu penting dan mempengaruhi gerak kehidupanmu. Dan,
sungai bagi sebagian orang di luar sana memang tidak berarti apa-apa. Sekilas
lalu saja. Sebagian menggunakannya sebagai tempat berkencan atau hanya sebuah tempat
untuk membuang sampah walaupun Pemerintah gedar gedor mengusungkan peraturan
kepada masyarakat bahwa membuang sampah ke sungai bisa di denda sekian dan
sekian.
Sayangnya,
aku sudah sering mendengarkannya membicarakan sungai. Semua hal bisa ia kaitkan
dengan sungai. Suasana hati ia bilang sebagai aliran sungai; kadang tenang,
kadangkala deras. Kadang luas, kadang menyempit. Sungai ia ikutsertakan dalam
mimpi, dalam takdirnya. Padahal ia bukan seseorang yang lahir di pinggir
sungai. Bukan pula lahir dari keluarga yang bergantung hidup kepada sungai. Ia
orang modern. Seseorang yang dilahirkan dari hitungan peluang dan kesempatan
yang dieja betul-betul oleh orangtuanya. Orangtua yang tidak pernah menyodorkan
sungai sebagai jalan alternatif kepadanya untuk terbebas dari tekanan dan beban
kehidupan yang melibas tiada henti. Tetapi ia belajar. Ia memahami. Lambat laun
ia menemukan sungai, sebuah bangun ruang yang dituliskan dalam ayat-ayat suci
sebagai bagian dari Surga. Tempat
membasuh segala dosa. Tempat yang menyediakan air aneka rasa. Ia memahami itu
dengan baik. Sejak itulah ia merasa begitu dekat dengan sungai. Merasa perlu
dengan sungai. Maka dibangunnya filosofi kehidupan, kehidupan pribadinya tentu
saja. Filosofi kehidupan berbasis sungai.
"Kau
tahu kalau sungai adalah asal dari segala yang hidup,"katanya suatu
ketika. Saat itu malam baru saja larut. Kami lesehan sembari menyeruput kopi di
dekat tungku perapian.
"Ya,
aku pernah mendengar itu,"jawabku sambil melemparkan kulit kacang ke api
yang membakar kayu bakar kering dengan perlahan.
"Manusia
memang sudah sangat sering diberitahu, saking seringnya hingga manusia tidak
peduli lagi. Dahulu nenek moyang kita bergantung kepada sungai. Di mana sungai
mengalir di sana peradaban dibangunkan. Kehidupan mula-mula berasal dari
sungai. Peradaban mula-mula berawal dari sungai. Ayat-ayat suci menggambarkan
betapa peran sungai sangat penting dalam citra Surga, tempat semuanya
kembali.Tempat semua kesenangan tersimpulkan. Tempat semua kebaikan dan amal
kebajikan dibalaskan."
"Apa
kau ingin mengatakan kalau Tuhan menciptakan sungai sebelum segala sesuatu
ada?"
Ia
tersenyum mendengar pertanyaanku yang spekulatif itu. Senyum yang berarti oh!
betapa bodohnya engkau kawan! Tetapi bukan itu yang keluar dari mulutnya,
melainkan jawaban bijak ini:
"Setelah
kau tahu eksistensi Tuhan dalam kehidupanmu, apakah kau perlu tahu mana yang
lebih dahulu sungai atau segala sesuatu? Bukan itu yang membuat sungai
berharga. Bukan siapa yang lebih dulu dari siapa. Sebab sungai seharusnya dapat
memberikan pelajaran kehidupan. Ia memberi hidup. Harapan. Ia mengarahkan
orang-orang yang tersesat hingga dapat menemukan jalan pulang. Muaranya
menyimpan ribuan kisah. Misteri yang dibawa hujan dari tempat antah
berantah."
Aku
tercenung mencoba mencerna. Aku menyerah. Nyatanya otakku tak bisa diajak
berkompromi memahami kalimat-kalimatnya yang berlapir-lapis. Setelah
melemparkan kulit kacang ke api unggun, aku mengangkat bahu lalu berdiri. Malam
dingin sempurna menggigilkan tubuh.
"Mau tambah
minuman hangat lagi, Pai?" tawarku kepadanya. Pai mengangguk tanpa
melihatku. Mungkin ia sedang memikirkan ulang kalimat-kalimat yang ia katakan
kepadaku tadi. Yang jelas ia masih memikirkan sungai.
Aku ke dapur menuangkan
kopi dengan air panas. Menyalin air ke dalam ceret. Mengunyah kacang goreng
membuatku kehausan. Tenggorokanku kering.
Kulihat
Pai sekarang merokok. Nikmat betul ia menghisap benda itu. Asapnya
bergulung-gulung menampar kegelapan. Kegelapan yang luas. Sejauh mata
memandang. Api unggun kami sudah padam. Entah kapan.
***
Pai,
kawanku yang mencintai sungai melebihi cintanya kepada diri sendiri. Entah di
mana ia kini. Apakah ia menghilang karena sudah benar-benar pergi untuk
mewujudkan ambisi dirinya, mengarungi semua sungai di atas dunia ini?
“Untuk
mencapai sungai di surga, aku harus melayari semua sungai di dunia ini terlebih
dahulu,” katanya kepadaku sesaat setelah kopi hangat bikinanku ia seruput
dengan nikmat. Minum kopi dalam kegelapan yang luas. Gelap sebab api unggun
sudah padam.
“Kenapa
harus seperti itu?” tanyaku. Aroma bara sudah berubah menjadi aroma kopi.
Ruangan dalam dinding batu ini mulai membuatku menggigil.
“Bagiku
sungai lebih dari sekedar menghanyutkan air hujan. Sungai-sungai di dunia ini
mesti berasal dari sebuah sumber mata air yang sama, mata air yang padu. Muasal
air. Dan sungai seperti itu apabila ada, dipastikan dengan jelas bahwa
tempatnya tidak mungkin di dunia ini. Sungai dengan karakter seperti itu hanya
ada di surga,” terang Pai. Ia kembali menghisap sebatang rokok. Dalam embusan
napas yang membawa beban asap tembakau, ia seperti mengirimkan pesan kepada
malam agar segera beranjak. Agar ia segera dapat pergi, berlayar di
sungai-sungai dunia. Sungai-sungai yang telah dimasukkan ke dalam daftar
panjang sungai yang akan ia datangi. Ia arungi.
Maka
malam pergi. Tetapi Pai juga pergi. Sejak malam yang luas di dalam ruang
berdinding batu, aku benar-benar tidak ada kontak lagi dengannya. Pai seperti
terhirap begitu saja. Menghilang. Betul-betul hilang. Nomor teleponnya acapkali
kuhubungi. Namun tidak aktif. Aku memang mendadak sering merasa rindu
kepadanya.
Seketika
pada suatu hari, aku menerima pesan singkat dari Pai.
“Berkemaslah, temui aku di tempat
biasa.”
“Berkemas bagaimana? Kamu di mana
sekarang?”
“Bawa pakaianmu. Bawa seperlunya
saja. Kita akan berangkat bersama. Kau harus melihat apa yang telah aku lihat.
Temani aku bertualang!”
“Tidak, kawan. Tidak! Kau saja yang
pergi. Aku tidak ingin melihat sungai. Tidak ada pentingnya bagiku melayari
sungai. Kau yang butuh, Pai! Kau yang selalu butuh dengan sungai-sungai itu.
Aku jelas, Tidak!”
Tak
ada balasan. Kini malah aku yang dilanda penasaran. Sebagaimana ia pergi (dan
membuat aku merindukannya) begitu pula tingkahnya sore ini. Ia tiba-tiba
mengirimkan pesan singkat. Tentang petualangan. Tentang sungai-sungai besar. Ia
mengajakku. Aku menolak. Lalu, kenapa Pai tidak membalas pesan singkatku?
Apakah ia marah? Pai bukan orang yang menyukai kemarahan. Sejak ia mencintai sungai,
jiwanya jiwa yang tenang. Jauh dari emosi yang meledak-ledak. Jangankan untuk
marah, tertawa ngakak berlebihan pun seingatku tak pernah ia lakukan.
Matahari
makin condong ke barat. Burung-burung berarak dalam kelompok-kelompok kecil
mengepak pulang ke sarang. Entah di hutan mana. Kadang terdengar deru mesin
kendaraan yang melintas. Tetapi lihatlah awan sore di langit. Awan sisik yang
dikirimkan gelombang laut pantai barat, laut yang biru berkalung puluhan pulau
tempat penyu memendam telur. Tempat angin musim kemarau menyusup di ketiak daun
bakau.
Dan
sampai saat ini aku tidak menerima balasan pesan singkat dari Pai. Berhari-hari
kemudian Pai hilang kembali. Seperti dulu, ia lenyap bersama kabarnya. Hari dan
bulan saling menandai dalam halaman kalender. Bulan dan matahari berlomba. Di
antara siang dan malam. Di antara hidup dan kematian. Ketika aku menyeduh kopi
di suatu pagi yang cerah, sudah delapan purnama berganti aku tak mendapatkan
kabar dari Pai. Sampai ia tiba-tiba muncul di depan pintu.
Tanpa
salam dan tanpa basa-basi.
"Aku
lapar, apakah kau punya makanan?" katanya sembari bergegas ke dapur,
membuka kulkas, membuka lemari makanan dan hinggap dengan manis di kursi dekat
perapian sambil mengunyah setangkup roti hasil jarahan dari lemari makanan. Sungguh
tak sopan!
Aku
terpaku. Lihatlah gerangan apa yang terjadi sekarang?
"Ke
mana saja, kau?!" tanyaku garang.
"Ntarlah,
aku lapar nih. Nanti aku akan bercerita. Nanti malam ya. Aku ngantuk. Mau
tidur. Boleh kupinjam kamarmu?" Pai makin ngelunjak. Tapi aku bisa berkata
apa. Dulu pun ia sering tidur di kamarku dan aku tidur di sofa. Tak apalah.
Aku
hanya mengangguk pelan. Pai masih menikmati rotinya. Gigitan terakhir. Minum.
Dan,
"Sudah ya. Aku ngantuk.
Nanti malam bangunkan aku."
Mak! Kawan macam apa dia ini?
Tak perlukah ia bertanya kabarku? Delapan purnama tak bertemu. Purnama yang
kuhitung sejak pesan singkatku tidak dibalas. Dan kini ia datang ke rumahku,
makan dengan lapar dan sekarang tidur pulas di kamarku. Tanpa perlu bertanya
kabar?
"Nanti aku akan bercerita.
Nanti malam ya."
Dengkuran teratur terdengar dari
kamar. Deru kendaraan di luar sana sesekali sayup melintas.
Padang, 2015
Komentar
Posting Komentar
Selamat datang dan membaca tulisan dalam Blog ini. Silakan tinggalkan komentar sebagai tanda sudah berkunjung, salam dan bahagia selalu.